Epidemiologi Gangguan Waham Menetap
Berdasarkan data epidemiologi, prevalensi gangguan waham menetap atau persistent delusional disorder diperkirakan sebesar 0,05–0,1%. Jenis waham yang paling sering ditemukan adalah waham kejar, diikuti dengan waham cemburu.
Global
Prevalensi gangguan waham menetap secara global diperkirakan sekitar 0,05–0,1%. Berdasarkan data dari Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) 5, prevalensi gangguan waham diperkirakan 0,2%. Prevalensi ini lebih rendah dibandingkan schizophrenia dan gangguan depresi. Insidensi per tahun gangguan waham diperkirakan sebesar 0,7–3 per 100.000 populasi.
Rata-rata usia onset kurang lebih adalah 35–55 tahun. Jenis waham yang dilaporkan paling banyak terjadi adalah waham kejar, yaitu mencapai 64%, diikuti dengan waham cemburu. Berdasarkan jenis kelamin, waham yang paling banyak ditemukan pada pria adalah waham curiga, sedangkan pada wanita adalah erotomania.
Gangguan waham, terutama yang berkaitan dengan substance abuse, lebih umum dijumpai pada pria. Namun, pada populasi pasien yang lebih tua gangguan waham lebih sering ditemukan pada perempuan.[2,4,9,10]
Indonesia
Di Indonesia, prevalensi gangguan waham menetap secara nasional masih belum diketahui. Namun, data dari riset kesehatan dasar nasional (riskesdas) tahun 2018 mendapatkan prevalensi schizophrenia/psikosis di Indonesia adalah 6,7%. Psikosis mencakup gangguan waham menetap, gangguan bipolar dengan ciri psikotik, dan depresi dengan ciri psikotik.[11]
Mortalitas
Pasien dengan gangguan psikotik, termasuk gangguan waham menetap, memiliki risiko mortalitas 2–3 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pasien juga diperkirakan memiliki usia 15 tahun lebih pendek daripada populasi sebaya yang tidak menderita gangguan psikotik.
Pada tahun pertama sejak didiagnosis menderita gangguan psikotik, risiko mortalitas akibat segala penyebab ditemukan sebesar 55 per 10.000 orang. Pada tahun ketiga setelah diagnosis, risiko mortalitas menjadi 27 per 10.000 orang. Meskipun menurun, angka ini masih jauh lebih tinggi dibandingkan risiko mortalitas pada populasi umum, yaitu 9 per 10.000 orang.[21,22]
Direvisi oleh: dr. Livia Saputra