Pendahuluan Sindrom Koroner Akut
Sindrom koroner akut (SKA) merupakan kumpulan gejala yang terjadi karena gangguan aliran darah pada organ jantung. Terdapat 3 jenis penyakit utama yang masuk dalam klasifikasi SKA, yakni infark miokard dengan ST-elevasi (ST-elevation myocardial infarction/STEMI), infark miokardium tanpa ST-elevasi (non-ST-segment elevation myocardial infarction/NSTEMI), dan angina tidak stabil (unstable angina/UA).[1]
Istilah SKA tidak sama dengan penyakit jantung koroner (PJK). Pada umumnya, PJK dibagi menjadi dua, yakni penyakit jantung iskemik stabil (PJIS) dan sindrom koroner akut (SKA)[1,2]
Penyakit jantung iskemik stabil (PJIS) dapat bersifat asimptomatik, sementara sindrom koroner akut (SKA) selalu bersifat simptomatik. Sindrom koroner akut (SKA) bahkan menyebabkan sekitar sepertiga total kematian pada kelompok usia >35 tahun.[1,2]
Patofisiologi utama pada SKA adalah gangguan aliran darah yang pada mulanya disebabkan oleh adanya aterosklerosis maupun vasospasme pada arteri koroner jantung. Plak aterosklerosis yang telah terbentuk di arteri koroner mengalami pertumbuhan menimbulkan stenosis. Selain itu, plak juga dapat mengalami ruptur sehingga terjadi trombosis.[1-3]
Diagnosis SKA didapat dari gejala klasik nyeri atau rasa seperti tertindih pada dada kiri yang menjalar sampai bahu kiri, dagu dan lengan kiri. Akan tetapi, gejala ini tidak selalu ada, pasien dapat datang dengan lemas atau mual dan muntah. Diagnosis pada SKA dapat dilakukan melalui pemeriksaan resting-EKG 12 lead, yang harus dilakukan dalam maksimal 10 menit kedatangan dan pemeriksaan laboratorium marker jantung. Gold standard penegakan diagnosis SKA adalah pemeriksaan EKG dan cardiac marker serial, serta angiografi.[1-3]
Target utama penatalaksanaan SKA adalah stabilisasi hemodinamik, mengurangi nyeri iskemik, serta memberikan obat-obatan antiplatelet seperti aspirin dan adenosine diphosphate inhibitor seperti clopidogrel. Pasien SKA juga perlu diedukasi mengenai pentingnya menjaga pola hidup sehat untuk memperbaiki faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan membantu kontrol penyakit.[1-3]
Tata laksana lini pertama untuk pasien yang memerlukan reperfusi adalah percutaneous coronary intervention (PCI) atau yang juga dikenal kateterisasi jantung, karena memiliki outcome yang terbaik. Tata laksana ini dipilih apabila dapat dilakukan salam 120 menit dari onset gejala. Di Indonesia, tindakan PCI biasanya dilakukan di fasilitas kesehatan tersier. Apabila tidak dapat dilakukan PCI pada window period 120 menit, maka agen fibrinolitik seperti streptokinase, alteplase or tenecteplase yang harus dipilih sebagai terapi alternatif.[80,81]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon