Pendahuluan Gangguan Waham Menetap
Gangguan waham menetap atau persistent delusional disorder, merupakan gangguan mental yang jarang ditemukan, dengan waham sebagai satu-satunya gejala utama. Waham adalah gangguan isi pikir berupa keyakinan yang salah, tidak realistis, tidak bisa dikoreksi/digoyahkan, sangat diyakini pasien, dan tidak sesuai dengan budaya. Umumnya, waham yang muncul disertai dengan afek yang kuat terhadap wahamnya dan kewaspadaan yang berlebihan.[1]
Diagnosis gangguan waham ditegakkan pada pasien yang mengalami waham non-bizarre, selama setidaknya satu bulan. Waham tersebut dipastikan tidak berhubungan dengan gangguan psikiatrik lainnya. Waham yang muncul pada gangguan waham menetap biasanya hanya satu, dan bukan waham bizarre yang khas untuk schizophrenia.[1,2]
Pasien dengan gangguan waham menetap umumnya masih bisa bersosialisasi dan berfungsi dengan baik, kecuali pada hal-hal yang berhubungan dengan wahamnya. Pasien juga umumnya tidak menunjukkan perilaku aneh. Hal ini merupakan salah satu ciri yang membedakannya dengan gangguan psikotik lain. Walau demikian, pasien yang mengalami preokupasi terhadap wahamnya juga bisa mengalami gangguan dalam kesehariannya.[3,4]
Penatalaksanaan gangguan waham menetap meliputi psikoterapi, seperti cognitive behaviour therapy (CBT), yang dikombinasikan dengan farmakoterapi. Pilihan farmakoterapi dapat menggunakan antipsikotik tipikal, misalnya haloperidol, atau antipsikotik atipikal, seperti risperidone dan olanzapine.[3,4]
Prognosis gangguan waham menetap cukup baik, dengan perkiraan separuh pasien dapat mengalami kesembuhan. Komplikasi yang cukup sering terjadi akibat gangguan waham adalah gangguan mood dan depresi. Terjadinya depresi pada pasien dapat meningkatkan risiko munculnya ide-ide bunuh diri, sehingga perlu diwaspadai oleh dokter.[3]
Edukasi bagi pasien dan keluarganya bertujuan untuk menjaga kepatuhan pasien selama masa pengobatan. Hingga saat ini, belum didapatkan metode pencegahan untuk gangguan waham menetap. Namun, untuk mencegah terjadinya gangguan jiwa, sejak usia sekolah anak-anak dapat dilibatkan dengan aktivitas psikososial. Selain itu, menurunkan faktor risiko gangguan jiwa dapat dilakukan dengan promosi kesehatan untuk menghindari substance abuse dan meningkatkan aktivitas fisik.[5]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra