Diagnosis Delirium
Diagnosis delirium dibuat berdasarkan observasi pada pasien. Penegakan diagnosis delirium harus dimulai dengan identifikasi faktor penyebabnya dan penggalian gejala-gejala yang dialami.[4,12] Kriteria diagnosis yang digunakan dalam penegakan diagnosis adalah berdasarkan DSM 5 atau ICD 11.[8]
Anamnesis
Anamnesis lengkap sangat penting dalam penegakan diagnosis delirium. Pertama kali harus didapatkan informasi mengenai onset perubahan status mental, perjalanan gejala, dan apakah gejala-gejala delirium muncul bersamaan dengan gejala-gejala penyakit lain (misalnya dispneu atau dysuria). Tanyakan pula apakah delirium timbul bersamaan dengan penggunaan obat tertentu, baik penggunaan obat baru, peningkatan dosis, atau kombinasi obat. Gejala-gejala ini mungkin berfluktuasi sepanjang waktu.[4,7]
Gejala Menurut Caregiver
Ketika dilakukan wawancara, pasien mungkin sulit untuk diajak komunikasi. Karena itu sumber informasi terbaik adalah caregiver pasien. Tanyakan kepada caregiver apakah pasien terlihat bingung atau mempunyai konsentrasi yang buruk. Tanyakan apakah pasien mengalami agitasi atau gelisah; mengantuk atau mengalami fluktuasi kesadaran; serta kurang komunikatif atau merespon dengan lambat. Tanyakan juga apakah pasien tampak kesulitan mengikuti perintah atau mengalami perubahan mood.[4]
Penggunaan Obat-obatan
Riwayat konsumsi obat-obatan yang lengkap sangat penting pada delirium, hal ini termasuk konsumsi alkohol, penggunan obat-obat yang dijual bebas seperti diphenhydramine, dan chlorpheniramine, ataupun penggunaan suplemen.[3,7]
Selain itu diperlukan juga riwayat medis pasien, yang mencakup gangguan-gangguan medis yang mungkin menjadi faktor risiko atau faktor pemicu delirium.[3,4]
Instrumen Penilaian
Ada berbagai instrumen yang dikembangkan untuk mendeteksi delirium, misalnya Confusion Assessment Method (CAM), CAM-ICU, 4AT test, dan Nursing DElirium SCreening (Nu-DESC). CAM merupakan instrumen yang paling sering digunakan dengan sensitivitas 94–100% dan spesifisitas 90–95%. CAM tersedia dalam versi Bahasa Indonesia dan sudah diuji kesahihannya.[13]
Ada juga instrumen yang dikembangkan untuk mendeteksi delirium pada pasien stroke, yaitu PANDA yang terdiri dari 5 komponen:
Prior delirium (riwayat delirium)
- Alkohol
- Keparahan stroke
- Dementia
- Gangguan sensoris[15]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik lengkap dan neurologis harus dilakukan untuk mencari dan menyingkirkan kemungkinan etiologi gangguan fisik yang memicu delirium. Pemeriksaan fisik harus mencakup tanda vital, beserta pemeriksaan jantung, paru, dan abdomen. Pemeriksaan neurologis harus mencakup evaluasi temuan neurologis fokal awitan baru yang menunjukkan kemungkinan etiologi intrakranial, misalnya stroke.[7]
Penampilan fisik pasien dengan delirium mungkin akan terlihat bingung atau pelupa, serta sulit berkonsentrasi atau memusatkan perhatian. Pasien dapat tampak agitasi atau hipoaktif, dan cenderung emosional.[4]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding delirium adalah gangguan mental organik lainnya, seperti dementia, serta gangguan psikosis seperti schizophrenia.[4,5] Yang membedakan delirium dari gangguan-gangguan tersebut adalah onset yang relatif cepat, adanya tingkat kesadaran fluktuatif, dan disorientasi pada delirium. Gejala-gejala gangguan psikiatri lainnya umumnya relatif stabil dalam periode waktu tertentu. Namun, perlu diperhatikan juga bahwa delirium dapat komorbid dengan kondisi-kondisi di atas.[7]
Dementia
Dementia merupakan salah satu faktor risiko delirium. Sebaliknya, delirium juga menjadi faktor risiko dan tanda mulai terjadinya dementia. Gejala yang saling tumpang tindih membuat keduanya sulit dibedakan. Selain itu, delirium dan dementia sering terjadi bersamaan pada pasien lansia.
Perbedaan mencolok keduanya adalah waktu munculnya gejala. Perubahan kesadaran dan kognitif pada delirium terjadi akut dalam beberapa hari. Sementara pada dementia, gejala terjadi hingga bertahun-tahun.
Status Epileptikus Nonkonvulsi
Status epileptikus nonkonvulsi adalah perubahan perilaku dan mental yang akut. Gejala yang sering muncul adalah gerakan involunter pada wajah, nistagmus, afasia, dan automatisasi (misalnya gerakan mengunyah). Pemeriksaan elektroensefalografi (EEG) dapat membedakan status epileptikus nonkonvulsi dan delirium.
Depresi
Sekitar 42% pasien delirium hipoaktif terdiagnosis sebagai depresi. Pasien depresi kadang dapat menunjukkan gejala kognitif, namun kesadaran dan atensi masih normal.
Schizophrenia
Pada delirium dapat muncul gejala psikosis yang biasanya berupa halusinasi visual yang mendadak dan berfluktuasi. Sementara itu, pada schizophrenia, gejala timbul tidak secara akut, serta akan disertai gejala psikosis lain seperti waham.[4,5,7]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang tidak digunakan untuk menegakkan diagnosis, melainkan untuk mencari etiologi delirium. Pemeriksaan laboratorium dan radiologi sebaiknya dilakukan sesuai dengan indikasi berdasarkan hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik.
Pemeriksaan laboratorium yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan darah lengkap, elektrolit, fungsi ginjal, dan fungsi hepar. Pemeriksaan ini dapat mengidentifikasi penyebab delirium seperti anemia, gagal hati ataupun gagal ginjal, serta gangguan elektrolit
Selain itu, sesuai dengan kecurigaan bisa juga dilakukan pemeriksaan urinalisis, kultur urine, rontgen toraks, dan EKG. Pemeriksaan tambahan lain yang mungkin bermanfaat pada kondisi tertentu mencakup pemeriksaan toksikologi darah dan urine, analisis gas darah bila terdapat hiperkapnea, pemeriksaan radiologis otak bila terdapat kecurigaan gangguan neurologi atau trauma, serta pungsi lumbal bila terdapat kecurigaan meningitis atau ensefalitis.[7] Pada delirium, pemeriksaan EEG bisa menunjukkan hasil penurunan konektivitas fungsional, perubahan arus informasi dua arah, dan perubahan topologi jaringan neural.[3]
Kriteria Diagnostik ICD 11
Kriteria diagnosis delirium berdasarkan ICD 11 adalah:
- Adanya gangguan atensi, orientasi, dan kewaspadaan yang berkembang dengan cepat, dalam hitungan jam sampai hari, biasanya bermanifestasi sebagai konfusi atau gangguan neurokognitif yang signifikan dengan gejala-gejala yang bersifat transien. Gejala mungkin berfluktuasi, tergantung pada kondisi atau etiologi yang mendasari
- Gangguan yang terjadi menunjukkan adanya perubahan dari fungsi individual dasar pasien
- Delirium bisa jadi merupakan konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis lain (selain gangguan mental), efek fisiologis dari penyalahgunaan zat atau obat, termasuk gejala putus zat, disebabkan oleh faktor etiologis multipel lainnya, atau faktor etiologi yang belum diketahui
- Gejala-gejala yang muncul tidak bisa dijelaskan oleh adanya atau berkembangnya gangguan neurokognitif (misalnya gangguan amnestik, mild cognitive disorder, atau dementia) atau oleh gangguan mental lainnya (misalnya schizophrenia atau gangguan psikotik lainnya, gangguan mood, gangguan stress pasca trauma, gangguan disosiatif)
- Gejala-gejala yang timbul tidak memenuhi kriteria untuk sindrom intoksikasi zat atau putus zat atau obat yang sudah dikenal, meskipun delirium bisa menjadi komplikasi dari sindrom intoksikasi atau putus zat[6]
Kriteria Diagnostik DSM-5
Kriteria diagnosis delirium berdasarkan DSM-5 adalah:
- Adanya gangguan atensi/perhatian (misalnya kemampuan untuk mengarahkan, memusatkan, mempertahankan, dan mengalihkan perhatian) dan kesadaran/kewaspadaan (misalnya penurunan orientasi terhadap lingkungan)
- Gangguan tersebut berkembang dengan cepat (biasanya dalam hitungan jam sampai hari), yang menunjukkan adanya perubahan dari atensi dan kewaspadaan dasar (baseline), dan derajat keparahannya cenderung berfluktuasi sepanjang hari
- Bisa ditemukan adanya gangguan kognisi (misalnya defisit memori, disorientasi, gangguan berbahasa, gangguan kemampuan visuospasial, atau persepsi)
- Gangguan pada kriteria A dan C tidak bisa dijelaskan oleh adanya gangguan neurokognitif lain yang sudah ada sebelumnya, yang sudah ditegakkan, atau yang sedang berkembang, dan tidak berkembang pada konteks penurunan tingkat kesadaran yang berat, misalnya keadaan koma
- Terdapat bukti berdasarkan riwayat, pemeriksaan fisik, atau temuan laboratorium bahwa gejala-gejala yang timbul merupakan konsekuensi fisiologis langsung dari kondisi medis lainnya, intoksikasi zat, atau gejala putus zat (misalnya karena penyalahgunaan zat atau pemberian obat), atau paparan terhadap racun, atau akibat etiologi yang multipel[5]
Penulisan pertama oleh: dr. Paulina Livia Tandijono