Epidemiologi Cerebral Palsy
Data epidemiologi mengindikasikan bahwa cerebral palsy merupakan penyebab disabilitas pada masa kanak yang paling banyak. Gangguan ini paling sering ditemukan pada bayi yang lahir prematur atau dengan berat badan lahir rendah. Bayi-bayi yang lahir dengan usia kehamilan di bawah 28 minggu merupakan populasi yang paling berisiko.[1,5]
Global
Rerata insiden cerebral palsy diperkirakan berkisar antara 1,5 hingga 3,0 per 1000 kelahiran hidup. Sebanyak 35% anak dengan cerebral palsy menderita tipe diplegia spastik, yang merupakan fenotipe klinis paling umum.
Quadriplegia spastik terjadi pada 20% anak cerebral palsy, yang mana fenotipe klinis ini dikaitkan dengan kelahiran prematur dan temuan neuroimaging berupa leukomalasia periventrikular berat dan ensefalomalasia kortikal multikistik. Cerebral palsy ekstrapiramidal dilaporkan pada sekitar 15% kasus.[6,17]
Indonesia
Belum tersedia data epidemiologi nasional cerebral palsy di Indonesia. Sebuah penelitian kecil lokal di Sumba menemukan 130 anak dengan cerebral palsy yang sebagian besar terlambat terdiagnosis, yakni usia rerata penegakan diagnosis adalah 6 tahun 5 bulan. Komplikasi yang didapatkan adalah gangguan bicara (77,5%), disabilitas intelektual (29,2%), gangguan penglihatan (13,8%), gangguan pendengaran (20%), dan epilepsi (13,5%).[8]
Mortalitas
Kematian yang disebabkan langsung oleh cerebral palsy jarang terjadi. Sebanyak 95% pasien penderita diplegia dan 75% pasien penderita quadriplegia bertahan hidup hingga usia 30 tahun. Sebanyak 95% pasien cerebral palsy dengan defisit kognitif ringan dan 65% pasien dengan defisit kognitif berat bertahan hidup hingga usia 38 tahun.
Pasien dengan cerebral palsy juga bisa mengalami berbagai morbiditas, termasuk gangguan motorik yang mengarah pada spastisitas, distonia, atau ataksia, yang menyebabkan keterbatasan fungsional dan aktivitas sehari-hari. Pasien cerebral palsy juga rentan terhadap komplikasi ortopedi seperti dislokasi pinggul dan skoliosis, serta gangguan pertumbuhan dan nutrisi akibat disfagia dan kesulitan makan.
Selain itu, terdapat risiko tinggi untuk mengalami epilepsi, gangguan kognitif, dan masalah sensorik. Komorbiditas lain yang sering terjadi adalah masalah pernapasan akibat aspirasi kronis, infeksi saluran napas berulang, serta gangguan gastrointestinal seperti refluks gastroesofagus dan konstipasi kronis.[1,3,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Adrian Prasetio