Pendahuluan Balanitis
Balanitis merupakan inflamasi pada glans penis atau kepala penis. Balanitis ditandai dengan bengkak dan merah pada kepala penis. Diperkirakan sekitar 3-11% laki-laki pernah mengalami balanitis sepanjang hidupnya. Posthitis merupakan inflamasi pada kulit penutup kepala penis atau preputium.
Pada laki-laki yang tidak disirkumsisi, balanitis dapat disertai posthitis atau yang sering dikenal sebagai balanoposthitis. Bila terjadi balanoposthitis artinya terjadi inflamasi pada glans penis dan preputium. Sekitar 6% dari laki-laki yang tidak disirkumsisi diperkirakan pernah mengalami balanoposthitis.[1]
Balanitis dan balanoposthitis sering terjadi bersamaan, seringkali kedua istilah juga digunakan secara bergantian dengan maksud yang sama (infeksi pada kedua lokasi). Balanitis dapat terjadi pada laki-laki di semua kelompok usia. Faktor risiko balanitis di antaranya adalah faktor kebersihan, lingkungan, tidak disirkumsisi, dan adanya penyakit yang mendasari.[1,2]
Terdapat jenis balanitis yang lebih spesifik yaitu balanitis xerotica obliterans atau yang dikenal juga dengan lichen sclerosus. Pada balanitis xerotica obliterans, lesi inflamasi berupa patch berwarna keputihan. Tipe ini sering terjadi pada glans penis dan preputium.[3]
Jenis lain yaitu Zoon’s balanitis yang merupakan inflamasi kronis benigna mukositis pada glans penis, sulkus korona, dan terkadang preputium. Zoon’s balanitis seringkali terjadi pada laki-laki berusia paruh baya atau lansia yang tidak disirkumsisi.[4]
Diagnosis balanitis dapat ditegakkan secara klinis melalui pemeriksaan fisik. Namun bila ada kecurigaan terhadap infeksi menular seksual, komplikasi, atau kecurigaan adanya penyakit lain maka pemeriksaan penunjang diperlukan. Rekurensi dari balanitis juga perlu diperhatikan karena sering berkaitan dengan penyakit lain yang mendasari, seperti diabetes mellitus.
Terapi balanitis dapat diberikan sesuai dengan etiologinya. Menjaga kebersihan penis merupakan modifikasi perilaku yang sangat disarankan untuk pencegahan. Sirkumsisi direkomendasikan untuk mencegah rekurensi. Pada pasien dengan kondisi imunokompromais dan diabetes, konsultasi dengan spesialis urologi diperlukan. Selain itu, pasangan seksual dari pasien juga direkomendasikan untuk menjalani skrining terhadap penyakit menular seksual atau diberikan terapi empiris.[1,2]