Diagnosis Selulitis
Diagnosis selulitis perlu dicurigai pada pasien dengan keluhan rubor, dolor, tumor, dan kalor pada kulit, terutama jika ada bukti portal of entry patogen seperti ulkus atau lesi dermatitis. Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan untuk menegakkan diagnosis selulitis, tetapi mungkin bermanfaat dalam menyingkirkan diagnosis banding ataupun mengevaluasi kemungkinan komplikasi.[2-4]
Anamnesis
Anamnesis pada selulitis yakni berupa pertanyaan mengenai gejala yang dialami, riwayat selulitis berulang di masa lalu, riwayat penyakit penyerta, dan faktor-faktor risiko yang mungkin menjadi cikal bakal terjadinya selulitis.
Gejala
Keluhan yang dialami pasien dapat berupa kemerahan pada kulit, bengkak, nyeri tekan, dan teraba hangat. Tanyakan mengenai onset dan progresivitas gejala. Pasien juga bisa memiliki keluhan penyerta seperti malaise, demam, dan mudah lelah.[4,6]
Faktor Risiko
Beberapa penyakit dapat meningkatkan kerentanan seseorang mengalami selulitis, misalnya pasien dengan diabetes mellitus, gagal jantung, gagal hati, limfedema, imunokompromais, dan overweight. Limfedema merupakan salah satu faktor risiko selulitis maupun selulitis berulang.
Tanyakan juga riwayat operasi atau pembedahan yang berisiko menimbulkan infeksi luka operasi, riwayat penyakit kulit sebelumnya seperti dermatitis atopik dan psoriasis, serta kebiasaan merokok dan konsumsi alkohol.
Adanya luka, seperti gigitan serangga atau goresan pada kulit, juga bisa menjadi tempat masuknya patogen penyebab selulitis.[4,6]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan tanda vital dapat menunjukkn peningkatan nadi dan laju napas terkait demam akibat inflamasi pada selulitis. Kemudian, pada pemeriksaan kulit akan ditemukan tanda inflamasi kulit dengan batas yang tidak jelas dan tidak menonjol.[4,6]
Inspeksi Kulit
Pada pemeriksaan inspeksi kulit, portal of entry dari patogen dapat berupa ulkus, laserasi, lesi dermatitis, dan mikosis kutaneus. Lokasi selulitis paling sering pada ekstremitas bawah dan biasanya hanya unilateral. Pada pemeriksaan ekstremitas bawah juga harus dilakukan pemeriksaan inspeksi hingga ujung dan sela-sela jari untuk melihat adanya kemungkinan jamur.
Tanda klasik selulitis adalah eritema dan bengkak. Tanda lainnya yang mungkin muncul pada selulitis yakni vesikel, bula, dan peau d orange.[2,4,6]
Palpasi
Pada palpasi, lesi selulitis bersift difs, bisa nyeri, dan hangat. Bila sudah terbentuk abses, akan ditemukan fluktuasi. Indurasi berbatas tegas dapat ditemukan pada erisipelas.[2,4,6]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding selulitis antara lain erisipelas, chronic venous stasis dermatitis, dan necrotizing fasciitis.[4]
Erisipelas
Erisipelas merupakan infeksi kulit yang sering disamakan dengan selulitis, padahal infeksi pada erisipelas sifatnya lebih superfisial dan hanya melibatkan dermis bagian atas dan sistem limfatik yang superfisial juga. Tanda klinis dari erisipelas yakni eritema yang berwarna merah terang, elevasi dari kulit yang terinfeksi, dengan batas tegas (well-demarcated borders). Sedangkan pada selulitis, eritema berwarna pink dan tidak ada elevasi kulit serta tidak berbatas tegas.[11]
Chronic Venous Stasis Dermatitis
Chronic Venous Stasis Dermatitis atau dermatitis stasis merupakan kondisi inflamasi bilateral (biasanya pada ekstremitas bawah) yang berlangsung lama akibat insufisiensi vena kronis dan biasanya melibatkan malleolus medial. Tanda klinis dari kondisi ini yakni tampak skuama, edema perifer, hiperpigmentasi pada kulit, atrophic patches (atrophic blanche), dan tampak diskolorasi pada kulit berwarna merah-kecoklatan difus akibat deposit hemosiderin pada lapisan dermis dalam.[12]
Necrotizing Fasciitis
Necrotizing fasciitis adalah infeksi yang bersifat agresif, terjadi pada fascia yang menyebabkan nekrosis jaringan subkutan. Tanda klinis dari kondisi ini yakni demam, eritema, edema, nyeri yang sangat hebat, dan krepitus. Kondisi necrotizing fasciitis masuk ke dalam kategori darurat bedah dan membutuhkan tindakan operasi berupa debridemen segera.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang jarang diperlukan dalam penegakkan diagnosis selulitis, terutama pada kasus selulitis lokal dengan area infeksi yang minimal, nyeri ringan, dan tidak disertai keluhan sistemik. Meski demikian, pemeriksaan penunjang mungkin diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis banding atau mengevaluasi kemungkinan komplikasi seperti sepsis dan necrotizing fasciitis.[2]
Pemeriksaan Laboratorium
Perhitungan darah lengkap, pemeriksaan kimia, laju endap darah, dan protein C-reaktif merupakan pemeriksaan yang tidak spesifik, tetapi dapat digunakan dapat untuk membedakan infeksi nekrotik. Creatinine Kinase (CK) dapat menjadi penanda adanya infeksi pada otot, seperti pada myositis bakterial dan infeksi nekrotik.[2-4]
Pemeriksaan Mikrobiolog
Pemeriksaan ini merupakan baku emas dalam melihat jenis bakteri apa yang menginfeksi jaringan lunak. Pemeriksaan ini hanya diindikasikan pada pasien imunokompromais, selulitis dengan komplikasi, atau selulitis akibat luka gigitan hewan untuk menentukan terapi antibiotik yang akan diberikan.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan aspirasi lesi yang menonjol ataupun menyeka lesi terbuka. Apusan atau aspirasi sebaiknya diambil dari tepi lesi. Selanjutnya, dapat dilakukan pewarnaan Gram atau pemeriksaan fungal sesuai indikasi klinis.
Aspirasi dengan jarum direkomendasikan pada pasien yang memiliki gangguan imunitas atau yang memiliki paparan abnormal seperti luka gigitan. Selain itu, pada pasien yang tidak sembuh setelah diberikan antibiotik empiris, hal ini juga direkomendasikan.[2]
Pencitraan
Pencitraan pada selulitis hanya dilakukan apabila ada kecurigaan terjadi necrotizing fasciitis dan untuk mendeteksi abses yang occult. Pencitraan yang dapat digunakan yakni berupa ultrasonografi, CT Scan dan MRI. Pemeriksaan CT-Scan lebih dianjurkan pada kasus necrotizing fasciitis pada pasien yang stabil, karena pemeriksaannya tidak memakan waktu lama.[2]
Pemeriksaan Histopatologi
Pemeriksaan histopatologi biasanya dilakukan pada selulitis yang memerlukan tindakan debridemen. Hasil yang dapat ditemukan yakni banyak sebukan sel radang, terutama neutrofil, yang menginvasi jaringan lemak.[2]
Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta