Pencegahan depresi pada pasien lanjut usia perlu diperhatikan karena populasi lansia berisiko mengalami depresi, yang dapat menurunkan kualitas hidup secara bermakna dan meningkatkan risiko kematian akibat bunuh diri. Pencegahan depresi pada lansia dapat dilakukan dengan intervensi farmakologi maupun nonfarmakologi.[1,2]
Faktor Risiko Depresi pada Populasi Lanjut Usia
Seiring bertambahnya usia, beberapa penyesuaian dalam hidup secara signifikan dapat meningkatkan risiko depresi. Gejala depresi pada lansia sebetulnya menyerupai gejala depresi secara umum, tetapi lebih banyak menonjolkan keluhan fisik seperti gangguan tidur, nyeri berkepanjangan, dan rasa mudah lelah.[3]
Beberapa contoh faktor risiko depresi pada populasi lansia adalah:
- Komorbiditas medis: penyakit dan disabilitas, nyeri kronis, kemampuan kognitif yang menurun, dan kepercayaan diri yang berkurang akibat penyakit
- Kesepian dan isolasi: hidup sendirian, lingkaran sosial yang semakin menyempit akibat kematian teman atau relokasi, mobilitas yang menurun karena sakit, atau kehilangan hak mengemudi
- Berkurangnya tujuan hidup: pensiun dapat menyebabkan hilangnya identitas, status sosial, kepercayaan diri, dan kestabilan
- Kecemasan: rasa takut terhadap kematian, masalah keuangan dan kesehatan
- Berkabung: berduka karena kematian teman, keluarga, hewan peliharaan, atau pasangan[3]
Skema Pencegahan Depresi pada Populasi Lanjut Usia
Saat ini, skema pencegahan depresi dapat diklasifikasikan berdasarkan populasi target seperti yang dirangkum Institute of Medicine (IOM). IOM membagi skema pencegahan depresi pada populasi lansia menjadi pencegahan terindikasi, selektif, dan universal.[4]
Pencegahan terindikasi akan menargetkan populasi yang memiliki gejala subsindrom depresi, misalnya murung dan anhedonia. Pencegahan selektif menargetkan populasi risiko tinggi, yaitu populasi yang mengalami disabilitas atau gangguan fungsi, tinggal sendiri, dan memiliki komorbiditas medis. Pencegahan universal menargetkan seluruh populasi tanpa melihat faktor risiko.[4]
Pencegahan universal pada seluruh populasi merupakan konsep yang menarik tetapi secara empiris dan statistik kurang bermanfaat. Keberhasilan pencegahan universal belum banyak terbukti dalam literatur. Hal ini berbeda dengan pencegahan selektif dan terindikasi yang digunakan spesifik pada populasi tertentu. Berbagai tinjauan literatur menunjukkan bahwa efisiensi pencegahan selektif dan terindikasi lebih tinggi daripada pencegahan universal.[4,5]
Tabel 1. Skema Pencegahan Depresi pada Populasi Lanjut Usia Menurut IOM
Modalitas | Target |
Pencegahan terindikasi | Populasi yang memiliki gejala depresi subsindrom (murung, anhedonia) |
Pencegahan selektif | Populasi yang memiliki risiko tinggi mengalami depresi (ada disabilitas, gangguan fungsi, komorbiditas, atau tinggal sendiri) |
Pencegahan universal | Populasi umum, tanpa melihat faktor risiko |
Sumber: dr. Damba Bestari, Sp.KJ, 2020.
Intervensi Farmakologi untuk Pencegahan Depresi pada Populasi Lanjut Usia
Intervensi farmakologi yang banyak digunakan untuk pencegahan depresi lansia adalah golongan obat antidepresan dan antiansietas.
Antidepresan
Penggunaan antidepresan dikaitkan dengan perbaikan prognosis. Dalam beberapa studi, antidepresan profilaksis diberikan terutama untuk fase rumatan dan pencegahan kekambuhan pada lansia yang baru pulih dari gangguan depresi mayor.[5,6]
Antidepresan, terutama golongan selective serotonin reuptake inhibitors (SSRI) seperti citalopram dan sertraline, dilaporkan memiliki efikasi yang baik dalam pencegahan depresi pada lansia. Obat golongan ini juga memiliki efek samping yang minimal.[5,6]
Reynolds, et al., meneliti populasi pasien gangguan depresi mayor berusia ≥70 tahun dengan intervensi kombinasi psikoterapi dan antidepresan (paroxetine). Pasien dibagi secara acak untuk mendapatkan antidepresan atau plasebo, yang dikombinasikan dengan psikoterapi selama 2 tahun. Studi menyatakan bahwa pasien yang menerima plasebo memiliki risiko kekambuhan 2 kali lebih besar daripada pasien yang mendapat paroxetine.[5,6]
Antiansietas
Obat golongan benzodiazepine seperti diazepam, alprazolam, dan triazolam cenderung kurang efektif untuk gejala depresi subsindrom. Bahkan, obat-obatan tersebut sering dikaitkan dengan efek samping, seperti risiko jatuh, lemas, maupun gangguan kognitif. Hal ini menyebabkan pasien merasa tidak nyaman dan lebih memilih pengobatan nonfarmakologi. Bila obat antiansietas dipilih sebagai modalitas pencegahan, sebaiknya obat tetap dikombinasikan dengan modalitas nonfarmakologi.[5,7]
Intervensi Nonfarmakologi untuk Pencegahan Depresi pada Populasi Lanjut Usia
Intervensi nonfarmakologi untuk pencegahan depresi pada populasi lansia bisa berupa cognitive behavioral therapy dan problem solving therapy.
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Cognitive behavioral therapy (CBT) merujuk pada penggunaan kerangka perilaku kognitif, dengan target restrukturisasi pikiran dan aktivitas yang disfungsional, sehingga mengubah perilaku. Bentuk yang paling umum digunakan adalah pedoman "Coping with Depression" oleh Lewinsohn, yang merupakan modifikasi psikoedukasi CBT.[5,8]
Seorang terapis berfungsi sebagai instruktur untuk sekelompok peserta. Terapis perlu mengajarkan keterampilan yang berguna untuk mengelola gejala depresi dengan melakukan kegiatan menyenangkan, mengembangkan keterampilan sosial, melakukan relaksasi, serta melakukan teknik untuk restrukturisasi proses berpikir maladaptif.[5,8]
Suatu randomized controlled trial (RCT) dengan total 43 partisipan oleh Konnert, et al., menguji terapi ini pada penghuni panti jompo selama 7 minggu, yang terdiri dari 13 sesi. Dengan menggunakan kuesioner Geriatric Depression Scale selama 6 bulan follow-up, skor depresi terhitung menurun secara signifikan bila dibandingkan dengan kelompok kontrol.[5,8]
Problem Solving Therapy (PST)
Problem solving therapy (PST) merupakan intervensi dengan pendekatan perilaku yang berfokus untuk melatih sikap dan kemampuan pemecahan masalah agar lebih adaptif. Rovner, et al., menggunakan terapi ini sebagai intervensi (selama 8 minggu, 6 jam/sesi) pada total 188 responden lansia yang mengalami degenerasi makula.[5,9]
Karena penderita degenerasi makula mengalami gangguan penglihatan sentral yang mengurangi kemampuan aktivitas, terapi ini dapat menjadi solusi agar pasien mampu beradaptasi dengan gangguan visual dan mencegah munculnya depresi.[5,9]
Dalam studi tersebut, PST dinyatakan menurunkan kejadian depresi menjadi separuh bila dibandingkan dengan kelompok kontrol (11,6% vs 23,2%). Intervensi ini efektif pada populasi lansia dengan penyakit kronis di mana depresi dan kecacatan umum terjadi, sehingga dapat dimasukkan ke dalam pencegahan selektif.[5,9]
Penelitian lain yang menggunakan modifikasi terapi ini dilakukan di India pada tahun 2017 dengan 181 lansia yang mengalami gejala depresi subsindrom. Beberapa lay counselors dilatih untuk melakukan intervensi depression in later life, yang merupakan modifikasi PST dan terapi perilaku insomnia. Hasilnya, insiden depresi mayor pada kelompok intervensi lebih rendah daripada kelompok kontrol (4,40% vs 14,44%). Selain itu, terapi ini juga meregulasi tekanan darah dan indeks massa tubuh partisipan.[10]
Program Pencegahan Depresi Lainnya
Program pencegahan depresi yang lain (seperti reminiscence atau latihan fisik) memiliki tingkat standarisasi lebih rendah daripada intervensi farmakoterapi dan psikoterapi, tetapi lebih dapat ditoleransi dan tidak menimbulkan stigma untuk lansia. Sebagian besar program ini memiliki target lansia yang tinggal di komunitas, sehingga dapat digunakan sebagai modalitas pencegahan universal.[11]
Reminiscence Therapy
Terapi ini mengajak individu untuk merefleksikan hidup mereka kembali atau mengulang memori masa lalu dengan kegiatan seperti menonton film lama atau saling bercerita tentang pengalaman masa muda. Melalui refleksi tersebut, lansia diharapkan dapat menyelesaikan konflik dan pengalaman masa lalu yang tidak menyenangkan, sehingga mampu menghadapi masalah yang dihadapi saat ini.[11]
Studi oleh Pot, et al., yang melibatkan 171 lansia menunjukkan bahwa terapi ini dapat mengurangi risiko kejadian depresi. Studi mengenai terapi ini masih terbatas. Namun, terapi ini dapat dipertimbangkan karena metodenya mudah, murah, dan relatif aman dengan efek samping minimal.[11]
Latihan Fisik
Menurut berbagai studi, latihan fisik telah lama dihubungkan dengan perbaikan mood karena memperbaiki biosintesis serotonin di otak yang memengaruhi gejala depresi. Namun, sayangnya, hanya sedikit penelitian berfokus pada pencegahan.[5,6]
Dalam penelitian eksperimental tahun 2007 oleh Baker, et al., dengan populasi para orang pensiun yang tidak memiliki gejala depresi atau memiliki gejala depresi ringan, program latihan fisik selama 10 minggu (1 jam/sesi, 3 kali/minggu) diterapkan. Latihan yang diberikan adalah latihan resistensi intensitas tinggi, latihan aerobik intensitas sedang, dan latihan keseimbangan.[5,6]
Karena gejala depresi dalam populasi studi tersebut memang sudah rendah, tidak ada perbedaan yang signifikan antara kelompok intervensi dan kelompok kontrol. Namun, partisipan yang telah memiliki gejala depresi di awal studi mengalami perbaikan.[5,6]
Kesimpulan
Seiring dengan bertambahnya usia, beberapa perubahan dalam hidup meningkatkan risiko depresi. Depresi pada orang lanjut usia adalah hal yang semakin sering dijumpai dan menimbulkan berbagai masalah, seperti penurunan kualitas hidup dan peningkatan risiko kematian akibat bunuh diri.
Saat ini, skema pencegahan depresi pada populasi lansia diklasifikasikan menjadi pencegahan terindikasi, pencegahan selektif, dan pencegahan universal. Intervensi farmakologi dan nonfarmakologi umumnya dilakukan pada tahap pencegahan selektif dan pencegahan terindikasi yang lebih spesifik untuk populasi dengan risiko tinggi. Sementara itu, pencegahan universal memiliki target populasi umum tanpa risiko dan mencakup pendekatan psikososial seperti reminiscence dan latihan fisik.
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur