Diagnosis Fibrosis Paru Non-Idiopatik
Diagnosis fibrosis paru non-idiopatik perlu dipertimbangkan pada pasien dengan keluhan sesak napas progresif dan batuk, terutama yang memiliki faktor risiko fibrosis paru seperti penggunaan obat-obat tertentu. Pasien dengan fibrosis paru non-idiopatik dapat mengalami eksaserbasi akut penyakit dengan penurunan fungsi paru yang terus-menerus.[1-3]
Anamnesis
Penyakit fibrosis paru non-idiopatik seringkali diderita oleh pasien berjenis kelamin laki-laki dan berusia 50-60 tahunan.[1-3]
Keluhan
Gejala utama yang dikeluhkan sebagian besar pasien adalah sesak napas yang bersifat progresif dan disertai batuk. Gejala penyerta lain dapat berupa nyeri dada pleuritik, batuk darah, atau napas yang berbunyi (mengi).
Pada beberapa kesempatan, pasien dapat datang dengan memunculkan gejala pneumokoniosis atau pneumonitis. Gejala-gejala tersebut dapat berlangsung dari beberapa minggu hingga beberapa tahun dan biasanya berhubungan dengan paparan jangka panjang dari polutan udara yang bersifat toksik. Pasien juga dapat memiliki riwayat penyakit autoimun yang diderita oleh dirinya sendiri atau keluarganya.[1-3,10]
Riwayat Pasien
Tanyakan riwayat pengobatan untuk mengetahui adanya kemungkinan paparan obat yang bersifat toksik pada paru. Beberapa obat yang telah terkonfirmasi dapat menyebabkan fibrosis paru ketika digunakan dalam jangka panjang terangkum dalam tabel 1. Contoh obat tersebut antara lain amiodarone, bleomycin, busulfan, methotrexate, dan nitrofurantoin.
Tabel 1. Daftar Obat yang dapat Menyebabkan Fibrosis Paru
Obat Antibiotik | Amphotericin B |
Isoniazid | |
Nitrofurantoin | |
Sulfasalazine | |
Obat Antiinflamasi | Aspirin |
Etanercept | |
Gold | |
Infliximab | |
Methotrexate | |
Penicillamine | |
Biological Agents | Adalimumab |
Alemtuzumab | |
Bevacizumab | |
Cetuximab | |
Rituximab | |
Trastuzumab | |
Tumor necrosis factor (TNF)-α blockers | |
Obat Kardiovaskuler | ACE inhibitors |
Amiodarone | |
ß-Blockers | |
Flecainide | |
Hydrochlorothiazide | |
Procainamide | |
Statin | |
Tocainide | |
Obat Kemoterapi | Azathioprine |
Bleomycin | |
Bortezomib | |
Busulfan | |
Carmustine | |
Chlorambucil | |
Cyclophosphamide | |
Cytarabine | |
Deferoxamine | |
Docetaxel | |
Doxorubicin | |
Erlotinib | |
Etoposide | |
Fludarabine | |
Flutamide | |
Gefitinib | |
Gemcitabine | |
Hydroxyurea | |
Imatinib | |
Interferon | |
Lomustine | |
Melphalan | |
Methotrexate | |
Nitrosourea | |
Paclitaxel | |
Procarbazine | |
Thalidomide | |
Vinblastine | |
Zinostatin | |
Lainnya | Bromocriptine |
Carbamazepine | |
Cabergolide | |
Methysergide | |
Penicillamine | |
Phenytoin | |
Sirolimus | |
Talc |
Sumber: dr. Qorry Amanda, Alomedika, 2023.[10]
Riwayat lain yang perlu digali adalah riwayat paparan radiasi; riwayat paparan polutan dari lingkungan kerja untuk mengetahui etiologi terkait zat anorganik yang bersifat toksik pada paru; serta riwayat penyakit dahulu yang mencakup penyakit autoimun atau jaringan ikat.[1,2,10]
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik dilakukan pada keseluruhan badan karena diagnosis difokuskan untuk mencari kondisi yang menyebabkan terjadinya fibrosis paru.
Keadaan Umum
Dapat ditemukan kondisi pasien yang terlihat dyspnea atau takipnea. Sianosis dapat terjadi bila pasien mengalami desaturasi berat.[1,2]
Kepala-Leher
Pada bagian mata, dapat ditemukan tanda uveitis atau retinal vaskulitis yang berhubungan dengan sarkoidosis sebagai salah satu etiologi fibrosis paru non-idiopatik. Dapat pula ditemui adanya tanda sinusitis yang merupakan bagian dari granulomatosis eosinofilik yang menyertai polyangiitis (Sindrom Churg-Strauss). Pada bagian leher, dapat ditemui adanya limfadenopati.[1,2]
Pemeriksaan Toraks
Pada auskultasi paru dapat ditemukan suara tambahan berupa wheezing atau ronki sebagai tanda dari pneumonitis. Sementara itu, pada auskultasi jantung dapat ditemukan suara gallop S3 atau suara S2 yang keras pada katup pulmonal.[1,2]
Pemeriksaan Abdomen
Pasien fibrosis paru non-idiopatik sering dilaporkan memiliki komorbiditas dengan gastroesophageal reflux disease (GERD), sehingga perlu diperhatikan apakah ada gambaran penyakit GERD pada pasien.
Temuan pada pemeriksaan abdomen pasien yang memiliki kondisi GERD tidak selalu spesifik. Dapat dijumpai perut yang tampak kembung atau membesar pada pasien saat dilakukan inspeksi. Gambaran ekstraabdominal seperti suara serak, disfagia, odinofagia, mual, nyeri epigastrium menjalar ke atas seperti terbakar, nyeri dada, erosi gigi, asma, dan laringitis dapat ditemukan pada pasien fibrosis paru non-idiopatik yang juga memiliki komorbiditas GERD.
Selain GERD, dapat pula dijumpai tanda inflammatory bowel disease yang berkaitan dengan etiologi fibrosis paru non-idiopatik.[2,11,13]
Pemeriksaan Kulit dan Ekstremitas
Temuan klinis pada kulit pasien fibrosis paru non-idiopatik lebih sering berhubungan dengan penyakit jaringan ikat atau sistemik yang diderita. Sebagai contoh, dapat ditemukan cutaneous larva migrans pada granulomatosis eosinofilik yang disertai polyangiitis; penebalan kulit dan telangiektasis yang berhubungan dengan skleroderma atau fenomena Raynaud; serta heliotrope rash yang berhubungan dengan dermatomyositis.
Sementara itu, pada sistem muskuloskeletal dapat dijumpai tanda rheumatoid arthritis yang terkadang juga menimbulkan nodul subkutan.[2]
Diagnosis Banding
Beberapa penyakit memiliki gambaran klinis mirip dengan fibrosis paru non-idiopatik sehingga dapat dipertimbangkan sebagai diagnosis banding. Contohnya adalah fibrosis paru idiopatik dan edema paru.
Fibrosis Paru Idiopatik
Fibrosis paru idiopatik merupakan jenis lain dari fibrosis paru. Perbedaan utama antara fibrosis idiopatik dan non-idiopatik adalah bahwa pada fibrosis idiopatik ditemukan gambaran klinis yang khas dari fibrosis paru namun tidak diketahui penyebab atau pemicunya.[14,15]
Edema Paru
Edema paru ditandai dengan adanya ekstravasasi cairan dari kapiler paru akibat penyakit kardiogenik ataupun non-kardiogenik. Pada auskultasi dapat ditemukan ronki basah halus di kedua basal paru (bilateral).
Edema paru akut juga dapat disertai dengan batuk yang memiliki warna sputum merah muda dan berbusa. Murmur dan S3 dapat ditemukan pada edema paru kardiogenik sementara pada edema paru non-kardiogenik pasien dapat memberikan gambaran infeksi paru kronik.[16]
Infeksi Paru
Infeksi pada parenkim paru dapat memberikan gejala yang mirip dengan fibrosis paru non-idiopatik. Infeksi dapat bersifat akut maupun kronik.
Pada infeksi paru akut seperti pneumonia, pasien memberikan gambaran demam dan takikardi. Ronkhi hanya terdengar unilateral pada sisi paru yang mengalami infeksi.
Infeksi kronik seperti tuberkulosis dapat memberikan gejala penyerta berupa demam subfebris, batuk kering, dan penurunan berat badan. Ronkhi dapat terdengar melalui auskultasi paru pada sisi yang terdampak tuberkulosis (unilateral).[17,18]
Emboli Paru
Emboli paru terjadi karena adanya pecahan dari trombus yang menyumbat kapiler parenkim paru. Selain sesak napas, pasien sering menyampaikan keluhan berupa nyeri dada, batuk yang bersifat kering maupun yang berdarah (hemoptysis), presinkop ataupun sinkop. Selain gambaran klinis, penting untuk mencari faktor risiko tromboemboli vena yang ada pada pasien untuk memperkirakan ketepatan diagnosis emboli paru.[19]
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
Meskipun penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) memiliki gambaran dan faktor risiko yang mirip dengan fibrosis paru, perbedaan utamanya ada pada dominasi kelainan paru yang terjadi. Pada PPOK kelainan fungsi paru didominasi oleh pola obstruktif, sedangkan pada fibrosis paru didominasi oleh kelainan restriktif.
PPOK memiliki patofisiologi utama berupa destruksi dinding alveoli dan remodelling bronkiolus, sementara pada fibrosis paru terjadi deposisi kolagen yang berlebihan pada jaringan parenkim paru. Pasien fibrosis paru juga disebutkan memiliki progresivitas penyakit yang lebih cepat dibandingkan pasien PPOK.[20,21]
Pneumonitis
Pneumonitis dapat terjadi secara akut atau kronik. Pada pneumonitis akut, pasien dapat memberikan keluhan penyerta berupa demam dan malaise. Gejala dapat reda dalam 1-2 hari ketika alergen atau iritan yang memicu reaksi imunologi hilang. P
ada pneumonitis kronik, dapat terjadi fibrosis paru yang dapat memberikan gambaran mirip dengan fibrosis paru sebenarnya (true pulmonary fibrosis). Perbedaan utamanya adalah lokasi terjadinya fibrosis. Pada pneumonitis fibrosis terjadi terutama pada area bronkus, sementara pada fibrosis paru fibrosis terjadi pada jaringan parenkim paru.[22,23]
Kanker Paru
Kanker paru sering tak memberikan gejala apapun kecuali sudah di tahap lanjut. 50-75% pasien kanker paru mengeluhkan batuk yang bersifat produktif. Batuk darah ditemukan pada 15-30% pasien. Sementara itu, gejala sesak napas terjadi pada sekitar 25-40% pasien. Metastasis kanker paru ke tulang juga dapat menyebabkan fenomena hiperkalsemia yang berisiko memicu nefrolitiasis.
Pada pemeriksaan penunjang radiologi, kanker paru memberikan gambaran opak berupa massa tumor dan pembesaran limfonodi yang khas, sementara pada fibrosis paru ditemukan gambaran opak retikuler, nodul perilimfatik, gambaran gelas kaca, konsolidasi, atau honeycomb appearance. Fibrosis paru diketahui juga dapat menjadi faktor risiko terjadinya kanker paru.[1,24]
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium, pemeriksaan pencitraan, serta pemeriksaan fungsi paru dapat membantu mengkonfirmasi penegakkan diagnosis fibrosis paru non-idiopatik.
Rontgen Toraks
Rontgen toraks pada pasien fibrosis paru non-idiopatik dapat memberikan gambaran berupa opasitas berpola retikuler atau berbentuk noduler. Gambaran honeycomb juga dapat ditemukan pada tahap akhir penyakit.
Fibrosis paru yang berhubungan dengan sarkoidosis memberikan gambaran adenopati hilus simetris. Fibrosis paru yang berhubungan dengan asbestosis dan penyakit jaringan ikat memberikan gambaran distribusi fibrosis pada basal dan perifer paru. Fibrosis paru yang berhubungan dengan riwayat radiasi atau dipicu obat memberikan pola gambaran fibrosis yang dominan terjadi pada lobus superior paru.[1,2]
CT-Scan
Pemeriksaan CT-Scan high resolution atau yang biasa disebut sebagai HRCT memiliki peran penting dalam mengkonfirmasi dan mengklasifikasikan derajat fibrosis paru non-idiopatik. HRCT memiliki sensitivitas yang lebih baik dibandingkan rontgen toraks dalam mendiagnosis fibrosis paru. Dapat ditemukan gambaran opasitas retikuler, nodul perilimfatik atau sentrilobuler, gambaran gelas kaca, konsolidasi, atau honeycomb appearance.[1,2]
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan hitung darah lengkap atau kimia darah tidak begitu bermanfaat dalam menegakkan diagnosis fibrosis paru non-idiopatik. Namun, beberapa parameter yang dapat mencerminkan status inflamasi seperti kadar laju endap darah (LED) dan kadar C-Reactive Protein (CRP) dapat diperiksa. Parameter tersebut, meskipun memiliki sensitivitas dan spesifitas yang rendah pada fibrosis paru, dapat membantu menegakkan kecurigaan adanya inflamasi yang masih terjadi yang juga dapat memperburuk fibrosis paru.[25]
Sementara itu, parameter laboratorium yang dapat diperiksa terkait dengan kecurigaan penyakit autoimun sebagai etiologi fibrosis paru non-idiopatik antara lain:
- Antibodi Antinuklear (ANA)
Rheumatoid Factor (RF)
- Antibodi Anticitrulline
- Antibodi sitoplasmik antineutrofil
Anticardiolipin[1,2]
Pemeriksaan Fungsi Paru
Pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri membantu memastikan adanya kelainan yang berkaitan dengan penyakit paru restriktif. Pada fibrosis paru, didapatkan pola kelainan restriktif saat dilakukan pemeriksaan spirometri. Pola kelainan restriktif pada spirometri dapat berupa salah satu atau kombinasi dari hasil berikut:
- Penurunan Forced Vital Capacity (FVC) dan Total Lung Capacity (TLC)
Forced Expiratory Volume in 1 Second (FEV1) dapat normal, hanya mengalami sedikit penurunan, atau justru meningkat
- Rasio FEV1 dibandingkan FVC biasanya normal atau justru meningkat
- Penurunan diffusing capacity for carbon dioxide (DLCO)[1,2,26]
Pemeriksaan Tambahan
Bila diagnosis masih belum jelas, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang tambahan berupa bronchoalveolar lavage (BAL), transbronchial lung biopsy (TBLB), atau surgical lung biopsy. BAL dapat membantu mengungkap kecurigaan adanya keganasan atau infeksi. BAL juga dapat membedakan etiologi fibrosis paru non-idiopatik.
TBLB dapat membantu menegakkan diagnosis etiologi fibrosis paru non-idiopatik berupa sarkoidosis, pneumonitis, alveolar proteinosis, atau Langerhans cell histiocytosis.[1]