Pendahuluan Cerebral Palsy
Cerebral palsy, atau disebut juga lumpuh otak, adalah penyakit yang menyebabkan gangguan pada otak, sehingga mempengaruhi otot, gerakan, dan koordinasi. Secara klinis, cerebral palsy didefinisikan sebagai sekelompok gangguan heterogen yang bersifat permanen yang mempengaruhi kemampuan bergerak dan menyebabkan keterbatasan aktivitas, serta bersifat non-progresif.
Cerebral palsy sering disebabkan oleh gangguan otak pada masa perkembangan, yaitu masa prenatal, perinatal, dan masa awal kehidupan. Gangguan ini menyebabkan keterbatasan motorik dan kapasitas fungsional dengan derajat keparahan yang beragam.[1,2]
Terdapat empat tipe cerebral palsy, yaitu spastik, athetoid, ataksik, dan campuran. Gangguan motorik yang terjadi bisa berupa gangguan pengendalian motorik halus sampai spastisitas berat pada semua ekstremitas. Cerebral palsy paling banyak dikaitkan dengan hipoksia otak bayi selama persalinan atau pada periode perinatal. Salah satu faktor risiko utama kejadian cerebral palsy adalah prematuritas. Faktor risiko lain adalah riwayat kejang dan berat badan lahir rendah.[1-3]
Diagnosis ditegakkan berdasarkan riwayat kelahiran, perkembangan, dan hasil pemeriksaan fisik pasien. Gambaran klinis cerebral palsy akan bervariasi, yang mana cerebral palsy dapat menyebabkan diplegia, hemiplegia, ataksia, tetraplegia, dan diskinesia. Refleks primitif yang menetap melebihi usia yang seharusnya juga merupakan karakteristik klinis utama cerebral palsy.[1,2]
Manajemen cerebral palsy membutuhkan pendekatan interprofesi dan bertujuan untuk menjaga kualitas hidup dan fungsi pasien. Hal ini karena biasanya pasien akan mempunyai berbagai komorbiditas dan komplikasi yang membutuhkan penanganan komprehensif. Meskipun sebagian besar pasien bisa mencapai usia dewasa, namun cerebral palsy memperpendek usia harapan hidup pasien.
Untuk mengobati spastisitas, beberapa agen telah digunakan seperti baclofen, dantrolene, dan injeksi toksin botulinum. Pasien cerebral palsy juga akan memerlukan fisioterapi dan terapi okupasi. Pada beberapa kasus, pasien memerlukan ortosis atau bahkan pembedahan ortopedi.[1,4,5]
Penulisan pertama oleh: dr. Adrian Prasetio