Pendahuluan Delirium
Delirium adalah kondisi konfusi akut yang bersifat fluktuatif, ditandai oleh adanya gejala inatensi, disorientasi, dan kesadaran yang fluktuatif. Hal ini biasanya terjadi karena adanya gangguan fungsi kognisi dan atensi otak. Delirium berhubungan dengan penurunan fungsi otak yang terjadi dengan cepat dan biasanya dipicu oleh penyakit-penyakit dengan keterlibatan sistemik, misalnya stroke atau ketoasidosis diabetik. Delirium biasanya reversible bila etiologi dan proses patofisiologi yang mendasarinya bisa diidentifikasi dan ditangani dengan baik.[1,2,3]
Delirium ditandai oleh adanya gangguan kesadaran, atensi, kognisi, dan persepsi yang berkembang secara akut, biasanya dalam jam sampai hari. Pasien bisa menjadi hiperaktif atau hipoaktif. Ada berbagai instrumen yang bisa digunakan untuk skrining delirium, namun diagnosis pasti ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis dalam ICD 11 atau DSM-5. Penegakan diagnosis dilakukan berdasarkan observasi terhadap pasien dan pemeriksaan status mental.[4,5–8]
Penatalaksanaan diawali dengan identifikasi dan penanganan penyebab delirium. Penanganan delirium bisa dengan menggunakan pendekatan non-farmakoterapi maupun farmakoterapi. Farmakoterapi yang digunakan adalah antipsikotik, seperti haloperidol dan risperidone.[7,9]
Prognosis delirium adalah baik bila faktor etiologinya bisa diidentifikasi dan proses patofisiologi yang mendasari dapat ditangani dengan baik. Namun insidensi delirium berhubungan dengan peningkatan risiko mortalitas, gangguan fungsional, dan timbulnya berbagai komplikasi, misalnya perburukan gejala kognitif pada lansia dan mempercepat onset dementia.[4,10]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono