Patofisiologi Dehidrasi
Patofisiologi dehidrasi melibatkan proses kurangnya asupan cairan yang biasa berasal dari diet makanan atau minuman, dan jumlah cairan yang keluar dari tubuh melalui urin, keringat, dan insensible water loss pada kulit ataupun proses respirasi.[1-4]
Fisiologi Cairan di Dalam Tubuh
Air merupakan komponen utama dalam tubuh manusia. Pada laki-laki, air mencapai 60% dari total berat badan, sementara pada wanita 50-55%. Cairan dalam tubuh terdistribusi ke dalam dua komponen, yaitu cairan ekstraseluler dan cairan intraseluler. Air dalam tubuh memiliki fungsi untuk menjaga integritas struktur sel dan cairan tubuh, serta menjadi media untuk mengantarkan nutrient pada darah, cairan interstisial, dan membuang zat-zat sisa metabolism melalui urin.[1]
Kadar osmolalitas ≥ 285 mOsm/kg merupakan ambang batas pelepasan arginine vasopressin (AVP) atau yang lebih dikenal dengan hormone antidiuretik. Pada keadaan tersebut, kelenjar hipofisis posterior akan meningkatkan produksi hormon antidiuretik yang selanjutnya akan meningkatkan reabsorbsi air pada duktus koligentes, sehingga produksi urin akan berkurang. Pada keadaan hiperosmolaritas, tubuh akan merasakan haus sebagai mekanisme kompensasi untuk mencegah terjadinya dehidrasi.[1,2]
Patofisiologi Dehidrasi Secara Umum
Defisit cairan dapat disertai gangguan keseimbangan kadar elektrolit. Berdasarkan proses patofisiologinya, dehidrasi dapat diklasifikasikan menjadi tiga yaitu dehidrasi isotonic, dehidrasi isotonik, dan dehidrasi hipertonik.[1-4]
Dehidrasi Isotonik
Dehidrasi isotonik (isonatremik) merupakan keadaan dimana defisit cairan yang dialami oleh tubuh sebanding dengan defisit natrium, sehingga volume cairan ekstraseluler akan berkurang, dan perfusi ke jaringan akan menurun. Penurunan perfusi pada ginjal akan mengaktivasi sistem renin-angiotensin-aldosteron, yang memiliki efek kompensasi untuk reabsorbsi natrium dan air.
Sekresi hormone ADH selanjutnya akan menyebabkan retensi cairan, sehingga memperbaiki defisit cairan. Pada dehidrasi isotonik biasanya kadar osmolalitas, kadar natrium, dan kadar cairan intraseluler tetap normal. Dehidrasi isotonik biasanya terjadi pada pasien yang mengalami perdarahan, luka bakar, orang yang sedang berpuasa, muntah, atau diare.[1,4,5]
Dehidrasi Hipotonik
Dehidrasi hipotonik (hiponatremia) merupakan keadaan dimana defisit natrium lebih besar dibandingkan defisit cairan. Penyebab utama dehidrasi hipotonik adalah muntah, diare (gastroenteritis), berkeringat, hiperventilasi, perdarahan, olahraga, dan kelainan pada ginjal yang menyebabkan ekskresi elektrolit berlebih.[4,5]
Dehidrasi Hipertonik
Dehidrasi hipertonik (Hiponatremia) merupakan keadaan dimana defisit air lebih besar dibandingkan defisit natrium. Dehidrasi tipe ini dapat terjadi ketika rasio BUN terhadap kreatinin ≥20 atau kadar natrium ≥150 mmol/L. Peningkatan kadar natrium pada plasma akan meningkatkan osmolalitas, yang mengakibatkan cairan akan berpindah ke kompartemen ekstraseluler, termasuk pada jaringan otak, yang dapat menyebabkan penyusutan volume otak dan perdarahan intraserebral atau subarachnoid. Dehidrasi hipertonik dapat terjadi pada pasien diabetes insipidus, pasien yang mendapat terapi diuretic loop (furosemide), demam, luka bakar (maupun luka bakar pada anak), ataupun hiperventilasi.[4,5]