Pendahuluan Sarkoma Kaposi
Sarkoma Kaposi merupakan penyakit proliferatif yang disebabkan oleh infeksi human herpesvirus-8 (HHV-8) atau yang dikenal pula sebagai kaposi sarkoma-associated herpesvirus (KSHV). Infeksi dari HHV-8 disertai dengan kondisi defek imunitas dan inflamasi memungkinkan perkembangan terjadinya keganasan.
Sarkoma Kaposi merupakan keganasan yang sering berkaitan dengan infeksi human immunodeficiency virus (HIV) dan kondisi imunosupresi lainnya, seperti transplantasi ginjal.[1]
Sebelum ditemukannya HIV, sarkoma Kaposi hanya ditemukan di Afrika Tengah, negara-negara di Mediterania, dan Timur Tengah. Data epidemiologi pada tahun 2018 menyatakan bahwa insidensi sarkoma Kaposi adalah 100.000 kasus per tahun dan berkaitan dengan HIV, terutama pada lelaki yang homoseksual dan biseksual. Sarkoma Kaposi merupakan keganasan terbanyak kedua yang ditemukan pada pasien HIV dengan CD4 <200 sel/mm3. [1-3]
Gejala klinis penyakit ini bervariasi dengan lesi tersering berupa lesi kutaneus, yang berbentuk makula, plak, hingga nodul yang berwarna merah muda atau ungu. Predileksi dari lesi kutaneus tersebut adalah regio ekstremitas bawah yang dapat disertai dengan limfedema akibat obstruksi kelenjar limfatik.
Selain itu, lesi viseral juga dapat muncul terutama pada kasus yang berkaitan dengan HIV atau pada stadium lanjut. Organ viseral yang sering terkena adalah paru-paru dan traktus gastrointestinal. [1-2,4]
Berdasarkan bentuk klinis dan keterlibatan kelenjar limfe, sarkoma Kaposi terbagi menjadi 4, yakni: sarkoma Kaposi klasik, sarkoma Kaposi endemik Afrika, sarkoma Kaposi yang berkaitan dengan HIV, dan sarkoma Kaposi iatrogenik.
Sarkoma Kaposi klasik banyak ditemukan pada laki-laki homoseksual dan pengguna obat terlarang intravena, dengan predileksi di ekstremitas bawah. Sarkoma Kaposi endemik Afrika dapat ditemukan pada orang dewasa dan anak-anak, dengan umumnya melibatkan limfonodus.
Sarkoma Kaposi yang berkaitan dengan HIV sering kali memberi gambaran lesi yang difus dan melibatkan organ viseral. Sedangkan jenis iatrogenik terjadi pada pasien yang mendapatkan terapi imunosupresan untuk penyakit autoimun atau setelah menjalani transplantasi organ. Sarkoma Kaposi pada transplantasi organ dapat juga diakibatkan oleh reaktivasi HHV-8 yang berasal dari organ donor.[1,5-6]
Penatalaksanaan sarkoma Kaposi terdiri dari terapi lokal dan sistemik. Terapi lokal diutamakan pada lesi yang berukuran kecil dan terlokalisir, yang terdiri dari krioterapi, injeksi intralesi, radioterapi, bedah eksisi, terapi laser, dan pemberian alitretinoin gel. Terapi sistemik diberikan pada lesi yang luas, progresif, edema yang berat, dan adanya keterlibatan organ viseral. Antiretroviral direkomendasikan terutama pada kasus koinfeksi dengan HIV.[5,7-10]