Patofisiologi Penyakit Celiac
Patofisiologi penyakit celiac (celiac sprue) berkaitan dengan peran aktif dari beberapa faktor. Penyakit ini merupakan suatu kelainan autoimun kompleks yang dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor autoantigen, dan faktor lingkungan.[1,3]
Faktor Genetik dan Autoantigen
Penyakit celiac merupakan penyakit multifaktorial dengan pengaruh herediter yang kuat. Keluarga dekat tingkat pertama dari penderita penyakit celiac dan saudara kembar monozigotik dari penderita penyakit celiac dilaporkan berisiko lebih tinggi untuk mengalami penyakit ini.
Human leukocyte antigen (HLA) kelas II (dikenal juga sebagai HLA-DQ2 dan HLA-DQ8) merupakan molekul yang bertanggung jawab dalam presentasi antigen pada sel imun. HLA-DQ2 dan DQ8 memainkan peran penting dalam perkembangan penyakit celiac karena perannya dalam pengikatan peptida oleh tissue transglutaminase 2.
Pada pasien dengan penyakit celiac, molekul HLA pada antigen presenting cells (APC) mempresentasikan peptida gluten kepada sel T CD4+, yang kemudian mengaktivasinya dan memproduksi sitokin. Ekspresi HLA-DQ2/HLA-DQ8 ini sebenarnya terjadi cukup sering pada populasi umum (25–35%) tetapi hanya 3% dari populasi HLA akhirnya mengalami penyakit celiac.[1,4-6]
Faktor Lingkungan
Faktor lingkungan ikut berperan dalam patofisiologi penyakit celiac. Pemicu utama penyakit ini adalah gluten. Gliadin adalah komponen utama dari gluten yang merupakan protein kompleks yang kaya akan prolin dan glutamin. Komponen ini tidak dapat dicerna secara menyeluruh oleh asam lambung, enzim pankreas, maupun enzim pencernaan lain, sehingga pencernaannya akan menghasilkan produk akhir berupa peptida dengan panjang hingga 33 asam amino.
Peptida panjang ini dapat memicu respons imun dan peningkatan permeabilitas saluran cerna. Selain itu, peptida ini juga dapat melewati epitel usus halus dan masuk ke lamina propria melalui jalur transeluler atau paraseluler, yang kemudian memicu inflamasi intestinal.[1,4,6]
Respons Imun
Respons imun terhadap gluten meliputi sistem imun adaptif dan sistem imun bawaan. Respons imun bawaan terjadi pada epitel mukosa intestinal dan dapat menyebabkan penyakit celiac dengan cara menginisiasi rilis interleukin (IL-5) dan interferon α. Hal ini menyebabkan diferensiasi limfosit intraepitel menjadi sel T CD8+, yang kemudian mengekspresikan penanda sel natural killer yang bisa merusak mukosa intestinal.
Beberapa bukti klinis juga menunjukkan bahwa peptida gliadin secara spesifik dapat menginduksi rilis epithelial growth factor, proliferasi enterosit dari IL-15, dan aktivasi dari respons imun bawaan.[2,6,7]
Pada respons imun adaptif, transglutaminase 2 (tTG2) meningkatkan imunogenitas gliadin dengan cara mengubah fragmen yang memfasilitasi pengikatan gliadin pada HLA-DQ2 atau DQ8 di antigen presenting cells (APC). Gliadin yang dipresentasikan oleh APC dan dikenali oleh sel T CD4+ lalu menginisiasi produksi sitokin proinflamasi, metalloprotease, dan keratinocyte growth factor.
Keseluruhan proses ini bisa menyebabkan hiperplasia kripta intestinal, atrofi vili, dan kematian sel epitel intestinal. Kerusakan pada jaringan intestinal ini lalu menyebabkan malabsorbsi, yang bisa menimbulkan manifestasi klinis ekstraintestinal. Selain itu, sel T juga mengaktivasi maturasi sel B untuk memproduksi antibodi IgM, IgG, dan IgA. Antibodi-antibodi ini ikut berperan dalam manifestasi klinis ekstraintestinal.[1,2,7]