Penatalaksanaan Gagal Hati
Penatalaksanaan kegawatdaruratan gagal hati sangat penting mengingat angka kematian yang tinggi secara global. Terapi suportif dan manajemen komplikasi serta pengobatan sesuai etiologi menentukan prognosis.[3]
Non Medikamentosa
Terapi non-medikamentosa dilakukan untuk suportif kondisi pasien yaitu:
- Pada ensefalopati hepatikum derajat I dan II boleh dirawat di ruang rawat biasa dengan pengawasan tanda-tanda vital setiap empat jam sedangkan pada ensefalopati hepatikum derajat III dan IV sebaiknya dirawat di Intensive Care Unit dan kepala diposisikan 30 derajat dari tempat tidur. Hindari penggunaan sedatif dan opioid dan pastikan pasien terhindar dari stimulasi berlebih[9]
- Stabilitas hemodinamik, asam basa, cegah inbalans elektrolit, balance cairan harus seimbang[9]
Medikamentosa
Pengobatan pasien gagal hati akut berdasarkan etiologinya dan juga berdasarkan organ yang bersangkutan.
Medikamentosa Berdasarkan Etiologi
Adapun obat yang diberikan bergantung pada penyebab dari gagal hati akut itu sendiri.
Hepatotoksisitas Paracetamol:
Pemberian arang aktif (bila ingesti dalam waktu 4 jam) dan N-acetylcysteine. Transplantasi hati direkomendasikan sesuai indikasi.[4]
Drug Induced Liver Injury (DILI):
Pada studi percobaan diberikan intervensi berupa N-acetyl cysteine dan steroid, namun perlu penelitian lebih lanjut. Antidot diberikan sesuai dengan obat yang diingesi.[36]
Hepatitis Non-Hepatropik:
Asiklovir 5-10 mg/kgBB intravena per 8 jam diberikan pada gagal hati terkait herpes atau varicella zoster. Sedangkan pada cytomegalovirus mendapat ganciclovir 5 mg/kg intravena per 12 jam.[4]
Infeksi Virus Hepatitis:
Analog nukleotida diberikan pada reaktivasi hepatitis B, antiviral yang sesuai pada hepatitis C. Sedangkan hepatitis A dan E belum ada antiviral yang efektif.[12]
Hepatitis Autoimun:
Metilprednisolon 60 mg/hari bermanfaat pada hepatitis autoimun.[4]
Keracunan:
Dugaan keracunan Amanita phalloides dilakukan bilas lambung, pemberian arang aktif dan penisilin-G dengan dosis 1 g/kg/hari.[4]
Gagal Hati pada Kehamilan:
Persalinan segera direkomendasikan, namun apabila dengan persalinan tidak terjadi perbaikan, transplantasi hati disarankan.[4]
Penyakit Wilson:
Transplantasi hati pada gagal hati acute on chronic diindikasikan bila diduga terjadi dekompensasi akut Wilson Disease atau terjadi trombosis vena hepatica.[12]
Medikamentosa Terkait Kerusakan Organ
Sedangkan manajemen terkait dengan kerusakan organ yang terjadi yakni kardiovaskular, gastrointestinal, renal, dan metabolik.
Kardiovaskular:
Ketika terjadi disfungsi akhir organ seperti hipoperfusi, asidosis, oliguria, gagal ginjal sebagai akibat kekurangan cairan maka pemberian fluid challenge dengan kristaloid. Ringer Laktat lebih direkomendasikan dibandingkan saline normal terkait efek hiperkloremia yang bisa terjadi.[2]
Bila hipotensi tetap terjadi persisten maka bisa diberikan norepinefrin dengan dosis awal 0,5 µg/kg/menit. Bila norepinefrin meningkat kebutuhannya hingga >0,2-0,3 µg/kg/menit maka bisa dipertimbangkan penambahan vasopressin 1-2 unit/jam. Mean Arterial Pressure (MAP) harus dijaga agar tetap adekuat yakni dewasa tanpa hipertensi MAP > 60 mmHg, sedangkan pada yang berisiko AKI maka MAP dipertahankan >75 mmHg.[2]
Respirasi:
Pada ensefalopati hepatikum derajat III atau IV bisa dipetimbangkan manajemen jalan nafas invasif. Pemberian ventilator non-invasif sebaiknya tidak dilakukan pada pasien dengan ensefalopati hepatikum atau gangguan metabolisme terkait dengan risiko aspirasi, peningkatan kerusakan neurologis dan buruknya kepatuhan pasien.[2]
Gastrointestinal:
Penurunan asupan kalori bisa terjadi pada ensefalopati hepatikum akibat anoreksia yang terjadi. Penggunaan selang nasogastrik bisa dipetimbangkan dengan tetap berhati-hati terkait dengan perdarahan selama pemasangan dan tersisanya residu di lambung.
Penggunaan selang post pilorus sebenarnya bisa dipertimbangkan namun gangguan pada usus bisa terjadi. Pengenalan terhadap nutrisi enteral lebih awal dapat menurunkan risiko distrofi otot dan perdarahan gastrointestinal.[2]
Emulsi lemak bisa diberikan namun pemberiannya pada kerusakan mitokondria yang parah yakni pada pemberian propofol sebagai obat penenang bisa menyebabkan akumulasi lemak. Oleh karena itu, pemantauan profil lipid dan kreatinin kinase perlu dilakukan.[2]
Pada gagal hati akut juga terjadi peningkatan kadar amonia sehingga pemberian infus asam amino tidak boleh berlebihan karena dapat memicu edema serebri dan peningkatan tekanan intrakranial.[2]
Renal:
Strategi penanganan acute kidney injury pada gagal hati akut yakni atasi kondisi hipotensi, tatalaksana infeksi, hindari obat-obatan yang nefrotoksis dan prosedur radiologi kontras harus dipertimbangkan risiko dan manfaatnya.
Renal replacement therapy dapat dipertimbangkan pada gagal hati akut dengan peningkatan tajam amonia dan ensefalopati hepatitis yang progresif.[2]
Metabolik:
Kontrol glikemik harus dilakukan karena pada gagal hati bisa terjadi hipoglikemia ataupun hiperglikemia. Hipoglikemia akan meningkatkan risiko AKI dan kematian sedangkan hiperglikemia akan meningkatkan risiko peningkatan tekanan intrakranial. Pada hipoglikemia dapat diberikan bolus cepat glukosa sedangkan pada hiperglikemia bisa diberikan insulin dengan target glukosa 150-180 mg/dl.[2]
Hiponatremia relatif bisa juga terjadi pada gagal hati akut. Pemberian infus salin hipertonik diberikan dengan target natrium serum 140-145 mmol/L untuk mengurangi risiko peningkatan tekanan intrakranial.[2]
Asidosis, gangguan serum fosfat, magnesium, kalsium, dan kalium harus dilakukan koreksi.[2]
Pembedahan
Transplantasi hati merupakan pengobatan definitif pada gagal hati. Pada kenyataannya hanya 10-25% pasien yang menerima transplantasi hati dari total yang terdaftar, sedangkan 50-75% meninggal sebelum dilakukan transplantasi. Kegagalan transplantasi hati biasanya disebabkan oleh kondisi infeksi dan sepsis.[12]
Kriteria Clichy-Paul Brousse dan King’s College Criteria berfungsi untuk menentukan indikasi dan prognosis transplantasi hati.[9]
Monitoring
Pemantauan hematokrit dan platelet, PT/INR, fungsi liver, gula, dan pemeriksaan neurologi perlu dilakukan. Bila didapati demam harus dilakukan kultur darah dan urin. Pemberian antibiotik empirik perlu dipertimbangkan.[9,12]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja