Pendahuluan Bell's Palsy
Bell’s palsy adalah paralisis nervus fasialis (saraf kranial VII) unilateral yang beronset akut. Etiologi pastinya belum diketahui namun proses iskemik, infeksi, imunologis, atau herediter dihipotesiskan sebagai penyebabnya.
Dalam perjalanannya, nervus fasialis melalui berbagai kanal sempit sehingga proses yang menyebabkan nervus fasialis mengalami edema atau inflamasi bisa menyebabkannya mengalami kompresi dan menimbulkan gangguan inervasi. Nervus fasialis mempunyai percabangan motorik, sensorik dan parasimpatik, sehingga gejala paralisis saraf ini akan menimbulkan paralisis otot wajah, gangguan pendengaran, gangguan pengecapan, nyeri di area wajah dan mastoid, serta gangguan lakrimasi dan salivasi.
Penampakan klinis Bell’s palsy pertama kali digambarkan oleh Sir Charles Bell pada tahun 1821. Bell’s palsy adalah kelemahan atau kelumpuhan nervus fasialis unilateral dengan onset akut, kurang dari 72 jam.[1] Bell’s palsy relatif jarang ditemukan tapi bisa mengenai semua gender pada semua umur. Insidensi gangguan ini adalah 11,5 – 53,3 per 100.000 orang per tahun. Meskipun bisa mengenai siapa saja, namun insidensi terbesar Bell’s palsy ditemukan pada rentang usia 15-45 tahun. Meskipun risiko untuk laki-laki dan perempuan sama, namun prevalensi kasus ini meningkat pada ibu hamil.[2, 3]
Diagnosis Bell’s palsy ditegakkan dengan menyingkirkan patofisiologi lain yang mungkin. Gejala patognomonisnya adalah paralisis otot-otot wajah ipsilateral dan mencakup cabang nervus fasialis bagian dahi, bersifat akut dan mencapai puncak dalam 72 jam. Tingkat keparahan parese nervus dinilai dengan House Brackmann grading system. Sistem ini juga dipakai untuk menilai kemajuan terapi.
Pemeriksaan fisik yang harus dilakukan adalah pemeriksaan motorik otot-otot wajah yang diinervasi nervus fasialis, pemeriksaan nervus kranialis lainnya, pemeriksaan telinga, pemeriksaan mata, pemeriksaan fungsi lakrimasi dan salivasi, serta pemeriksaan fungsi pengecapan. Pemeriksaan penunjang tidak direkomendasikan untuk penegakan diagnosis namun bisa dilakukan sesuai dengan indikasi yang ditemukan.
Penatalaksanaan farmakoterapi harus dimulai sesegera mungkin untuk menurunkan kemungkinan terjadinya sekuele. Farmakoterapi yang diberikan adalah kortikosteroid atau kombinasi kortikosteroid dan antiviral. Penggunaan antiviral sebagai agen tunggal tidak direkomendasikan. Penatalaksanaan non farmakologis dilakukan untuk mengoptimalkan fungsi dan estetik, serta mengatasi sekuele.
Sebagian besar pasien Bell’s palsy mengalami remisi sempurna, namun sebagian kecil akan mengalami remisi parsial dan mengalami sekuele. Sekuele yang bisa terjadi adalah regenerasi motorik yang inkomplit, regenerasi sensorik yang inkomplit, atau reinervasi yang salah.