Diagnosis Konstipasi
Diagnosis konstipasi perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan kesulitan saat buang air besar. Gejala dapat berupa frekuensi buang air besar yang jarang, tinja yang keras dan padat, usaha mengejan berlebihan, rasa tidak lampias setelah buang air besar, atau penyumbatan. Diagnosis konstipasi dapat ditegakkan berdasarkan kriteria Rome IV. Tanda bahaya perlu dikenali untuk mewaspadai penyebab organik yang berat, seperti ileus obstruktif dan kanker kolorektal.[1]
Anamnesis
Anamnesis perlu menggali durasi dan sifat konstipasi, konsistensi tinja, gejala gastrointestinal lain, dan ada-tidaknya tanda bahaya konstipasi, termasuk pada bayi.[1-3]
Konstipasi Akut dan Kronis
Gejala konstipasi dapat terjadi secara akut bila kurang dari seminggu. Konstipasi akut seringkali akibat perubahan pola diet atau kebiasaan, seperti konsumsi serat atau aktivitas fisik yang kurang, stres, atau adaptasi toilet di lingkungan baru. Sementara itu, konstipasi kronik secara umum adalah gejala konstipasi yang menetap selama minimal 3 bulan.[1-3]
Konsistensi Tinja
Bristol Stool Form Scale (BSFS) dapat bermanfaat dalam praktik klinis karena digunakan untuk menilai konsistensi tinja berdasarkan 7 jenis spektrum. Tipe 1 dan 2 menunjukkan tinja yang keras atau padat, sedangkan tipe 6 dan 7 untuk tinja yang lunak atau berair. Konsistensi dari tinja dapat menjadi indikator transit kolon.[1-3]
Gejala Gastrointestinal Lain
Gejala gastrointestinal lain juga perlu digali, seperti nyeri perut, kembung, dan muntah. Selain itu, gejala yang mengarah pada tanda bahaya dari konstipasi perlu disingkirkan meliputi penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas, perdarahan rektal, atau riwayat keluarga dengan kanker kolorektal maupun inflammatory bowel disease. Adanya tanda bahaya mengindikasikan kemungkinan penyebab organik signifikan, seperti ileus obstruktif dan kanker kolorektal.[1,2]
Kriteria Rome IV
Berdasarkan kriteria Rome IV, konstipasi fungsional ditegakkan bila terdapat minimal 2 dari gejala berikut:
- Mengejan selama lebih dari 25% defekasi
- Tinja yang padat dan keras, setara BSFS 1-2, lebih dari 25% defekasi
- Rasa tidak lampias saat evakuasi atau pengosongan tinja pada 25% defekasi
- Perasaan seperti ada sumbatan di anorektal pada lebih dari 25% defekasi
- Memerlukan pengeluaran feses secara manual saat buang air besar pada lebih dari 25% defekasi (evakuasi dengan bantuan tangan atau dukungan dari dasar panggul)
- Frekuensi buang air besar kurang dari 3 kali dalam seminggu
Selain itu, konsistensi feses pasien jarang lunak kecuali jika menggunakan laksatif dan gejala tidak memenuhi kriteria irritable bowel syndrome (IBS).[3]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik yang menunjang diagnosis konstipasi antara lain pemeriksaan abdomen dan daerah anorektal.[1,4]
Pemeriksaan Abdomen
Pada pemeriksaan abdomen, perlu dilihat apakah teraba massa intra abdomen, apakah terjadi peningkatan atau penurunan bising usus, dan adanya nyeri tekan.[1,4]
Pemeriksaan Anorektal
Pada pemeriksaan anorektal, diperiksa adanya tanda terkait kelainan yang menimbulkan konstipasi sekunder seperti keganasan anorektal, prolaps rektum, fisura anal, serta kompresi intrinsik dan ekstrinsik.
Dapat pula dilakukan pemeriksaan rectal toucher untuk mengidentifikasi adanya hipertonus sfingter, massa anorektal, rektokel, enterokel, dan impaksi feses. Pemeriksaan ini juga dapat memeriksa kekuatan sfingter anus dan otot puborektal, serta melihat adanya darah pada feses, fisura anal, dan stenosis anal.[1,4]
Diagnosis Banding
Konstipasi sering sekali menjadi gejala penyerta pada beberapa penyakit tertentu, sehingga diagnosis konstipasi fungsional dan konstipasi kronik perlu dipikirkan pada beberapa keadaan seperti appendicitis dan hernia abdomen.[14]
Hernia Abdomen
Pada kasus hernia abdomen, didapatkan massa yang hilang timbul pada abdomen atau inguinal, terutama jika batuk atau mengejan.[14,19]
Appendicitis
Appendicitis dapat menyebabkan konstipasi karena adanya obstruksi Pada appendicitis juga ditemukan nyeri tekan Mc Burney, demam, leukositosis, dan gejala saluran cerna lain seperti anoreksia dan mual-muntah.[14,20]
Penyakit Chagas
Penyakit Chagas disebabkan oleh infeksi Trypanosoma cruzi, yang dapat menimbulkan megakolon yang bermanifestasi sebagai konstipasi. Apabila dilakukan apusan darah tebal dan tipis akan ditemukan gambaran parasit.[14,21]
Kanker Kolorektal
Kanker kolorektal juga dapat menimbulkan konstipasi kronik. Biasanya gejala lebih berat, misalnya terjadi hematoschezia dan disertai penurunan berat badan tanpa sebab yang jelas.[14,22]
Ileus Obstruktif
Ileus obstruktif akan menunjukkan tanda pemeriksaan fisik berupa metallic sound. Apabila rontgen abdomen 3 posisi akan ditemukan gambaran step ladder dan herringbone appearance.[14,23]
Gangguan Motilitas Usus
Gangguan motilitas usus ditandai dengan abnormalitas kontraksi usus, misalnya spasme atau paralisis. Istilah ini mewakili berbagai penyakit, misalnya irritable bowel syndrome, Oglivie syndrome, dan inkontinensia fekal.[14,24]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada konstipasi dilakukan untuk mencari penyebab yang mendasari dan menyingkirkan diagnosis banding.
Kolonoskopi
Kolonoskopi diagnostik hanya direkomendasikan untuk individu dengan gejala yang termasuk tanda bahaya, seperti adanya darah pada tinja, perdarahan rektal, irritable bowel disease, prolaps rektal, gejala obstruksi, dan penurunan berat badan. Kolonoskopi juga dapat dikerjakan pada pasien yang akan menjalani skrining kanker kolorektal.[3,8]
Manometri Anorektal
Manometri anorektal merupakan prosedur diagnostik yang dapat mengukur aktivitas tekanan anorektal sehingga mampu menunjukkan refleks, sensasi, kepatuhan rektal, serta refleks sfingter rektal saat istirahat dan selama manuver defekasi. Pemeriksaan ini dapat memberikan informasi adanya gangguan sinergi pada masalah buang air besar, neuropati viseral, dan penyakit Hirschsprung.[3,8]
Barium Enema
Rontgen barium enema merupakan tindakan rontgen pada usus besar dengan memasukkan zat kontras untuk menentukan adanya perubahan atau kelainan anatomi dari usus.[3,8]
Defekografi dan Magnetic Resonance Defecography (MRD)
Prinsip pemeriksaan defekografi dan MRD adalah teknik visualisasi radiologi rontgen dan MRI untuk menentukan kelainan struktur di dalam rektum dan organ dasar panggul. Pemeriksaan ini tidak dikerjakan secara rutin untuk menegakkan diagnosis konstipasi namun dapat sebagai pemeriksaan tambahan terhadap penilaian klinis dan tes manometrik.[3,8]
Waktu Transit Kolon
Pada prosedur ini, pasien diminta untuk menelan kapsul yang mengandung kontras radioopak atau alat perekam nirkabel. Selanjutnya kapsul yang melewati kolon akan direkam selama beberapa hari dan terlihat pada rontgen.[3,8]
Penulisan pertama oleh: dr. Junita br Tarigan