Epidemiologi Kehamilan Postterm
Menurut data epidemiologi, prevalensi kehamilan postterm secara global adalah 5–10% dari total seluruh kehamilan. Di Indonesia, data epidemiologi kehamilan postterm masih terbatas, sehingga prevalensi belum dapat diketahui dengan pasti.[1-3]
Global
Prevalensi kehamilan postterm di seluruh dunia adalah sekitar 5–10% dari total semua kehamilan. Di Amerika Serikat, prevalensi kehamilan postterm adalah sebesar 6% dari sekitar 4 juta kelahiran per tahun.[1,2,6,8]
Indonesia
Di Indonesia, informasi mengenai kehamilan postterm masih sedikit. Beberapa literatur memperkirakan bahwa prevalensi kehamilan postterm di Indonesia adalah sekitar 10%. Namun, studi epidemiologi nasional masih diperlukan untuk konfirmasi.[3]
Mortalitas
Mortalitas pada janin dan ibu dengan kehamilan postterm lebih tinggi daripada pada kehamilan aterm. Angka kematian perinatal, kelahiran mati, dan kematian neonatus dini meningkat 2 kali lebih tinggi pada usia kehamilan 42 minggu dibandingkan pada usia kehamilan aterm (4–7 berbanding 2–3 per 1.000 kelahiran).[1,9]
Angka kematian perinatal meningkat 4 kali lipat pada usia kehamilan 43 minggu dan meningkat 5–7 kali lipat pada usia kehamilan 44 minggu. Dari data tersebut, literatur menyimpulkan bahwa untuk setiap 1.000 kehamilan, kematian janin dan neonatus meningkat drastis setelah usia kehamilan >40 minggu.[1]
Berdasarkan hasil studi Cotzias, et al., risiko kelahiran mati pada kehamilan postterm adalah sebagai berikut:
- Kelahiran mati 1 dari 926 pada kehamilan dengan usia 40 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 826 pada kehamilan dengan usia 41 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 769 pada kehamilan dengan usia 42 minggu
- Kelahiran mati 1 dari 633 pada kehamilan dengan usia 43 minggu[2]
Kehamilan postterm juga berkaitan dengan peningkatan biaya pemantauan antenatal pada janin, induksi persalinan, atau sectio caesarea.[1,2,4,6]
Direvisi oleh: dr. Irene Cindy Sunur