Epidemiologi Strabismus
Berdasarkan data epidemiologi, strabismus sering terjadi pada anak berusia <6 tahun, dengan puncak awitan usia 3 tahun. Strabismus juga dapat terjadi pada orang dewasa, dengan rerata usia 40–50 tahun.[2,30,38]
Strabismus dapat menyebabkan gangguan perkembangan visual dengan komplikasi tersering yang ditemukan adalah ambliopia. Selain itu, sebanyak 50–73% dari seluruh kejadian kebutaan terjadi pada strabismus.[4]
Pada anak, bentuk strabismus yang sering ditemukan adalah esotropia dengan prevalensi 3–5 kali lebih banyak daripada eksotropia. Hal ini karena pembentukan refleks akomodasi yang belum matur saat terjadinya strabismus dan kelumpuhan saraf kranial VI yang sering ditemukan pada anak dengan tumor intrakranial dan anomali kongenital.[30,38]
Global
Prevalensi strabismus pada populasi umum adalah 0,3–7,6%, variasi ini tergantung dari negara, etnis, dan kelompok usia. Pada anak berusia 4–10 tahun, prevalensi global strabismus mencapai 2–4%. Pada orang dewasa berkisar antara 4–5,6%. Pada lansia berkisar 0,68%.[10,14,37–42]
Pada populasi anak–anak, esotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan. Pada usia 55–75 tahun, eksotropia merupakan bentuk yang lebih sering ditemukan.[39]
Berdasarkan studi oleh Tegegne et al., pada 632 anak usia 12±4 tahun, prevalensi strabismus adalah 5%. Strabismus pada studi ini seringkali berhubungan dengan riwayat keluarga strabismus, hiperopia ≥+3.00 dioptri, dan tidak mendapatkan ASI eksklusif.[36]
Indonesia
Data epidemiologi strabismus di Indonesia masih sangat terbatas, tetapi sudah ada beberapa penelitian yang meneliti mengenai strabismus di Indonesia. Salah satunya adalah studi yang dilakukan Putri P et al. pada bulan Januari sampai dengan Desember 2017, di mana didapatkan 91 pasien dengan strabismus horizontal.
Berdasarkan penelitian tersebut, anak berusia <10 tahun menempati proporsi yang paling banyak (52,7%) dibandingkan usia 10–20 tahun (22,0%) dan >20 tahun (25,3%). Laki–laki dan perempuan memiliki proporsi yang hampir sama. Jenis strabismus yang paling banyak ditemukan pada penelitian ini adalah eksotropia (62,6%).[12]
Selain itu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Yani et al. di Bali, ditemukan bahwa prevalensi strabismus pada pasien dengan retinoblastoma (N=59 responden) mencapai 4%.[43]
Mortalitas
Strabismus jarang menyebabkan kematian, sehingga data mortalitas global masih sangat terbatas. Akan tetapi, terdapat laporan kasus mengenai oculocardiac reflex (OCR) atau refleks Aschner–Dagnini oleh traksi manuver traksi saat operasi, misalnya pada otot rectus, atau penekanan pada bola mata. Manuver ini dapat menstimulus saraf vagus pada dan persarafan ke nodus SA berakhir pada penurunan laju denyut jantung, aritmia, dan cardiac arrest.[72]
Kejadian OCR dapat dicegah dengan monitoring tanda vital intraoperatif, pemilihan metode anestesi blok peribulbar, maupun profilaksis antikolinergik preoperatif seperti atropine sulfat.
Pemilihan teknik anestesi dengan blok peribulbar dinilai lebih aman daripada blok retrobulbar, karena blok retrobulbar dilaporkan kemungkinan berhubungan dengan OCR. Selain itu, penggunaan ketamin sebagai anestesi topikal kemungkinan dapat mencegah OCR dengan efek samping minimal.[72]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli