Epidemiologi Sindrom Koroner Akut
Studi epidemiologi menunjukkan peningkatan prevalensi sindrom koroner akut (SKA) di seluruh dunia. Data World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa terdapat kenaikan mortalitas akibat SKA mencapai 42%. Angka morbiditas dan mortalitas SKA terutama dipengaruhi oleh kemajuan fasilitas dan layanan kesehatan di masing-masing negara.[2,8]
Global
Penyakit jantung koroner sebagai patofisiologi utama penyebab sindrom koroner akut (SKA) diderita oleh 15.5 juta orang di Amerika Serikat. American Heart Association (AHA) memperkirakan bahwa henti jantung mendadak terjadi setiap 41 detik di Amerika Serikat. Keluhan paling sering yang dikemukakan pasien adalah nyeri dada.[9]
Indonesia
Studi epidemiologi di Indonesia terkait SKA masih sangat terbatas. Akan tetapi, berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi penyakit jantung koroner sebagai etiologi utama sindrom koroner akut (SKA) di Indonesia sebesar 1,5%, dengan peringkat prevalensi tertinggi di Provinsi Kalimantan Utara yaitu 2,2%, Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu 2%, dan Gorontalo yaitu 2%.[9]
Selain ketiga provinsi tersebut, terdapat pula 8 provinsi lainnya dengan prevalensi yang lebih tinggi jika dibandingkan dengan prevalensi nasional. Delapan provinsi tersebut adalah Aceh (1,6%),Sumatera Barat (1,6%), DKI Jakarta (1,9%), Jawa Barat (1,6%), Jawa Tengah (1,6%), Kalimantan Timur (1,9%), Sulawesi Utara (1,8%) dan Sulawesi Tengah (1,9%).[9]
Profesi penderita penyakit jantung koroner terbanyak, yang merupakan etiologi utama SKA, adalah aparat pemerintahan, yaitu PNS/TNI/Polri/BUMN/BUMD dengan prevalensi 2,7%. Sementara jika dilihat dari tempat tinggal, penduduk perkotaan lebih banyak menderita penyakit jantung dengan prevalensi 1,6% dibandingkan penduduk pedesaan yang hanya 1,3%.[9]
Mortalitas
Angka mortalitas pasien yang dirawat inap akibat SKA di Indonesia mencapai 32,3%. Angka ini termasuk salah satu yang tertinggi di seluruh dunia. Hal ini terutama dipengaruhi oleh fasilitas pelayanan kesehatan yang kurang memadai, tenaga ahli yang terbatas, akses terhadap pedoman literatur terbaru yang kurang, serta tingkat kepatuhan pengobatan yang rendah pada pasien.[10]
Penulisan pertama oleh: dr. Gold SP Tampubolon