Diagnosis Anemia Sel Sabit
Diagnosis anemia sel sabit, atau sickle cell anemia, sering kali ditegakkan saat masa bayi atau anak. Penderita umumnya mengalami gejala klasik anemia dan dapat disertai dengan komplikasi yang bersifat akut seperti krisis vasooklusi. Diagnosis dapat ditegakkan dengan penemuan Hemoglobin S (HbS) pada sampel darah pasien.[1,4,5]
Anamnesis
Anemia sel sabit adalah penyakit yang diturunkan secara resesif. Seseorang akan menderita anemia sel sabit jika mendapat gen HbS dari kedua orang tuanya. Jika hanya mendapat salah satu, pasien umumnya sehat, namun bersifat karier. Oleh karena itu, riwayat penyakit pada keluarga sangat penting ditanyakan saat anamnesis.[1,4]
Selain dari riwayat keluarga, hal yang perlu ditanyakan saat anamnesis adalah ada tidaknya nyeri intermiten sejak masa kanak-kanak awal. Nyeri dapat dirasa di berbagai tempat, namun sering kali terasa di area abdomen, tulang, dan persendian. Nyeri berat yang terasa dalam dapat terasa di ekstremitas, terutama di tulang panjang. Nyeri abdominal dapat terasa berat menyerupai akut abdomen. Rasa nyeri dapat dibarengi dengan demam dan malaise.[1,2,5]
Evaluasi terkait riwayat gejala anemia seperti rasa cepat lelah, pusing, dan sesak napas perlu dilakukan. Riwayat gejala ikterus dan transfusi sebelumnya juga perlu ditanyakan. Tanyakan pula terkait adanya riwayat infeksi berulang, keterlambatan tumbuh kembang, atau pembengkakan pada tungkai. Pada pasien pria dewasa, tanyakan ada tidaknya riwayat ereksi berkepanjangan tanpa adanya rangsangan seksual yang menandakan gejala priapismus.[1,5]
Pemeriksaan Fisik
Gambaran hasil pemeriksaan fisik pada anemia sel sabit umumnya tidak spesifik. Sama seperti anemia lainnya, pasien akan tampak pucat. Pada pemeriksaan mata dapat ditemukan sklera ikterik dan pada pemeriksaan oftalmoskopi dapat ditemukan pembuluh darah dengan bentuk abnormal. Pasien dapat mengalami demam yang menandakan infeksi, meskipun pada pasien dewasa gejala ini kurang signifikan.[1,4,5]
Hipotensi dan takikardia bisa menandakan adanya syok septik atau splenic sequestration crisis. Orthostasis menandakan hipovolemia. Adanya takipnea dan dispnea perlu dicurigai ke arah komplikasi seperti pneumonia, gagal jantung, atau acute chest syndrome. Lakukan auskultasi untuk mengevaluasi adanya kemungkinan komplikasi tersebut.[1,4,16]
Lakukan palpasi untuk mencari tanda hepatosplenomegali dan nyeri tekan pada dada, abdomen, ekstremitas, sendi, dan punggung. Pada anak dapat dijumpai splenomegali, sementara gejala ini tidak muncul pada pasien dewasa karena telah terjadinya autosplenektomi.[1,4,12]
Pada observasi, cari tanda kebiruan, ikterus, eritema, atau edema pada area ekstremitas atau persendian. Pada pasien dewasa dapat pula ditemukan leg ulcers. Tumbuh kembang pasien anak sering kali tertinggal. Pada masa prepubertal, pasien juga berisiko mengalami delayed puberty.[1,4]
Meningitis
Pasien yang memiliki anemia sel sabit lebih berisiko mengalami meningitis. Pemeriksaan fisik terkait meningitis, seperti tanda Brudzinski dan Kernig, perlu dilakukan pada anak yang menunjukkan manifestasi klinis ke arah meningitis.[2,4]
Skeletal
Pasien dengan sickle cell disease biasanya memiliki tulang frontal, parietal, dan maksila yang menonjol karena hiperplasia sumsum tulang. Ekstremitas juga bisa tampak lebih panjang karena vertebra yang mendatar.[4,5]
Nyeri, bengkak, dan hangat dapat ditemukan pada tulang yang mengalami infark. Sekuele akibat infark antara lain sendi bahu yang immobile, deformitas panggul, atau osteoarthritis sekunder.[2,4]
Pasien dengan sickle cell disease juga lebih rentan terkena infeksi tulang dan sumsum tulang pada area yang infark atau nekrosis. Pada populasi umum, penyebab tersering osteomyelitis adalah Staphylococcus aureus. Namun, pada pasien dengan sickle cell disease, infeksi Salmonella sp lebih sering terjadi.[2,4]
Hand-foot Syndrome
Hand-foot syndrome, disebut juga daktilitis, merupakan gejala yang umum muncul pada pasien penyakit sel sabit. Pasien dapat mengalami pembengkakan pada tangan dan kaki yang sering kali disertai demam. Kondisi ini terjadi sebagai akibat infark pada sumsum tulang dan tulang kortikal di metakarpal, metatarsal, serta phalang proksimal.[4,17]
Oftalmologi
Pada mata, tanda yang didapat pada pemeriksaan fisik umumnya disebabkan oleh vasooklusi, baik pada konjungtiva, iris, retina, atau koroid. Pada segmen anterior bisa ditemukan pembuluh darah konjungtiva berbentuk corkscrew, infark atau atrofi iris, katarak, dan hifema. Pada segmen posterior bisa ditemukan gangguan diskus optik, oklusi vaskular makula dan retina posterior, makulopati, dan oklusi vaskular koroid.[4,5]
Ginjal
Manifestasi sickle cell disease yang dapat ditemukan pada ginjal bervariasi, mulai dari abnormalitas fungsional tubulus dan glomerulus hingga kelainan anatomis dari ginjal. Pasien sickle cell disease umumnya memiliki tekanan darah lebih rendah dibandingkan populasi sehat. Akan tetapi, hipertensi juga bisa ditemukan pada 2-6% pasien. Pada keadaan yang lebih lanjut, pasien bisa mengalami hematuria, proteinuria, dan gagal ginjal.[4,5,17]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding anemia sel sabit antara lain berbagai keadaan yang dapat menyebabkan terjadinya anemia hemolitik.[4,5]
Penyakit Hemoglobin C
Penyakit hemoglobin C adalah kondisi dimana lisin menggantikan posisi 6-asam glutamat. Penyakit ini bisa timbul bersamaan dengan anemia sel sabit, dan disebut dengan penyakit hemoglobin SC. Pada gabungan kedua penyakit ini, sebagian hemoglobin adalah hemoglobin sel sabit dan sebagian lainnya adalah hemoglobin C. Penyakit ini bisa dibedakan dengan anemia sel sabit melalui pemeriksaan elektroforesis.[4,5]
Nekrosis Avaskular
Pasien dengan nekrosis avaskular juga bisa datang dengan keluhan nyeri, sering kali pada bahu dan panggul, seperti yang timbul akibat vasooklusi pada anemia sel sabit. Gambaran MRI pada nekrosis avaskular akibat anemia sel sabit dan penyebab lain, misalnya cedera, sulit dibedakan. Namun, secara klinis, nekrosis avaskular tidak memiliki gejala anemia seperti pada anemia sel sabit.[1,18]
Penyakit Perthes
Penyakit Perthes bisa menimbulkan gejala osteonekrosis yang mirip dengan anemia sel sabit dan penyakit sel sabit secara umum. Penyakit Perthes adalah penyakit pada anak yang ditandai dengan nekrosis pada epifisis femur. Penyakit ini biasanya berhubungan dengan trombofilia. Secara klinis, manifestasi penyakit Perthes tidak menunjukkan anemia hemolitik seperti yang ditemukan pada anemia sel sabit.[4,19]
Pemeriksaan Penunjang
Di Amerika Serikat, pemeriksaan penunjang untuk mendeteksi dini anemia sel sabit bersifat wajib. Pemeriksaan menggunakan isoelectric focusing (IEF) atau cellulose acetate electrophoresis dapat dilakukan sebagai skrining awal. Baru kemudian dilakukan tes ulang pada hasil tes abnormal menggunakan pemeriksaan secondary complementary electrophoretic technique, high-performance liquid chromatography (HPLC), immunologic tests, atau DNA-based assays.[1,4]
Di Indonesia, pemeriksaan diawali dengan uji darah lengkap dan apus darah tepi. Selanjutnya, tes yang paling sering digunakan untuk mengidentifikasi varian penyakit sel sabit adalah elektroforesis hemoglobin. Pasien yang telah dikonfirmasi menderita anemia sel sabit direkomendasikan untuk menjalani skrining transcranial doppler ultrasound (TCD) setiap tahun untuk mengevaluasi risiko terjadinya komplikasi serebrovaskular seperti stroke.[1,11,14]
Pemeriksaan Darah
Pada pemeriksaan darah lengkap pasien anemia sel sabit dapat ditemukan penurunan kadar hemoglobin dan hematokrit, serta peningkatan leukosit dan trombosit. Hitung retikulosit umumnya meningkat, namun bisa bervariasi tergantung pada keparahan hemolisis. Pada pasien yang menjalani terapi hydroxyurea, kadar mean corpuscular volume (MCV) biasanya meningkat.
Apusan darah tepi akan menunjukkan sel target, pemanjangan sel, dan eritrosit sel sabit. Adanya sel darah merah dengan Howel Jolly bodies menandakan pasien asplenik. Pemeriksaan elektroforesis dapat dilakukan untuk mendeteksi HbS, di mana berbagai varian hemoglobin abnormal akan diidentifikasi dan dibandingkan kuantitasnya.[1,20]
Terdapat pula cara yang lebih sederhana yakni melalui solubility sickling test. Pada pemeriksaan ini darah yang mengandung HbS akan mengalami kekentalan setelah ditambahkan agen yang memicu deoksigenasi. Hanya saja, uji ini sering kali memberikan hasil negatif palsu pada pasien bayi baru lahir atau pada pasien dengan komorbid thalasemia alfa dan anemia berat. Oleh karena itu, cara ini sebaiknya tidak digunakan sebagai metode utama dalam penegakkan diagnosis.[4,20]
Rontgen
Rontgen ekstremitas berguna untuk mengevaluasi infark subakut dan kronik, serta untuk mengevaluasi jumlah dan keparahan osteonekrosis yang terjadi sebelumnya. Rontgen juga bisa mengevaluasi deformitas dan komplikasi lain terkait infark tulang.[4,10]
Pada tahap awal daktilitis, rontgen bisa menunjukkan edema jaringan lunak. Pembentukan tulang baru periosteal bisa tampak 7-10 hari kemudian. Selain itu, bisa juga terlihat adanya ekspansi medula, penipisan korteks, resorpsi trabekular, dan lusensi fokal pada 2-3 minggu onset gejala.[4,5]
MRI
MRI adalah metode terbaik untuk mendeteksi tanda awal osteonekrosis pada pasien. MRI juga bisa digunakan untuk mendeteksi adanya osteomyelitis. Pada MRI bisa tampak hiperplasia sumsum tulang, traktus sinus, dan abses periosteal. [4,5]
Pemeriksaan Lain
Skrining penyakit sel sabit sudah wajib dilakukan di Amerika Serikat. Skrining dapat dilakukan dengan mengambil sampel villus chorionic pada usia kehamilan 8-12 minggu untuk menganalisis DNA. Selain itu, DNA dari sel cairan amnion bisa diambil pada usia kehamilan 16 minggu.
Untuk mencegah terjadinya komplikasi serebrovaskular, pemeriksaan transcranial doppler ultrasound (TCD) direkomendasikan untuk dilakukan tiap 1 tahun sekali pada anak penderita anemia sel sabit sejak ia berusia 2–16 tahun.[10,11]
Anak dengan penyakit sel sabit juga sering kali memiliki gangguan fungsi pernapasan. Tes fungsi pernapasan sebaiknya dilakukan pada pasien dengan riwayat episode toraks rekuren atau saturasi oksigen yang rendah. Karena fungsi paru akan menurun seiring usia, penting untuk menentukan pasien mana yang memerlukan pengawasan ketat dan mana yang tidak.[4,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda