Riwayat infeksi dengue sebelumnya diduga mempengaruhi patogenisitas infeksi baru, namun data ilmiah terkait hal ini masih minimal. Virus Dengue (DENV) termasuk dalam famili Flaviviridae, genus Flavivirus, dan ditransmisikan ke manusia lewat gigitan nyamuk Aedes. Infeksi DENV akan menyebabkan demam dengue atau demam berdarah dengue.
Interaksi Imun Serotipe Virus Dengue
Berdasarkan data neutralization assay, ada empat serotipe virus dengue yakni DENV-1, DENV-2, DENV-3, dan DENV-4. Keempat serotipe virus ini bersifat cross-reactive secara imunologis. Pasien dapat terinfeksi lebih dari salah satu serotipe virus dengue sepanjang hidupnya. [1-6]
Infeksi dari salah satu serotipe virus dengue akan menimbulkan imunitas jangka panjang protektif (bukan seumur hidup) terhadap serotipe tersebut, tetapi hanya memberi imunitas jangka pendek terhadap serotipe virus lainnya yang belum terpapar. [7-9,11 ]
Selain itu, infeksi sekunder dengan serotipe heterolog lebih berbahaya daripada infeksi primer. Hal ini dijelaskan oleh teori antibody-dependent enhancement (ADE). Berdasarkan teori ini, infeksi primer akan membentuk antibodi yang dapat menetralisasi virus. Pada infeksi sekunder oleh serotipe virus yang berbeda dari infeksi primer, antibodi yang terbentuk tidak mampu menetralisir virus dan malah membentuk kompleks imun dengan virus. Kompleks imun ini akan memicu reaksi imunologis yang bertanggung jawab terhadap infeksi berat dengue, seperti dengue hemorrhagic fever (DHF) dan dengue shock syndrome (DSS). [7,8,10,12,13]
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Patogenisitas Virus Dengue
Pemahaman terhadap patogenisitas virus dengue turut berkembang seiring perkembangan teknologi dan penelitian klinis. Ada sejumlah faktor yang dapat mempengaruhi patogenisitas virus dengue, antara lain faktor virus, umur pasien, status nutrisi, faktor genetik, dan riwayat infeksi dengue sebelumnya. [10,12]
Faktor Virus
Studi prospektif menemukan bahwa infeksi oleh DENV-2 paling berisiko memiliki manifestasi yang berat. [12] Data ini dilengkapi oleh studi meta analisis dari Soo et al pada tahun 2016. Mereka melaporkan bahwa infeksi primer dengan DENV-3, infeksi sekunder dengan DENV-2, DENV-3, DENV-4 (regio Asia Tenggara), serta infeksi sekunder DENV-2 dan DENV-3 dari regio non Asia Tenggara berisiko lebih tinggi untuk memiliki manifestasi yang berat. [9]
Faktor Umur Pasien
Risiko terhadap DHF tampaknya menurun seiring dengan pertambahan umur. Menurut data epidemiologi DHF di Kuba, modal age untuk kasus DHF dan kematian akibat DHF adalah usia 4 tahun. Populasi spesifik yang berisiko tinggi untuk mengalami DHF adalah bayi, terutama di rentang usia 6 sampai 12 bulan. [12]
Status Nutrisi
Berbeda dari penyakit lainnya, DHF dan DSS lebih jarang ditemui pada anak malnutrisi. Data ini merefleksikan peran respon imun pada patogenesis penyakit dengue. Walaupun demikian, tinjauan sistematik belum menemukan korelasi yang konsisten antara infeksi berat dengue dengan status nutrisi. [12]
Faktor Genetik
Dari segi genetik, studi epidemiologi di Kuba menemukan bahwa DHF lebih sering dijumpai pada etnis Kaukasia dibandingkan etnis Afrika. Hasil tersebut dikonfirmasi oleh laporan dari Haiti.
Studi genome-wide association di Vietnam dan Thailand menemukan hubungan genetik dari dua polimorfisme nukleotida tunggal, satu pada gen major histocompatibility complex class I polypeptide-related sequence gene (MICB) dan satu lagi pada gen phospholipase C epsilon, dengan kejadian DSS. [12] Sedangkan, penelitian Malavige et al di Sri Lanka menemukan hubungan antara HLA-A*31 dan DRB1*08 dengan risiko DSS saat infeksi sekunder dengue. [1]
Riwayat Infeksi Dengue
Di antara sejumlah faktor yang disebutkan di atas, faktor riwayat infeksi dengue sebelumnya terhadap patogenisitas virus dengue masih belum dipahami seutuhnya. Hingga saat ini, pemahaman terhadap faktor tersebut hanya berdasarkan data surveilans epidemiologi. Masih belum tersedia data ilmiah yang cukup untuk membuktikan hubungan paparan infeksi sebelumnya terhadap risiko dan luaran infeksi sekunder. [12,14] Namun, laporan data penelitian dari Tsang et al pada awal tahun 2019 dapat menjawab isu tersebut.
Pengaruh Riwayat Infeksi Dengue Sebelumnya terhadap Patogenisitas
Tsang et al melakukan studi dengan menerapkan rangka kerja model Bayesian yang mengintegrasi data prospektif kohort pada 3800 anak berusia antara 2-14 tahun di Managua (Nikaragua) dengan data surveilans di area tersebut. Perekrutan partisipan dimulai pada tahun 2004 hingga tahun 2010. Penelitian ini menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (RT-PCR), in-house IgM capture enzyme-linked immunosorbent assay (MAC-ELISA) dan inhibition ELISA (iELISA) untuk mendeteksi infeksi akut DENV.
Guna memastikan infeksi dengue asimptomatik, darah partisipan diambil setiap tahunnya. Selain itu, plaque reduction neutralization test (PNRT) dan neutralization titration assay (NT) digunakan untuk menentukan respon karakteristik antibodi netralisasi spesifik-serotipe terhadap subset non acak pada sampel iELISA positif dari anak-anak yang terinfeksi dengue berulang.
Studi ini mengkombinasikan deteksi kasus pasif dengan tes serologi per tahun untuk memberikan data komprehensif dalam menginvestigasi transmisi dengue dan pengaruh riwayat infeksi dengue sebelumnya terhadap risiko infeksi dan patogenisitas dengue.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa satu infeksi dengue sebelumnya akan memberikan imunitas protektif terhadap infeksi dengue lanjutan, meski efikasinya berkurang seiring waktu. Sedangkan, dua infeksi atau lebih sebelumnya akan meningkatkan risiko pada infeksi DENV berikutnya. Peningkatan risiko dari dua infeksi atau lebih diduga berkaitan dengan kerentanan heterogen yang dipengaruhi variasi genetik atau respon imun yang lemah terhadap infeksi sebelumnya. Setelah terpapar satu infeksi DENV sebelumnya, risiko infeksi baru untuk tahun kedua masih serupa dengan tahun pertama. Namun, di tahun ketiga dan seterusnya, risiko meningkat sebesar 47%. [14]
Menurut teori antibody-dependent enhancement (ADE), infeksi sekunder merupakan faktor risiko manifestasi dengue berat seperti DHF atau DSS. [7,8,10,12-14] Hasil penelitian Tsang et al tidak menemukan pola ADE yang signifikan secara statistik. [14] Hal ini berlawanan dengan studi oleh Katzelnick et al yang menemukan bahwa pola ADE terjadi pada infeksi sekunder dengue. [13]
Di antara anak yang berusia > 8 tahun, tampak ada proteksi kuat terhadap infeksi dengue sampai tahun ke-2 setelah infeksi tunggal dengue sebelumnya. Proteksi ini masih berlanjut hingga tahun ke-3 dan berkurang signifikan setelahnya. [14] Baik penelitian Tsang maupun Katzelnick menemukan bahwa level antibodi tinggi bersifat protektif. Sedangkan level antibodi yang rendah hingga moderat berkorelasi dengan peningkatan risiko infeksi sekunder. [13,14]
Kesimpulan
Riwayat infeksi sebelumnya dapat mempengaruhi patogenisitas infeksi virus dengue. Selain itu, patogenisitas juga dipengaruhi faktor serotipe virus, umur pasien, status nutrisi, dan faktor genetik. Kombinasi berbeda dari faktor-faktor ini dapat menghasilkan imunitas ataupun komplikasi berat demam dengue, seperti dengue hemorrhagic fever dan dengue shock syndrome. Pemahaman terhadap hal tersebut dapat membantu mengevaluasi potensi pengembangan vaksin dengue dalam upaya mengurangi beban morbiditias dan mortalitas akibat dari infeksi virus dengue di masa depan.