Penatalaksanaan Hipoparatiroid
Penatalaksanaan hipoparatiroid bertujuan untuk menghilangkan gejala, meningkatkan dan menjaga kadar kalsium, serta mencegah terbentuknya batu ginjal. Penatalaksanaan utama hipoparatiroid adalah suplementasi kalsium dan vitamin D.
Perlu dilakukan pemantauan fungsi ginjal, fosfor, dan kalsium serum secara berkala pada pasien hipoparatiroid yang mendapat terapi tersebut.
Tata Laksana Nonbedah
Tata laksana nonbedah pada pasien paratiroid meliputi tata laksana hipokalsemia akut dan kronis. Tujuan terapi adalah mempertahankan kadar kalsium serum di batas bawah nilai normal.
Tata Laksana Hipokalsemia Akut
Pada pasien hipoparatiroid, hipokalsemia akut dapat memerlukan penatalaksanaan kalsium intravena di rumah sakit. Kalsium glukonat 10% 1-2 gram dalam 50 ml dekstrosa 5% diberikan secara bolus dalam 20 menit, dilanjutkan dosis kontinyu intravena sebanyak 1-3 mg/kg/jam. Lakukan pemantauan kondisi jantung selama pemberian kalsium intravena.[7]
Selain itu, suplemen kalsium oral dan vitamin D aktif (calcitriol) dapat dimulai. Dosis awal calcitriol adalah 0,25 mcg dua kali sehari dan dapat dititrasi hingga 2 mcg dua kali sehari jika diperlukan. Koreksi hipomagnesemia juga perlu dilakukan karena magnesium serum rendah menyebabkan supresi sintesis dan sekresi hormon paratiroid, serta resistensi jaringan terhadap efek hormon paratiroid. Hipokalsemia disertai defisiensi magnesium pun resisten terhadap terapi kalsium atau vitamin D, tapi berespon cepat pada suplementasi magnesium.[3,7]
Tata Laksana Hipokalsemia Kronis
Tata laksana nonbedah hipoparatiroid adalah koreksi hipokalsemia berupa pemberian kalsium dan vitamin D. Target terapi adalah mempertahankan kalsium serum sedikit di bawah batas minimal nilai rujukan dan pasien tidak mengalami tanda dan gejala hipokalsemia.[2,3]
Berdasarkan European Society of Endocrinology, tata laksana dimulai pada pasien hipoparatiroid kronis dengan gejala hipokalsemia atau kalsium serum < 2,0 mmol/L. Terapi dapat ditawarkan pada pasien asimptomatik dengan kalsium serum antara 2,0 mmol/L dan batas bawah nilai rujukan.[2]
Terapi medikamentosa primer yang diberikan berupa analog vitamin D aktif dan suplemen kalsium. Dosis suplemen vitamin D (calcitriol) 0,25-2 mcg/hari, sedangkan kalsium diberikan 1-2 gr/hari dalam dosis terbagi (kalsium sitrat atau karbonat). Titrasi dosis hingga pasien tidak mengalami gejala hipokalsemia dan kadar kalsium serum berada di rentang nilai target.[2,3]
Di Amerika Serikat, hormon paratiroid rekombinan (rhPTH(1-84)) tersedia sebagai opsi terapi untuk mengontrol hipokalsemia pada pasien hipoparatiroid kronik yang tidak dapat menjaga kadar kalsium dan urin stabil. Sebuah studi prospektif dengan sampel 33 pasien yang menjalani terapi hormon hingga 6 tahun menunjukkan bahwa pasien hipoparatiroid yang mendapat terapi rhPTH(1-84) lebih sedikit membutuhkan suplemen kalsium dan calcitriol, memiliki konsentrasi kalsium serum stabil, dan ekskresi kalsium urin berkurang.[2,3]
Namun, terapi pengganti hormon paratiroid sangat mahal dan masih belum diketahui apakah mengakibatkan efek samping jangka panjang. Pada hewan percobaan, pemberian hormon paratiroid meningkatkan risiko osteosarkoma, tetapi belum ada laporan serupa pada manusia.[3]
Pertimbangan Khusus
Beberapa hal lain yang perlu diperhatikan dalam tata laksana hipotiroid adalah:
- Pada pasien dengan hiperkalsiuria (>200-250 mg/hari), pertimbangkan mengurangi asupan kalsium dan vitamin D, diet rendah garam, atau pemberian diuretik thiazide
- Pada pasien dengan hiperfosfatemia, pertimbangkan intervensi diet dan penyesuaian terapi kalsium dan analog vitamin D
- Pada pasien dengan hipomagnesemia, pertimbangkan terapi yang dapat meningkatkan magnesium serum[2,3]
Pemeriksaan fungsi ginjal, fosfor, dan kalsium harus dilakukan secara berkala pada pasien hipoparatiroid yang mendapat terapi kalsium dan calcitriol. Pada awal terapi, kadar kalsium sebaiknya diperiksa setiap beberapa minggu, selanjutnya dikurangi menjadi 3-6 bulan sekali. Defisiensi hormon paratiroid mengurangi reabsorpsi kalsium pada tubulus ginjal, sehingga meningkatkan risiko urolithiasis dan kalsifikasi ginjal.
Untuk mengurangi risiko tersebut, dosis terapi dititrasi untuk mempertahankan kadar kalsium serum di batas bawah nilai normal. Diharapkan hal tersebut dapat mencegah gejala hipokalsemia seperti kram otot dan parestesia sekaligus mengurangi risiko kalsifikasi ekstraskeletal atau batu ginjal.[3]
Tata Laksana Bedah
Pasien yang menjalani paratiroidektomi akibat hiperplasia paratiroid berisiko tinggi mengalami hipoparatiroid primer permanen. Untuk mencegahnya, pasien dapat menjalani autotransplantasi segmen kelenjar paratiroid, umumnya secara subkutan di lengan bawah atau leher. Jika autotransplantasi gagal, pasien mendapat terapi serupa pasien hipoparatiroid pada umumnya.[2]
Kehamilan dan Menyusui
Pada pasien yang mengalami hipoparatiroid selama kehamilan, perhatian khusus diperlukan setelah persalinan. Pasien bisa mengalami peningkatan kadar serum kalsitriol hingga melebihi dua kali normal selama periode akhir kehamilan dan masa laktasi. Oleh karenanya, pengukuran kadar serum kalsitriol diperlukan secara berkala.[13]