Farmakologi Vitamin C
Secara farmakologi, vitamin C adalah vitamin larut air yang berperan sebagai kofaktor dalam berbagai reaksi enzimatik, termasuk sintesis kolagen, karnitin, dan neurotransmiter, serta bertindak sebagai antioksidan yang melindungi sel dari kerusakan oksidatif. Absorpsi terjadi terutama di intestinal melalui transport aktif, dengan ekskresi meningkat pada dosis tinggi.[1,7,8]
Farmakodinamik
Vitamin C merupakan sebuah senyawa yang dapat larut dengan baik dalam air dan dapat diserap dengan baik pula pada saluran cerna. Kadar vitamin C dalam plasma pada orang yang sehat, memiliki gizi yang cukup, dan bukan perokok rata-rata adalah sebesar 50-60 µmol/L. Kadar ini akan meningkat menjadi sekitar 100 µmol/L pada orang-orang yang menjalankan diet vegetarian jangka panjang atau yang mengonsumsi suplementasi vitamin C oral.[1,7,8]
Kerja Vitamin C Sebagai Antioksidan
Vitamin C dalam sifatnya sebagai antioksidan memiliki tugas untuk membatasi terjadinya kerusakan oksidatif pada tubuh manusia. Kerusakan ini terjadi karena diproduksinya radikal bebas dalam setiap proses biologis tubuh maupun sebagai akibat respons dari lingkungan.
Radikal bebas akan memicu timbulnya stres oksidatif yang akan membuat terjadinya kerusakan jaringan, inflamasi hingga kondisi kronik seperti pada kejadian aterosklerosis, penyakit degeneratif atau kanker. Pada penyakit kronis, kadar vitamin C plasma akan rendah karena digunakan untuk mengatasi kerusakan yang terjadi.[1,7,8]
Kerja Vitamin C dalam Metabolisme Asam Amino
Vitamin C juga berperan dalam metabolisme beberapa asam amino, pembentuk beberapa senyawa, seperti hidroksiprolin dan hidroksilisin.
Hidroksiprolin dan Hidroksilisin:
Hidroksiprolin dan hidroksilisin merupakan komponen pembentuk kolagen. Kolagen adalah struktur utama tendon, ligamen, kulit, gigi, tulang, kartilago, katup jantung, diskus intervertebral, kornea, lensa mata hingga jaringan dasar antar sel. Hidroksiprolin dan hidroksilisin juga dibutuhkan dalam pembentukan matriks ekstraseluler.
Kekurangan vitamin C akan mengurangi aktivitas dari dua fungsi oksidase, prolilhidroksilase dan lisil hidroksilase yang mana bekerja dalam melakukan hidroksilasi prolin dan lisin. Sebagai akibatnya kadar hidroksiprolin dan hidroksilisin akan menurun.
Vitamin C juga berperan dalam menjaga kofaktor besi yang akan mereduksi sisi aktif dari enzim dalam proses hidroksilasi. Hasil akhirnya pada kondisi defisiensi vitamin C, kolagen akan tetap dibentuk, tapi dalam bentuk yang abnormal, sehingga akan menimbulkan lesi pada kulit, hingga pembentukan pembuluh darah yang rapuh, yang menjadi ciri dari kondisi skorbut.
Karnitin:
Vitamin C berperan dalam pembentukan karnitin. Karnitin merupakan komponen dari otot pada jantung maupun otot skeletal, hati, dan jaringan tubuh lainnya. Senyawa ini penting dalam transportasi asam lemak dari sitoplasma sel ke dalam matriks mitokondria melewati membran dalam mitokondria pada proses pembentukan energi.
Kekurangan vitamin C akan mengurangi pembentukan karnitin, penurunan efisiensi dari reabsorpsi karnitin pada ginjal, hingga peningkatan ekskresi karnitin di ginjal. Akibatnya akan terjadi akumulasi trigliserida dalam darah yang akan menimbulkan kelelahan otot hingga kondisi skorbut (scurvy).[1,7,8]
Efek Vitamin C Lainnya
Fungsi lain dari vitamin C yaitu berperan dalam mengatur dan berpartisipasi dalam reaksi enzim dan transpor dari beberapa neurotransmiter, serta berperan dalam proses reaksi biosintesis hormon.[1,7,8]
Efek Suplementasi Vitamin C
Pemberian vitamin C atau vitamin C dalam kondisi normal tidak memberikan efek farmakodinamik yang cukup jelas. Namun demikian, suplementasi pada kondisi defisiensi akan mampu segera menghilangkan berbagai gejala penyakit skorbut dengan cepat.[7,8]
Farmakokinetik
Vitamin C diserap dengan baik dari saluran cerna. Ekskresinya terutama terjadi melalui ginjal.
Absorpsi
Vitamin C akan dengan mudah diserap oleh saluran cerna, dan kadarnya akan segera meningkat dalam plasma setelah diserap. Vitamin C akan lebih tinggi ditemukan kadarnya dalam trombosit dan leukosit jika dibandingkan dengan kadar dalam plasma maupun eritrosit (bila melihat kemampuan saturasinya dalam sel).
Tingkat absorpsi vitamin C berbeda tergantung dosis yang diberikan. Pada dosis 100-200 mg/hari, 70-90% vitamin C akan terabsorpsi tetapi dosis tinggi 1000 mg akan terabsorpsi kurang dari 50%.[8]
Distribusi
Vitamin C didistribusikan secara luas ke seluruh bagian tubuh melalui peredaran darah, dengan kadar tertinggi dapat ditemukan dalam kelenjar dan kadar terendah dapat ditemukan dalam otot maupun jaringan lemak.[8]
Metabolisme
Vitamin C mengalami metabolisme utama di hati dan sebagian di ginjal. Metabolisme utamanya terjadi dengan penghilangan dua buah elektron yang dimiliki senyawa ini.
Senyawa radikal bebas antara yang terbentuk dari metabolisme vitamin C adalah dalam bentuk asam dehidroaskorbat yang masih bersifat reversibel. Kemudian akan menjadi asam 2,3-diketogulonat yang bersifat ireversibel dan secara fisiologis inaktif. Senyawa ini kemudian akan membelah menjadi beberapa metabolit.[7]
Eliminasi
Vitamin C maupun metabolit yang dibentuknya akan diekskresikan melalui urine dalam bentuk utuh atau dalam bentuk garam sulfatnya ketika kadarnya melewati ambang rangsang ginjal dalam darah yaitu sekitar 1,4 mg/100mL. Beberapa obat-obatan diketahui dapat meningkatkan proses pengeluaran vitamin C ketika berinteraksi dalam penggunaan yang bersamaan, yaitu pada penggunaan tetracycline, salisilat, atau fenobarbital.[8]
Direvisi oleh: dr. Bedry Qintha