Pendahuluan Sindrom Sjogren
Sindrom Sjogren adalah penyakit autoimun sistemik dengan karakteristik berupa infiltrasi sel limfositik pada kelenjar eksokrin yang menyebabkan disfungsi kelenjar eksokrin serta terdapat hiperaktivitas sel B. Manifestasi utama sindrom Sjogren adalah mata kering (xerophthalmia) dan mulut kering (xerostomia) akibat inflamasi kelenjar lakrimal dan kelenjar liur. Sindrom Sjogren sendiri dapat diklasifikasikan menjadi dua kelas, yaitu sindrom Sjogren primer dan sindrom Sjogren sekunder.[1-3]
Sindrom Sjogren primer adalah kondisi autoimun dengan sindrom Sjogren tunggal yang diderita oleh pasien. Sementara itu, bila pasien memiliki penyakit autoimun lain, paling sering reumathoid arthritis dan lupus eritematosus sistemik, maka sindrom Sjogren tersebut didiagnosis sebagai sindrom Sjogren sekunder.[2,3]
Diagnosis sindrom Sjogren Sjogren ditegakkan berdasarkan kriteria American College of Rheumatology dan European League Against Rheumatism (ACR/EULAR) 2016. Pasien sindrom Sjogren terutama memiliki keluhan yang berhubungan dengan xerophthalmia dan xerostomia. Keluhan ekstraglandular dapat berupa kelelahan, gangguan muskuloskeletal, dan ruam. Pemeriksaan penunjang mulai dari Schirmer’s Test dan pemeriksaan histopatologi sangat bermanfaat untuk menegakkan diagnosis sindrom Sjogren.[4]
Penatalaksanaan sindrom Sjogren dilakukan dengan pemberian obat-obatan topikal dan sistemik untuk membantu mengurangi keluhan akibat defisiensi produksi kelenjar eksokrin. Agen yang dapat digunakan antara lain pilocarpine dan cevimeline. Prognosis secara umum adalah baik, namun pada kasus tertentu dengan komplikasi berat seperti transformasi maligna limfoma non-Hodgkin, risiko mortalitas dapat meningkat secara bermakna.[5,6]