Pendahuluan Skrofuloderma
Skrofuloderma (scrofuloderma) atau tuberculosis colliquativa cutis adalah penyakit tuberkulosis kulit akibat infeksi kronis bakteri Mycobacterium tuberculosis (Mtb). Skrofuloderma adalah jenis tuberkulosis kutis yang paling sering ditemukan, terutama pada anak-anak dan orang tua.[1-3]
Lesi yang muncul berupa nodul (1 atau multipel), tidak nyeri, dan pertumbuhan lesi biasanya sifatnya lambat. Lesi lama kelamaan bisa membentuk ulkus pada permukaan nodul, hingga akhirnya terbentuk fistula atau sinus yang mengeluarkan materi atau cairan serosa, purulen, atau kaseosa. Lesi dari skrofuloderma paling sering muncul di area servikal, aksila, inguinal, preaurikula, postaurikula, submandibula, atau oksipital.[1-3]
Untuk mendiagnosis skrofuloderma perlu kejelian dan ketelitian dalam menilai lesi, hal ini karena lesi yang muncul pada kasus skrofuloderma bisa mirip dengan lesi-lesi infeksi kulit lain. Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk membantu menegakkan diagnosis mencakup pemeriksaan histopatologi, tes tuberkulin, kultur jaringan, dan polymerase chain reaction (PCR).[4]
Respon positif terhadap pengobatan tuberkulosis (TB) juga dapat membantu menegakkan diagnosis. Tata laksana skrofuloderma sama seperti tata laksana infeksi tuberkulosis pada umumnya, yaitu dengan pemberian obat antituberkulosis (OAT) tahap intensif dan tahap lanjutan.[1,4]
Pada tahap intensif, pengobatan menggunakan 4 regimen, yaitu isoniazid, rifampicin, pyrazinamide, dan ethambutol yang diberikan selama 2 bulan. Fase lanjutan menggunakan 2 regimen, yakni isoniazid dan rifampicin yang diberikan selama 4 bulan.[1]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini