Pendahuluan Gangguan Makan (overview)
Gangguan makan adalah adanya gangguan perilaku makan dan psikopatologi yang terpusat pada kekhawatiran terhadap makanan, pola makan, dan citra tubuh. Gangguan makan yang banyak ditemukan di antaranya adalah bulimia nervosa, anorexia nervosa, binge eating disorder, dan orthorexia nervosa. Diagnosis ditegakkan berdasarkan kriteria yang terdapat dalam International Classification of Diseases (ICD) 10 atau Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5.[1–3]
Gangguan makan umumnya disebabkan oleh kombinasi faktor sosiokultural, seperti idealisme bentuk tubuh yang kurus, faktor psikologis, seperti kepribadian yang perfeksionis atau obsesif kompulsif, dan faktor neurobiologis, misalnya terkait serotonin.[1–3]
Anorexia nervosa adalah keadaan berat badan sangat rendah yang diinduksi restriksi asupan energi. Bulimia nervosa dan binge eating disorder didefinisikan sebagai episode rekuren dari binge eating. Berbeda dengan binge eating disorder, pasien bulimia nervosa akan melakukan kompensasi dari episode makan banyak dengan tindakan untuk mengontrol berat badan, misalnya muntah. Orthorexia nervosa adalah adanya preokupasi atau obsesi berlebihan terhadap pola makan dan makanan sehat.[1-3]
Penatalaksanaan gangguan makan sebaiknya mengedepankan pendekatan nonfarmakologis, misalnya menggunakan family based treatment (FBT) atau cognitive behavior therapy (CBT). Peran serta keluarga selama proses pengobatan sangat penting untuk membawa pasien pada kesembuhan. Farmakoterapi yang sering digunakan pada gangguan makan, antara lain fluoxetine dan olanzapine.[4]
Prognosis gangguan makan bulimia nervosa secara umum lebih baik dibandingkan anorexia nervosa. Hanya sekitar 50% pasien anorexia nervosa yang dapat mengalami kesembuhan dalam waktu 9–10 tahun. Salah satu komplikasi gangguan makan adalah refeeding syndrome, yang berisiko terjadi akibat pemberian terapi nutrisi terlalu agresif.[4]
Edukasi pasien gangguan makan diberikan dengan menjelaskan mengenai bahaya melakukan diet berlebihan dan memahami pentingnya nutrisi, kebutuhan kalori, dan asupan harian yang cukup. Edukasi juga diberikan pada keluarga pasien untuk berpartisipasi dalam proses terapi pasien, misalnya terlibat saat perencanaan dan penyediaan makanan.[4]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra