Diagnosis Inhalant Use Disorder
Diagnosis inhalant use disorder atau gangguan penyalahgunaan zat inhalan ditegakkan berdasarkan kriteria dalam DSM 5 atau ICD 11. Setelah inhalasi zat volatil, reaksi intoksikasi akan timbul dalam 15-60 menit. Pasien dilaporkan merasakan euforia, kegembiraan, melayang, pusing, bicara cadel, dan ataksia. Ketajaman anamnesis diperlukan untuk mendiagnosis gangguan ini karena mayoritas pasien tidak datang mencari pengobatan secara sukarela.
Pada kalangan pengguna, gangguan ini disebut sebagai ‘ngelem’ karena zat inhalan yang umum dipakai adalah lem, pelarut, cat, dan bahan bakar.
Kriteria Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan untuk menegakkan inhalant use disorder adalah berdasarkan DSM 5 atau ICD 11.
Kriteria Diagnostik Berdasarkan DSM-5
Kriteria diagnosis gangguan penyalahgunaan zat inhalan berdasarkan DSM 5 adalah adanya penggunaan problematik zat inhalan berbasis hidrokarbon yang menyebabkan gangguan atau distress yang signifikan. Manifestasi minimal ditunjukkan dengan 2 gejala berikut, dalam waktu 12 bulan:
- Zat inhalan yang digunakan seringkali dikonsumsi dalam jumlah yang lebih besar atau dalam durasi yang lebih lama dari yang diniatkan
- Ada keinginan yang menetap atau upaya yang gagal untuk menurunkan atau mengendalikan penggunaan zat inhalan
- Sejumlah waktu yang signifikan dihabiskan dalam aktivitas untuk mencari, menggunakan, atau pulih dari penggunaan zat
Craving atau keinginan atau dorongan yang sangat kuat untuk menggunakan zat inhalan
- Penggunaan berulang zat inhalan menyebabkan kegagalan untuk melakukan peran dan kewajiban di dalam pekerjaan, sekolah, atau rumah
- Terus menggunakan zat inhalan meskipun mengalami masalah social atau interpersonal yang persisten atau rekuren yang disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat inhalan
- Kegiatan-kegiatan social, okupasional, atau rekreasional yang penting tidak dilakukan atau dikurangi karena penggunaan zat inhalan
- Penggunaan zat inhalan berulang dalam situasi-situasi yang secara fisik membahayakan
- Penggunaan zat inhalan tetap dilakukan meskipun mengalami masalah fisik atau psikologis yang persisten atau rekuren yang sangat mungkin telah disebabkan atau diperburuk oleh penggunaan zat inhalan
- Terjadi toleransi yang ditunjukkan oleh: (a) Kebutuhan untuk menggunakan dalam jumlah yang terus meningkat untuk mencapai intoksikasi atau efek yang diinginkan; (b) Efek yang semakin menurun ketika menggunakan dalam jumlah yang sama[4]
Kriteria Diagnosis Berdasarkan ICD 11
Kriteria diagnosis berdasarkan ICD 11 adalah adanya suatu pola penggunaan zat inhalan yang episodik berulang atau kontinyu dengan bukti yang menunjukkan adanya gangguan regulasi penggunaan zat inhalan, ditunjukkan oleh 2 atau lebih gejala berikut:
- Gangguan dalam mengendalikan penggunaan zat inhalan. Misalnya dalam onset, frekuensi, intensitas, durasi, penghentian, dan konteks penggunaan
- Semakin mendahulukan penggunaan zat inhalan dibandingkan aspek kehidupan lainnya, termasuk dalam menjaga kesehatan, dan tanggung jawab dan aktivitas sehari-hari, sehingga penggunaan zat inhalan tetap dilakukan atau meningkat meskipun terjadi gangguan atau konsekuensi negatif. Misalnya gangguan dalam hubungan interpersonal, pekerjaan, atau sekolah yang berulang, dan dampak negatif terhadap kesehatan
- Gambaran fisiologis yang menunjukkan proses neuroadaptasi terhadap zat, termasuk: (a) Toleransi terhadap efek dari zat inhalan atau jumlah yang semakin meningkat dengan untuk mendapatkan efek yang sama; (b) Gejala putus zat ketika penggunaan zat dihentikan atau dikurangi; atau (c) Penggunaan zat inhalan atau zat lain yang secara farmakologis mirip untuk mengatasi gejala-gejala putus zat
Gambaran ketergantungan zat biasanya jelas terlihat selama minimal 12 bulan, tapi diagnosis tetap bisa ditegakkan bila penggunaan dilakukan secara kontinyu (setiap hari atau hampir setiap hari) selama minimal 3 bulan.[5]
Anamnesis
Pasien dengan kecurigaan penyalahgunaan zat, biasanya akan menyangkal ketika dilakukan anamnesis jika memang belum ingin berobat. Pada pasien seperti ini, penting melihat tanda dan gejala yang mencurigakan akibat penyalahgunaan zat.
Keluhan fisik yang sering dialami pasien dengan penyalahgunaan zat inhalan adalah mual atau kehilangan nafsu makan, pusing, iritabilitas atau kecemasan, perubahan perilaku yang mendadak, dan respon verbal yang menjadi lebih lambat. Selain itu, biasanya keluarga juga mengeluhkan adanya impulsivitas, perilaku agresif, anoreksia, dan perilaku-perilaku negatif.[1]
Pasien dengan penyalahgunaan zat inhalan seringkali mempunyai riwayat kenakalan remaja, riwayat kriminalitas, riwayat membolos atau dikeluarkan dari sekolah, prestasi akademik yang buruk, kepribadian antisosial, percaya diri yang rendah. Kondisi ini juga lebih umum ditemukan pada individu dengan masalah-masalah emosional, misalnya depresi, cemas, atau kemarahan. Dokter juga perlu menggali riwayat penyalahgunaan zat lainnya.[1,6]
Intoksikasi
Pasien dengan intoksikasi akut dapat menunjukkan gejala emosional, kognitif, dan perilaku. Hal ini mencakup kekerasan, agitasi, disinhibisi, euforia, kegembiraan, rasa melayang, keterbelakangan psikomotor, kelemahan otot, pingsan, hingga koma.[6]
Gejala Putus Obat
Gejala putus obat umumnya muncul dalam 24 jam setelah abstinensia dan dapat berlangsung selama beberapa hari. Gejala yang mungkin muncul antara lain lekas marah, sakit kepala, mulut kering, mual, anoreksia, berkeringat, tic, gangguan tidur, dan perubahan suasana hati.[6]
Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik, biasanya ditemukan adanya kemerahan, peradangan, atau bercak di sekitar bibir atau mulut. Pemeriksaan lebih jauh biasanya akan menemukan mata kemerahan, hidung kemerahan atau berair, iritasi tenggorokan, serta bercak atau kemerahan pada tangan.
Pasien juga dapat mengalami epistaksis berulang, kesulitan berkonsentrasi, serta perawatan diri yang buruk. Pada baju dapat ditemukan noda cat atau lem, juga bisa tercium bau zat volatil pada badan atau napas.[1,6]
Manifestasi Dermatologi
Pasien dapat mengalami "Glue-sniffer's rash" yang ditandai dengan eritema, perubahan inflamatorik, dan pruritus pada area perioral dan dapat meluas ke bagian tengah wajah. Manifestasi ini timbul akibat paparan hidrokarbon secara inhalasi yang kemudian mengering.
Manifestasi dermatologi lain yang dapat timbul adalah luka bakar jika pasien menghisap zat yang mudah terbakar yang kemudian menyala.[11,12]
Pemeriksaan Neurologi
Tidak ada pemeriksaan neurologi khusus untuk penyalahgunaan zat inhalan. Meski demikian, pasien bisa mengalami gangguan kesadaran, tinitus, dan nistagmus.[1,6]
Diagnosis Banding
Gejala-gejala yang ditunjukkan oleh mereka yang menyalahgunakan zat inhalan bisa menyerupai depresi berat atau gangguan cemas menyeluruh. Selain itu, umumnya pecandu menyalahgunakan lebih dari satu macam zat, sehingga perlu dilakukan diagnosis banding dengan gangguan penyalahgunaan zat lainnya, seperti ganja, atau gangguan penyalahgunaan zat multipel. Perilaku tidak terkendali dan impulsif pada penyalahgunaan zat inhalan bisa menyerupai gangguan perilaku dan gangguan kepribadian antisosial.[1,6]
Jika paparan zat inhalan diragukan, maka pirikirkan kemungkinan bronkopneumonia dan ketoasidosis diabetik.
Bronkopneumonia
Bronkopneumonia ditandai dengan demam dan takipnea, yang dapat menyerupai pasien aspirasi hidrokarbon. Karakteristik yang membedakan adalah tidak ada bau khas dari zat inhalan dan adanya temuan radiologi yang sesuai dengan pneumonia.
Ketoasidosis Diabetik
Ketoasidosis diabetik ditandai dengan takipnea, napas bau buah-buahan, dan asidosis metabolik. Pada pemeriksaan lebih lanjut, akan ditemukan hiperglikemia, glikosuria, dan ketonuria.[13]
Pemeriksaan Penunjang
Skrining urine untuk penyalahgunaan inhalan tidak efektif karena ada banyak sekali zat volatil yang dapat digunakan dan juga mengandung berbagai metabolit. Alat skrining penyalahgunaan zat juga belum didukung bukti ilmiah adekuat terkait efikasinya dalam diagnosis inhalant use disorder. Beberapa instrumen skrining yang bisa digunakan misalnya Volatile Solvent Screening Inventory (VSSI) dan Comprehensive Solvent Assessment Interview (CSAI).
Pada penggunaan inhalan jangka panjang, dokter dapat melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengevaluasi komplikasi dan komorbiditas. Beberapa pemeriksaan laboratorium yang mungkin diperlukan adalah pemeriksaan fungsi ginjal, fungsi hepar, skrining urine untuk penyalahgunaan zat lain, serta skrining HIV ataupun hepatitis B.[1,6]