Epidemiologi Fraktur Hidung
Menurut data epidemiologi, kejadian fraktur hidung pada pria, baik yang masih muda maupun yang lebih tua, memiliki insiden hampir 2 kali lebih tinggi dibandingkan dengan wanita. Prevalensi puncak terjadi pada dekade ke-2 dan ke-3 kehidupan. Pada fraktur umum tulang hidung, biasanya bagian atas piramida hidung yang mengalami patah.[10]
Global
Insiden fraktur hidung lebih tinggi bila dibandingkan dengan fraktur tulang malar atau maksila, orbital, dan mandibula baik yang disebabkan karena mekanisme cedera berenergi rendah atau tinggi seperti kecelakaan lalu lintas.[6]
Dalam sebuah studi epidemiologi, dilaporkan bahwa 76,9% dari pasien adalah pria dan 23,1% adalah wanita. Kecelakaan lalu lintas (26,6%) dan jatuh (25,5%) merupakan penyebab utama dari fraktur hidung. Gejala klinis paling umum adalah nyeri tekan, pembengkakan hidung, dan deformitas.[10]
Indonesia
Di Indonesia, kecelakaan lalu lintas masih menjadi penyebab utama dari fraktur kraniomaksilofasial, diikuti dengan terjatuh dan kekerasan. Kasus didapatkan lebih banyak pada laki-laki bila dibandingkan dengan wanita.
Penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Kesehatan pada tahun 2018 mencatat bahwa cedera yang terjadi pada bagian kepala seperti mata, hidung, telinga, mulut, wajah, dan leher, memiliki insidensi sebesar 11,9%.[7]
Mortalitas
Mortalitas jarang terjadi pada fraktur hidung yang terisolasi. Namun, dalam kasus fraktur hidung yang disertai dengan cedera serius pada struktur wajah, tengkorak, atau organ dalam, terutama akibat trauma berat atau kecelakaan yang melibatkan kecepatan tinggi, mortalitas dapat terjadi akibat perdarahan, cedera otak traumatik, atau cedera organ dalam yang serius.[1,2,8]