Penatalaksanaan Hipermetropia
Penatalaksanaan pada hipermetropia berfokus pada koreksi refraksi, pencegahan terjadinya amblyopia dan strabismus, serta pencegahan terjadinya infeksi kelopak mata dan konjungtivitis berulang.[2]
Koreksi Optikal
Penatalaksanaan yang paling utama dari hipermetropia adalah koreksi optik, yakni dengan menggunakan lensa bikonveks atau lensa plus untuk memusatkan sinar cahaya tepat pada retina neurosensorik. Berikut ini adalah cara untuk meresepkan kacamata untuk penderita hipermetropia:
- Total hipermetropia harus didapatkan dari retinoskopi sikloplegik, terutama pada anak-anak
- Pasien dengan gejala dan anak-anak harus selalu diberikan koreksi refraksi yang tepat
- Anak-anak perlu diresepkan koreksi hipermetropia penuh secara bertahap, selama usia sekolah Hal ini dikarenakan koreksi penuh secara langsung dapat menimbulkan efek buram pada pandangan jarak jauh
- Pemberian agen sikloplegik, seperti atropin sulfat, dalam jangka pendek juga dapat membantu anak dalam fase penyesuaian pasca koreksi hipermetropia
- Daya plus maksimum yang diterima dengan visus baik (20/20) perlu diresepkan
- Konvergensi akomodatif harus ditangani dengan koreksi hipermetropia secara penuh. Apabila terjadi amblyopia, maka evaluasi perlu dilakukan serta koreksi dengan terapi oklusi perlu dilakukan[2]
Pemberian resep kacamata ditentukan oleh beberapa faktor seperti isoametropia, anisometropia, dengan atau tanpa strabismus. Selain kacamata, penderita hipermetropia dapat menggunakan kontak lensa apabila hipermetropia unilateral atau terdapat perbedaan yang cukup besar antara hipermetropia mata kanan dan kiri.[1,2]
Tabel 1. Kriteria Pemberian Resep Kacamata pada Pasien Hipermetropia.
Mata isoametropia pada hipermetropia, harus diberikan kacamata apabila paling tidak: | |
Anak <1 tahun | +6D |
Usia 1 hingga < 2 tahun | +5D |
Usia 2 tahun hingga < 3 tahun | + 4.50D |
Usia 3 tahun hingga < 4 tahun | +3.50D |
Hipermetropia dengan isoametropia (dengan esotropia), harus diberikan kacamata apabila refraksi mininumnya paling tidak: | |
Anak usia < 2tahun | + 2.50D |
Usia 2 tahun hingga < 4 tahun | +1.50D |
Hipermetropia dengan anisometropia tanpa strabismus perlu dikoreksi apabila paling tidak: | |
Usia < 1 tahun | +2.50D |
Usia 1 tahun - <2 tahun | +2D |
Usia 2 - <4 tahun | +1.50D |
Sumber: dr. Novita Tirtaprawita, Alomedika, 2023.[2]
Pembedahan
Terapi pembedahan pada pasien dengan hipermetropia atau pembedahan refraktif dilakukan apabila gangguan refraksi pada mata telah stabil dan pertumbuhan dari mata telah berhenti, biasanya pada sekitar usia 30 tahun. Jenis pembedahan refraktif pada hipermetropia dapat melalui prosedur insisional dan laser.
Sebelum tindakan operasi, pasien harus melakukan pemeriksaan seperti biomikroskopi slit-lamp untuk menyingkirkan blefarokonjungtivitis alergi dan dry eye syndrome, serta pemeriksaan refraksi. Pemeriksaan lain mencakup pemeriksaan ketebalan kornea dan topografi, analisis wavefront, pemeriksaan tekanan intraokular, estimasi ukuran pupil, dan pemeriksaan funduskopi.[2]
Prosedur Insisional Refraktif
Prosedur ini sudah lama ditinggalkan karena sudah dianggap kuno. Prosedur insisional terbagi menjadi dua, yakni heksagonal keratotomi dan prosedur refraktif lamellar (hyperopic keratomileusis of Barraquer). Heksagonal keratotomi dilakukan pada pasien dengan hipermetropia derajat rendah hingga sedang, sedangkan prosedur refraktif lamellar pada akhirnya menjadi cikal bakal dari prosedur modern seperti LASIK.[2]
Prosedur Laser-based Refraktif
Prosedur laser sudah banyak dilakukan dalam tindakan pembedahan refraktif masa kini. Terdapat beberapa jenis prosedur yang dilakukan pada penderita hipermetropia.[1,2]
Keratoplasti Laser Thermal:
Prosedur ini menggunakan laser Thallium-holmium-chromium (THC)/ yttrium aluminium garnet (YAG) untuk membuat kontraksi dari matriks kolagen pada stroma dari kornea mata pada 8 area dari zona optikal dengan energi pulsatil 159-199 milli-joule. Kondisi ini menyebabkan konstriksi mekanis yang dapat memperdalam kornea.
Jika dibandingkan dengan LASIK, prosedur ini lebih lambat dalam menstabilisasi refraksi. Kriteria tindakan ini adalah pasien berusia 40 tahun ke atas, dan reduksi sementara pada hipermetropia dengan +0.75D – 2.50D dengan astigmatisme ≤ ±0.75D.[2]
Hiperopik Fotorefraktif Keratektomi (PRK):
Prosedur ini ditujukkan untuk memperbaiki hipermetropia derajat ringan hingga sedang, dengan cara membuat luka bakar luas menggunakan laser excited dimer. Efikasi prosedur ini dinilai sama dengan prosedur LASIK.[2]
Hipermetropik Laser In Situ Keratomileusis (LASIK):
LASIK adalah suatu tindakan pembedahan yang menggunakan laser untuk memperbaiki masalah penglihatan, salah satunya yakni untuk mengobati kondisi hipermetropia. Indikasi dari prosedur LASIK yakni pada pasien hipermetropia dengan astigmatisme <0.75D atau >0.75D; overcorrected radial keratotomy; dan overcorrected automated lamellar keratoplasty.
Kontraindikasi dari tindakan LASIK yakni pada pasien dengan riwayat penyakit kornea atau mata kronis, penyakit sistemik, refraksi tidak stabil, mata kering, intoleransi kontak lensa, sindrom nyeri kronis, hamil dan menyusui. Komplikasi yang dapat ditimbulkan dari prosedur LASIK yakni regresi refraksi, mata kering pasca operasi, muncul halos terutama saat menyetir di malam hari, dan penurunan sensasi kornea. LASIK diduga dapat memperbaiki hipermetropia hingga 6 diopter.[2,3]
Hipermetropik Laser Subepitelial Keratomileusis (LASEK):
LASEK merupakan tindakan hybrid antara LASIK dan PRK. Berbeda dengan LASIK, LASEK menggunakan bantuan cairan etil-alkohol 20% selama 1 menit untuk memisahkan dan meregangkan lapisan epitel pada kornea, lalu dilakukan ablasi stromal dengan laser excimer.
Indikasi dari prosedur LASEK adalah pada pasien dengan hipermetropia mencapai 4-6 diopter. Kontraindikasi LASEK adalah refraksi tidak stabil, keratokonus, degenerasi marginal pelusid, dry eye syndrome, penyakit autoimun, penyakit diabetes tidak terkontrol, glaukoma tidak terkontrol, hamil, dan menyusui.
LASEK diduga memiliki komplikasi pasca operasi yang lebih sedikit dibandingkan LASIK. Namun komplikasi yang dapat timbul yakni aberasi, ektasia, nyeri pasca operasi, dan fase pemulihan yang lebih lama.[2]