Prognosis Pleuritis
Prognosis pleuritis dan nyeri dada pleuritik tergantung pada etiologi dan efektivitas terapi. Sindrom koroner akut, diseksi aorta, pneumotoraks, emboli paru memiliki morbiditas dan mortalitas yang tinggi apabila tidak segera diatasi.
Komplikasi
Komplikasi pleuritis dapat berupa efusi parapneumonik dan empyema yang dapat menyebabkan penebalan pleura atau fibrothorax. Apabila terjadi bilateral, defek compliance paru dapat terjadi. Kondisi dapat mengakibatkan trapped lung, pneumonia rekuren, dan penyebaran infeksi hematogen jika infeksi tidak dievakuasi dengan adekuat. Pasien menjadi kesulitan saat bernapas akibat pleura yang bersifat kaku sehingga terancam mengalami gagal napas.[1,7]
Efusi pleura dapat terjadi seiring dengan memberatnya inflamasi pada pleuritis. Cairan yang dihasilkan pleura saat pleuritis bertambah hingga tampak pada gambaran radiologi ketika mencapai 150-200 mL.[1,6]
Prognosis
Prognosis pleuritis tergantung pada penyebab yang mendasari dan efektivitas terapi. Pleuritis yang disebabkan mesotelioma berkaitan dengan penurunan angka kesintasan 5 tahun hingga 12%. Sementara itu, pleuritis yang telah menyebabkan komplikasi parapneumonic effusion atau empyema dapat meningkatkan mortalitas menjadi 30%. Pola makan, olahraga, dan pola tidur yang cukup untuk menjaga daya tahan tubuh.[1,6-8]
Prognosis Pleuritis Tuberkulosis (TB)
Pada kebanyakan pasien dengan pleuritis tuberkulosis, yang merupakan salah satu penyebab utama pleuritis di Indonesia, suhu tubuh menjadi normal dalam waktu dua minggu setelah pengobatan yang tepat dan cairan pleura diresorpsi dalam waktu enam minggu. Namun, pada beberapa pasien, demam dapat bertahan hingga dua bulan, dan resorpsi cairan dapat memakan waktu hingga empat bulan. Penebalan pleura residual dapat terjadi pada hingga 50%.
Di antara pasien yang mengalami koinfeksi dengan HIV, tanda dan gejala yang memburuk secara paradoks dapat diamati pada bulan-bulan pertama jika terapi antiretroviral dimulai bersamaan dengan pengobatan antituberkulosis. Hal ini disebabkan oleh sindrom pemulihan kekebalan.[3]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja