Pendahuluan Rhabdomyolysis
Rhabdomyolysis adalah sindrom yang ditandai dengan nekrosis otot dan pelepasan isi otot intraseluler ke dalam sirkulasi, yang mengakibatkan komplikasi nefrologis yang dapat mengancam jiwa. Gejala rhabdomyolysis bervariasi dari asimtomatik hingga gejala berat yang dapat mengancam nyawa.
Gejala klasik meliputi trias nyeri otot, kelemahan otot, serta myoglobinuria yang ditandai dengan urine berwarna merah gelap atau seperti teh. Pada pemeriksaan laboratorium, biasanya didapatkan peningkatan kadar kreatin kinase. Penegakan diagnosis penyebab definitif juga perlu dilakukan agar dapat mendapatkan terapi yang adekuat.[1,2,4]
Penyebab rhabdomyolysis terdiri dari penyebab fisik atau traumatik dan penyebab nonfisik atau non traumatik. Penyebab fisik meliputi crush syndrome, trauma multipel, imobilisasi jangka panjang, oklusi arteri, serta aktivitas otot berlebihan seperti pada olahraga berat atau status epileptikus.
Penyebab non fisik meliputi penggunaan obat-obatan seperti obat golongan statin; serta infeksi, toksin, atau adanya gangguan genetik maupun gangguan metabolik pada otot. Pasien yang berisiko mengalami rhabdomyolysis misalnya mereka yang digigit ular berbisa, mengalami kecelakaan kendaraan bermotor, atau tertimpa reruntuhan bangunan akibat gempa bumi.[1-4,8]
Tata laksana rhabdomyolysis meliputi terapi suportif serta terapi definitif sesuai dengan penyebab yang mendasari. Penanganan kegawatdaruratan dan pemberian cairan perlu segera dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi gagal ginjal akut.
Contoh kegawatdaruratan adalah sindroma kompartemen yang dapat muncul akibat perburukan edema dari ekstremitas dan otot. Dengan penanganan yang adekuat sedini mungkin, luaran yang baik dapat dicapai.[2,5,8,13]
Cairan ringer laktat atau cairan salin normal merupakan cairan yang dapat diberikan untuk resusitasi pada rhabdomyolisis. Kecepatan awal 400 ml/jam disarankan, dengan target terapi keluaran urine 1 ml/kg/jam hingga 3 ml/kg/jam. Penggunaan natrium bikarbonat, manitol, maupun loop diuretic seperti furosemide tidak disarankan karena belum didukung bukti ilmiah adekuat.[1]