Etiologi Strongyloidiasis
Etiologi strongyloidiasis adalah cacing spesies Strongyloides stercoralis. Cacing ini dapat hidup dan berkembang biak di luar inang, dan di dalam inang sebagai parasit. Strongyloides stercoralis bisa menyebabkan autoinfeksi, yaitu kemampuan untuk menginfeksi ulang tubuh inangnya.
Morfologi
Strongyloides stercoralis dapat hidup dan berkembang biak di luar inang (free-living) dan di dalam inang sebagai parasit. Parasit betina dapat ditemukan dalam mukosa usus halus anterior, khususnya pada duodenum dan jejenum atas, dan mencapai ukuran 2–2,5 mm x 50 μm.
Bagian anterior cacing berbentuk bulat, dibandingkan bagian posteriornya yang lebih lancip. Parasit betina dapat diidentifikasi dari adanya esofagus filariform panjang, kira-kira sepertiga dari panjang tubuh, dan ekor bersudut tumpul.[6,9]
Telur
Parasit betina dapat menghasilkan 30–50 telur/hari. Telur Strongyloides stercoralis memiliki bentuk oval berdinding tipis dengan panjang 50–58 μm dan lebar 30–34 μm. Telur cacing mengalami perkembangan embrio sebagian pada dua sampai delapan tingkat perkembangan sel. Telur pada betina yang bersifat parasit maupun free-living tidak berbeda.[6]
Larva
Larva rhabditiform yang menetas dalam usus memiliki ukuran panjang 180–240 μm dan lebar 15 μm, serta memiliki esofagus rhabditiform sepanjang sepertiga anterior tubuh. Tidak terdapat perbedaan bermakna pada larva free-living maupun parasit. Larva infektif memiliki ukuran yang berbeda dengan grade larva lainnya dengan panjang 600 μm dan lebar 15 mcm. Larva infektif disebut juga larva filariform dengan panjang 44% dari tubuh.[6,9]
Siklus Hidup
Siklus hidup Strongyloides stercoralis lebih rumit dari cacing lain, karena cacing ini memiliki dua siklus hidup yang berbeda, yaitu free-living dan parasit.
Free-Living
Pada siklus free-living, larva rhabditiform yang keluar melalui tinja dapat menjadi larva filariform infektif atau cacing dewasa free-living. Cacing dewasa jantan dan betina akan menghasilkan telur, kemudian larva rhabditiform menetas dan menjadi larva filariform infektif atau larva L3. Larva filariform menembus kulit manusia untuk memulai siklus parasit dan bermigrasi ke usus kecil.[1,6,9]
Siklus Parasitik
Larva L3 diyakini bermigrasi melalui aliran darah ke paru-paru, menyebabkan host batuk dan larva ditelan untuk masuk ke saluran cerna. Namun, ada juga bukti bahwa larva L3 dapat bermigrasi langsung ke usus melalui jaringan ikat.
Betina hidup dalam epitel usus kecil dan melalui partenogenesis menghasilkan telur yang selanjutnya menetas menjadi larva rhabditiform. Larva rhabditiform dapat ditularkan melalui tinja atau dapat menyebabkan autoinfeksi.[1,6,9]
Autoinfeksi
Dalam autoinfeksi, larva rhabditiform menjadi larva filariform infektif, yang dapat menembus mukosa usus (autoinfeksi internal) atau kulit daerah perianal (autoinfeksi eksternal). Pada kedua kasus autoinfeksi, larva filariform dapat menyebar ke seluruh tubuh.
Autoinfeksi Strongyloides stercoralis dapat menjadi indikator infeksi persisten selama bertahun-tahun pada orang yang belum pernah berada di daerah endemis dan hiperinfeksi pada orang dengan penurunan imunitas.[1,6,9]
Taksonomi
Klasifikasi taksonomi Strongyloides stercoralis adalah:
- Kingdom: Animalia
- Filum: Nematoda
- Kelas: Secernentea
- Ordo: Rhabditida
- Famili: Strongyloididae
- Genus: Strongyloides
- Spesies: Strongyloides stercoralis[10,11]
Faktor Risiko
Faktor risiko strongyloidiasis, serupa dengan soil transmitted helminths (STH) lainnya, seperti askariasis. Secara umum, terdapat tiga faktor risiko, yaitu kontaminasi tanah oleh feses manusia, lingkungan yang mendukung siklus reproduksi Strongyloides stercoralis, dan terjadinya kontak antara kulit host dengan tanah yang terkontaminasi.
Selain itu, faktor risiko juga meliputi sanitasi yang tidak baik dalam rumah tangga, kegiatan beternak, tidak menggunakan alas kaki, serta tinggal dalam lingkungan dengan kelembapan tinggi. Penggunaan jamban bersama juga diketahui merupakan faktor risiko infeksi STH.[12]
Infeksi Berat Strongyloidiasis
Biasanya, strongyloidiasis tidak bergejala, tetapi dapat terjadi infeksi berat, yaitu sindrom hiperinfeksi dan strongyloidiasis diseminata. Salah satu faktor risiko utama terjadinya infeksi berat adalah pengobatan dengan kortikosteroid, misalnya dexamethasone. Sindrom hiperinfeksi pernah dilaporkan terjadi pada pasien imunokompeten yang menjalani terapi kortikosteroid, termasuk terapi jangka pendek, yaitu 6–17 hari.
Infeksi human T-cell leukemia virus type 1 (HTLV-1), yang menyebabkan leukemia sel T juga dihubungkan dengan koinfeksi Strongyloides. Faktor risiko lainnya adalah pada pasien yang mendapatkan obat antikanker, misalnya doxorubicin atau chlorambucil, atau agen biologi, misalnya infliximab dan rituximab.[12,13]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra