Pendahuluan Konstipasi
Konstipasi adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan gejala yang berhubungan dengan kesulitan saat buang air besar. Gejala dapat ditandai dengan frekuensi buang air besar yang jarang, tinja yang keras dan padat, usaha mengejan berlebihan, rasa tidak lampias setelah buang air besar, atau penyumbatan. Pada beberapa kasus, dibutuhkan manuver manual untuk melakukan evakuasi.
Mekanisme timbulnya konstipasi fungsional masih belum sepenuhnya dimengerti. Beberapa faktor yang diduga terlibat dalam terjadinya konstipasi adalah jenis diet, predisposisi genetik, dan motilitas kolon. Asupan makanan rendah serat, asupan air yang kurang, dan gaya hidup sedenter dapat menjadi faktor risiko konstipasi. Sementara itu, konstipasi fungsional kronik diduga berkaitan dengan gut-bran axis, hipersensitivitas visceral, kelainan pada fungsi sensorik atau motorik, transit kolon yang tertunda, dan persepsi sentral yang berubah.[1]
Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Rome IV yang menggantikan kriteria Rome III. Menurut kriteria Rome IV untuk konstipasi, pasien harus mengalami setidaknya dua dari gejala berikut selama 3 bulan:
- Kurang dari tiga buang air besar spontan per minggu
- Mengejan lebih dari 25% dari upaya buang air besar
- Buang air besar sulit atau keras setidaknya 25% dari upaya buang air besar
- Sensasi obstruksi atau penyumbatan anorektal setidaknya 25% dari upaya buang air besar
- Sensasi buang air besar tidak lampias untuk setidaknya 25% dari upaya buang air besar
- Manuver manual diperlukan untuk buang air besar setidaknya 25% dari upaya buang air besar
Red flag pada kasus konstipasi penting dikenali oleh dokter agar dapat membedakan pasien yang membutuhkan manajemen lanjutan. Red flag konstipasi mencakup adanya perdarahan pada feses, penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, dan riwayat keluarga kanker kolorektal.[2]
Tata laksana pada konstipasi dibedakan menjadi terapi farmakologi dan non farmakologi. Terapi non farmakologi ditekankan pada modifikasi gaya hidup, seperti konsumsi serat serta cairan dalam jumlah cukup dan aktivitas fisik. Terapi farmakologi dapat berupa pemberian laksatif atau prokinetik. Sementara itu, intervensi bedah pada kasus konstipasi sangat jarang diperlukan.[1]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan