Diagnosis Spina Bifida
Diagnosis spina bifida dapat dilakukan sejak janin masih berada dalam kandungan atau setelah bayi lahir, dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penunjang.[2-4]
Anamnesis
Pada anamnesis, penting untuk menggali faktor yang diduga merupakan risiko terjadinya spina bifida pada saat kehamilan. Pola makan selama kehamilan, kebiasaan ibu saat hamil, riwayat konsumsi suplemen asam folat, riwayat konsumsi obat antiepilepsi seperti asam valproat, serta riwayat penyakit penyerta yang dialami oleh ibu.
Riwayat keluarga dan kehamilan sebelumnya juga perlu ditanyakan pada ibu terkait dengan peningkatan risiko terjadinya kondisi spina bifida pada anak yang lahir dari ibu dengan riwayat melahirkan anak dengan kondisi spina bifida atau neural tube defect lain sebelumnya atau anggota keluarga mengalami kondisi yang serupa.[4,25,26]
Setelah bayi lahir, orang tua biasa akan mengeluhkan adanya benjolan, cekungan, atau kelainan kulit lainnya pada daerah garis tengah vertebra atau punggung. Bayi biasa akan tampak letargi, sulit makan, disertai dengan inkoordinasi gerakan mata, gangguan perkembangan, dan keluhan neurologis lain.
Seiring dengan berjalannya usia, anak dengan spina bifida biasanya lebih sering mengalami enuresis nokturnal dan disfungsi saluran kemih. Oleh karena itu, penderita lebih sering mengalami infeksi saluran kemih berulang, penyakit ginjal kronis, dan hipertensi. Keluhan lainnya yang dapat ditemukan, seperti adanya perubahan perilaku, peningkatan spastisitas, dan deformitas tulang maupun ekstremitas yang berdampak pada gangguan gerakan.[4,27,28]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan awal, inspeksi kulit penting sebagai petunjuk untuk menegakkan diagnosis spina bifida. Inspeksi dilakukan untuk melihat keberadaan abnormalitas kulit, terutama pada garis tengah punggung. Biasa dijumpai adanya benjolan yang tertutup atau tidak tertutup kulit, cekungan, hiperpigmentasi, atau rambut di daerah kulit tersebut.
Pemeriksaan neurologis secara lengkap perlu dilakukan pada penderita dan biasanya akan menunjukkan gangguan, baik pada motorik, sensorik, atau saraf kranial tergantung lokasi lesi yang terkena. Pemeriksaan juga menunjukkan adanya lesi pada upper dan lower motor neuron. Lesi pada torakal biasanya menunjukkan gejala dominan pada ekstremitas atas dan leher, sedangkan lesi pada lumbar dan sakral akan memberikan gangguan pada ekstremitas bawah.[4,29]
Tabel 1. Gejala Neurologis Berdasarkan Lokasi Lesi
Lokasi Lesi | Pemeriksaan Neurologis |
Torakal | - Terganggunya fungsi ekstremitas atas, tanpa keterlibatan ekstremitas bawah - Memiliki keterkaitan dengan gangguan kognitif |
Lumbar atas | - Hilangnya gerakan ekstensi dan abduksi pinggul - Hilangnya semua gerakan lutut dan pergelangan kaki - Perubahan kekuatan fleksor dan adduktor pinggul yang bervariasi |
Lumbar bawah | - Hilangnya gerakan plantar fleksor pergelangan kaki - Perubahan kekuatan hamstring lateral, abduktor pinggul, dan dorsifleksor pergelangan kaki yang bervariasi |
Sakral | Kekuatan fleksor plantar pergelangan kaki bervariasi |
Sumber : dr. Giovanni Gilberta, 2019.
Penderita juga kerap kali menunjukkan adanya tanda peningkatan intrakranial akibat hidrosefalus. Hal ini ditunjukkan dengan adanya fontanel yang menonjol, delikan mata ke atas atau sunset eye sign, dan peningkatan lingkar kepala yang didapatkan dari hasil pengukuran. Peningkatan tekanan intrakranial juga ditunjukkan dengan papiledema dalam pemeriksaan funduskopi.[2,29]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding spina bifida, antara lain sakrokoksigeal teratoma, sakral agenesis, dan diastematomyelia.[30-32]
Sakrokoksigeal Teratoma
Sakrokoksigeal teratoma merupakan tumor sel germinal yang berasal dari sisa sel totipotensial dan berlokasi di presakral. Serupa dengan spina bifida, penderita biasa akan memberikan gambaran klinis berupa massa dan terjadi peningkatan nilai alfa-fetoprotein pada pemeriksaan laboratorium.
Kelainan ini dapat dibedakan dari spina bifida melalui pemeriksaan MRI yang menunjukkan adanya protrusi massa kistik, solid, maupun campuran dari sakrum dengan sumsum tulang, serta otak yang normal. Pemeriksaan histopatologi dapat membantu membedakan kedua kondisi tersebut. Gambaran histologi sakrokoksigeal teratoma terdiri dari komponen kistik dengan adneksa kulit, folikel rambut, sebasea, saraf, atau kelenjar mukus.[30,33,34]
Sakral Agenesis
Sakral agenesis adalah kelainan kongenital yang ditandai dengan adanya kelainan osteologi dari tulang belakang, dimana bagian sakral tidak terbentuk akibat gangguan perkembangan yang menyebabkan defisiensi mesoderm kaudal. Kondisi ini memberikan gambaran klinis menyerupai spina bifida karena penderita biasa akan mengalami abnormalitas muskuloskeletal dan defisit neurologis, terutama pada sensorik dan motorik.
Meskipun dapat memberikan gejala yang serupa dengan spina bifida, penderita sakral agenesis biasanya memiliki bokong yang rata, celah anus yang dangkal, dan tidak dirasakannya tulang koksigeus pada pemeriksaan palpasi. Kondisi ini memberikan gambaran khas inverted champagne bottle, yaitu kondisi wasting pada tungkai bawah sehingga memberikan gambaran seperti botol yang terbalik. Temuan ini diperkuat dengan tumpulnya conus medullaris pada pemeriksaan MRI.[31,35,36]
Diastematomyelia
Diastematomyelia adalah suatu kelainan kongenital yang ditandai dengan adanya medula spinalis yang terpisah secara abnormal ke arah longitudinal. Kondisi ini terjadi pada vertebra lumbar atas. Pada inspeksi kulit, terdapat hipertrikosis pada punggung, disertai dengan defisit neurologis sehingga memberikan gambaran yang mirip dengan spina bifida. Diastematomyelia dapat didiagnosis pada usia gestasi 21.5 minggu dan dibedakan dengan spina bifida melalui pemeriksaan radiologis.
Pemeriksaan ultrasonografi prenatal akan menunjukkan adanya gambaran hiperekoik pada bagian vertebra yang merupakan suatu septum di antara 2 hemicord. Diagnosis dapat dilakukan pada usia kehamilan 21.5 minggu. Temuan tersebut dapat dikonfirmasi dengan pemeriksaan MRI saat kehamilan maupun setelah anak lahir.[32,37]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang pada kasus spina bifida dapat digunakan sebagai alat bantu penegakan diagnosis selama kehamilan maupun setelah bayi lahir. Pemeriksaan penunjang yang biasa dilakukan, antara lain pemeriksaan biokimia, USG, MRI, CT-scan, dan pemeriksaan urine.[3,4,7]
Pemeriksaan Biokimia
Pemeriksaan biokimia, terutama alfa-fetoprotein (AFP) dan asetilkolinesterase, merupakan salah satu pemeriksaan penting yang dapat dilakukan untuk skrining kondisi spina bifida sejak janin masih berada dalam kandungan. Pemeriksaan dilakukan pada trimester kedua dengan sampel yang didapatkan dari cairan ketuban melalui amniosentesis maupun serum ibu. Tindakan amniosentesis memiliki risiko keguguran pada janin sehingga saat ini metode pengambilan sampel serum lebih banyak dilakukan.
Peningkatan AFP lebih dari 2.5 kali nilai median untuk usia gestasi dan asetilkolinesterase merupakan petunjuk terjadinya spina bifida terbuka pada janin. Namun pemeriksaan ini tetap membutuhkan pemeriksaan penunjang lain, seperti USG untuk mendukung hasil temuan. Pemeriksaan juga dapat memberikan hasil yang normal meskipun janin mengalami spina bifida, apabila janin menderita spina bifida jenis tertutup.[3,4,30,38,39]
Prenatal Morphology Ultrasonografi (USG)
Pemeriksaan USG untuk mendeteksi kelainan kongenital umumnya dilakukan mulai pada usia gestasi 18-23 minggu. Salah satu tujuan pemeriksaan USG adalah menilai tulang belakang dari potongan sagital, aksial, dan koronal, dan longitudinal. Komponen penilaian yang dilakukan melalui USG adalah kontinuitas, morfologi, panjang dan waktu osifikasi tulang vertebra. Hal ini dapat memprediksi ukuran, serta usia dari janin. Pemeriksaan juga dilakukan untuk menilai tengkorak, ventrikel dan serebelum.
Tanda khas pada penderita spina bifida, terutama tipe terbuka, yang dapat ditemukan melalui USG adalah :
Banana sign : kecekungan anterior dari hemisfer serebelum disertai dengan hilangnya cisterna magna
Lemon sign : pendorongan hindbrain ke arah belakang akibat rendahnya tekanan sistem ventrikel serebrum
Kedua tanda ini dapat ditemukan pada masing-masing 98% dan 72% kasus dengan usia janin kurang dari 24 minggu. Pada beberapa kasus, janin juga dapat memberikan gambaran ventrikulomegali dan abnormalitas posisi ekstremitas bawah.
Selain menilai tulang belakang, USG juga dilakukan untuk menilai apakah kelainan spina bifida yang dialami janin bersifat isolated atau terkait dengan kondisi genetik atau sindrom lain. Temuan abnormalitas pada wajah, jantung, saluran pencernaan atau urogenital merupakan tanda sugestif spina bifida terkait dengan sindrom lain.[2,7]
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
Pemeriksaan MRI biasa dilakukan untuk melengkapi hasil pemeriksaan USG. MRI dilakukan apabila terdapat abnormalitas intrakranial yang menyertai, kurang optimalnya visualisasi tulang belakang, atau penderita dipertimbangkan untuk menjalani operasi perbaikan secara in utero.
Pemeriksaan MRI aman dilakukan pada kehamilan karena bebas dari radiasi sehingga dapat digunakan sebagai pemeriksaan prenatal maupun neonatus. Gambaran MRI yang dapat terlihat pada penderita spina bifida, antara lain defek dari tulang belakang, distorsi fossa posterior, perubahan posisi kaudal vermis serebelum dan batang otak.
Penilaian juga dilakukan untuk mencari abnormalitas lain yang menyertai gangguan spina bifida. Modalitas MRI terbukti lebih baik untuk menilai abnormalitas struktur lain, seperti korpus kalosum, batang otak dan korteks. Pemeriksaan dilakukan dengan MRI 1.5 atau 3 T yang divisualisasikan pada 3 sumbu. Otak dan tulang belakang menggunakan gambaran T2w. MRI dapat pula digunakan untuk menyingkirkan diagnosis banding yang memberikan gambaran menyerupai spina bifida.[2,30]
Computed Tomography Scan (CT-Scan)
Pemeriksaan CT-scan tidak dilakukan pada ibu hamil karena memiliki bahaya radiasi. CT scan kepala dilakukan pada neonatus atau bayi yang mengalami hidrosefalus atau perubahan ukuran ventrikel otak, kondisi yang sering menyertai spina bifida. Selain pemeriksaan kepala, CT-scan juga baik digunakan untuk mengevaluasi morfologi tulang belakang dan pelvis yang berguna untuk menentukan tata laksana yang tepat bagi penderita.[4,30]
Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan urinalisis, kultur, blood urea nitrogen (BUN), dan kreatinin direkomendasikan untuk dilakukan pada penderita spina bifida secara rutin. Hal ini dilakukan sebagai evaluasi saluran kemih terkait tingginya kemungkinan penderita mengalami infeksi saluran kemih.[4,28]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri