Penatalaksanaan Batu Ginjal
Tidak semua batu ginjal memerlukan penatalaksanaan. Batu yang berukuran kecil dapat keluar sendiri saat pasien berkemih. Pada saat pasien sedang mengalami kolik ginjal akut, maka penatalaksanaan bertujuan meredakan nyeri dan membuat pasien nyaman, baru kemudian mengeluarkan batu. Batu yang tidak keluar secara spontan dapat ditata laksana dengan intervensi medis seperti litotripsi.
Penanganan Kolik Renal
Bila pasien datang dengan kolik renal, dapat dilakukan pemasangan akses intravena untuk hidrasi dan pemberian obat-obatan intravena. Bila tidak ada obstruksi atau infeksi, dapat diberikan analgesik, antiemetik, dan antidiuretik.
Analgesik
Karena nyeri kolik umumnya cukup berat, analgesik yang digunakan dapat berupa:
-
Ketorolac dengan dosis awal 30–60 mg intramuskular (IM) atau 30 mg intravena (IV), diikuti 30 mg setiap 6–8 jam sesuai kebutuhan. Pada pasien berusia di atas 65 tahun, dosis diturunkan setengahnya. Sediaan intranasal juga sudah diteliti efikasinya
Morfin dengan dosis 10 mg setiap 4 jam sesuai kebutuhan. Awasi potensi efek samping depresi napas, sedasi, konstipasi, potensi adiksi, mual, dan muntah
- Meperidin (60–80 mg meperidin ekuivalen dengan 10 mg morfin). Dosis 50–150 mg IM setiap 3–4 jam
Pilihan terapi oral adalah obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) seperti natrium diklofenak 100-150 mg/hari selama 3-10 hari.
Antiemetik
Pasien dengan kolik renal umumnya mengalami mual dan muntah. Obat yang dapat diberikan adalah metoclopramide dosis 10 mg IV atau IM setiap 4–6 jam sesuai kebutuhan.
Antidiuretik
Desmopresin (DDAVP) dapat menurunkan nyeri kolik renal. Bila diberikan melalui semprotan nasal, maka dosis yang digunakan adalah 40 mcg. Bila diberikan secara IV, maka dosis yang digunakan adalah 4 mcg.
Antibiotik
Antibiotik hanya diberikan apabila ada potensi infeksi saluran kemih seperti adanya piuria, bakteriuria, demam, atau leukositosis dengan penyebab lain disingkirkan.[1-3]
Terapi Konservatif
Batu berukuran ≤ 0,4 cm memiliki kemungkinan 95% untuk keluar sendiri dalam 40 hari. Pasien dengan batu terletak di distal dengan ukuran < 10 mm boleh dicoba tata laksana konservatif jika nyeri terkendali, serta tidak ada bukti menurunnya fungsi ginjal atau terjadinya sepsis.[1-3]
Modifikasi Gaya Hidup
Modifikasi gaya hidup tanpa intervensi medis lain dapat dianjurkan bagi pasien dengan batu berukuran ≤ 4 mm maupun kasus batu ginjal berulang. Jenis dan isi gaya hidup yang dikendalikan disesuaikan dengan jenis batu. Tetapi untuk semua jenis batu, pasien dapat dianjurkan untuk:
- Cukup hidrasi: Pasien dapat disarankan memperbanyak minum air putih minimal 2,5–3 liter sehari (minimal 8 gelas per hari) atau hingga urine berwarna jernih.
- Meningkatkan aktivitas fisik: Pasien juga disarankan menjalani aktivitas fisik ringan-sedang 150 menit per minggu.[1-3]
Modifikasi Diet
Minta pasien menghindari minuman bersoda, mengurangi konsumsi kopi dan teh, dan menjalani diet rendah garam. Sampaikan untuk menjaga asupan kalsium dalam batas normal (700-1000 mg). Konsumsi kalsium bertujuan mencegah penarikan kalsium dari tulang ke dalam darah, yang dapat meningkatkan kadar kalsium urine setelah difiltrasi oleh ginjal.
Minta pasien menghindari asupan protein berlebih dari makanan. Konsumsi protein 0,8 g/kg/hari. Batasi protein hewani dan hindari suplemen whey protein berlebihan. Protein dipecah menjadi purin hingga asam urat, sehingga protein berlebih dapat meningkatkan asam urat dalam urine, menimbulkan hiperurikosuria yang mendukung pengendapan dan pembentukan batu.[3,8]
Rujukan
Pasien yang memenuhi indikasi berikut perlu segera dirujuk ke dokter spesialis urologi untuk dilakukan intervensi lanjutan.
Kegagalan Terapi Konservatif
Terapi konservatif dinyatakan gagal bila nyeri memburuk, muncul tanda-tanda sepsis, atau output urine menurun.[3]
Indikasi Rujuk pada Penderita Asimtomatik
Indikasi rujuk untuk intervensi oleh spesialis urologi pada pasien asimptomatik adalah:
- Ukuran batu ≥ 5 mm
- Pasien hanya memiliki 1 ginjal
- Terjadi obstruksi kronis
- Terjadi infeksi saluran kemih berulang
Batu ginjal yang tidak bergejala perlu dimonitor ketat dengan follow up klinis dan pencitraan setiap tahunnya. Intervensi perlu dipertimbangkan dan dilakukan setelah 2-3 tahun, atau lebih cepat bila batu cepat membesar melebihi 5 mm, menyebabkan obstruksi, infeksi, atau nyeri.[3]
Medikamentosa
Batu kalsium dapat dicegah dengan pemberian diuretik thiazide, seperti hydrochlorothiazide (HCT), yang dapat mengurangi ekskresi kalsium dalam urine. Kalium sitrat juga dapat digunakan untuk meningkatkan kadar sitrat urine. Untuk batu struvit, dapat dilakukan terapi antibiotik sesuai bakteri penyebab. Sedangkan untuk batu asam urat, pengendalian kadar asam urat dapat dilakukan dengan diet dan medikamentosa seperti alopurinol dan kolkisin.[8]
Untuk batu oksalat, saat ini sedang berjalan penelitian beberapa agen biologik untuk mengendalikan hiperoksaluria, seperti SLC26 inhibitor dan bakteri. Prinsip utamanya mengurangi penyerapan oksalat di usus sehingga dapat mengurangi jumlah oksalat yang masuk ke urine dan dapat berkumpul membentuk batu.[16]
Terapi Ekspulsif
Obat α-blocker seperti tamsulosin dengan dosis 400 mcg sekali sehari (indikasi off-label) selama 1 bulan mungkin mempercepat pengeluaran batu distal secara spontan. Obat ini dapat menimbulkan efek samping berupa hipotensi postural dan ejakulasi retrograde. Pilihan lain dapat diambil dari golongan calcium-channel inhibitor seperti nifedipine.[1-3]
Pembedahan
Pilihan pembedahan bergantung pada preferensi pasien, lokasi dan ukuran batu, jumlah dan kompleksitas batu, komorbiditas yang diderita, dan apakah pasien hanya memiliki 1 ginjal. Pilihan prosedur yang dapat dilakukan antara lain ureteroskopi (URS), extracorporeal shockwave lithotripsy (ESWL), nefrolitotomi perkutan (PCNL), retrograde intrarenal surgery (RIRS), atau endoscopic combined intrarenal surgery (ECIRS). Untuk tata laksana bedah, pasien dirujuk ke dokter spesialis urologi.[1-3]
Ureteroskopi (URS) / Retrograde Intrarenal Surgery (RIRS)
Menurut European Association of Urology Urolithiasis Guidelines, ureteroskopi atau RIRS direkomendasikan sebagai terapi lini pertama untuk batu ginjal berukuran < 2cm. Ureteroskopi merupakan prosedur yang paling biasa dikerjakan dan angka bebas batunya tinggi. Prosedur ini menggunakan endoskopi transuretral, yang memungkinkan untuk mengangkat dan menghancurkan batu dengan teknik laser. Biasanya pasien dipasang stent setelah prosedur untuk memberi ruang pemulihan inflamasi, yang kemudian dikeluarkan 1-2 minggu pasca operasi.[1-3]
Extracorporeal Shockwave Lithotripsy
Indikasi ESWL adalah batu berukuran 0,5 cm sampai 2 cm. Prosedur ini menggunakan ultrasonic shockwave dari luar tubuh pasien yang ditembakkan ke arah mana terletak batu ginjal pasien. Prosedur ini bertujuan menghancurkan batu menjadi fragmen dan bubuk kecil agar bisa keluar secara spontan dan tanpa nyeri lewat aliran urine.
Prosedur ini perlu dikerjakan berulang sampai batu hancur sempurna, dan kadang fragmen kecil batu ginjal yang tersisa dapat menimbulkan kolik ginjal akut. Selain itu, ada potensi timbulnya komplikasi berupa steinstrasse, dimana batu yang telah dipecah di tahap awal justru membentuk kompleks yang dapat menyebabkan obstruksi ureter.[1-3]
Nefrolitotomi Perkutan (PCNL)
Ukuran batu di atas 2 cm dan formasi batu kompleks termasuk jenis staghorn calculi adalah indikasi untuk dilakukan pembedahan invasif. Menurut European Association of Urology Urolithiasis Guidelines, PCNL direkomendasikan sebagai terapi baku emas untuk batu ginjal berukuran ≥ 2cm. Prosedur ini menggunakan jarum dan guidewire untuk mengakses secara perkutan menuju ginjal. Morbiditasnya lebih tinggi dan biasanya hanya dikerjakan pada batu ginjal yang berukuran besar atau ketika metode lain telah gagal.[1-3]
Kekurangan metode ini adalah perlunya pengerjaan berulang hingga batu hancur sempurna atau cukup kecil dan permukaannya aman untuk bisa dikeluarkan sendiri lewat aliran urine. Proses invasif ini memiliki potensi timbulnya abses perkutan karena masuknya bakteri kulit ke jaringan dalam. Risiko komplikasi lainnya berupa steinstrasse.[17]
Endoscopic Combined Intrarenal Surgery (ECIRS)
Pada prinsipnya, prosedur ini adalah flexible ureteroscopy (FUS) dan PCNL yang dikerjakan secara simultan. ECIRS dimungkinkan untuk dikerjakan seiring dengan berkembangnya peralatan litotripsi yang fleksibel dan tidak kaku, sehingga memungkinkan dikerjaannya FUS sebagai pilihan terapi tambahan setelah PCNL.
Prosedur ini menghasilkan kehilangan darah dan durasi perawatan pasca operasi yang lebih sedikit. ECIRS dinilai cukup aman bagi penderita batu ginjal kompleks, namun studi lebih lanjut masih diperlukan.[17]
Terapi Suportif
Pencegahan komplikasi infeksi dan urosepsis hingga sepsis diupayakan dengan
- Mengobati infeksi saluran kemih sesegera mungkin dengan antibiotik empiris berspektrum luas atau sesuai hasil kultur urine.
- Jika ditemukan kasus batu ginjal atau batu saluran kemih lain yang bersifat obstruktif disertai tanda klinis dan tanda laboratorium infeksi di unit gawat darurat, segera drainase dengan nefrostomi dan berikan antibiotik sistemik. Berikan juga analgesik bila diperlukan, kemudian rujuk dengan dokter spesialis urologi.
- Berikan antibiotik profilaksis berdasarkan hasil pemeriksaan urine lengkap dan kultur urine atau antibiotik berspektrum luas sebelum prosedur operasi.
- Batasi durasi pengerjaan operasi untuk prosedur PCNL, ESWL, maupun ureteroskopi.[11,15]
Penanganan Pasien Hamil
Expectant management (tata laksana konservatif) menjadi lini pertama terapi batu ginjal pada pasien hamil. Tata laksana konservatif yang dilakukan adalah hidrasi, antiemetik, dan analgesia. Jika urinalisis atau presentasi awal mengindikasikan infeksi, observasi disertai dengan terapi antibiotik dapat dilakukan. Antibiotik yang dapat digunakan hanyalah yang aman bagi kehamilan, seperti amoxicillin. Penggunaan alpha-blocker seperti tamsulosin sebagai medical-expulsion therapy belum banyak diteliti keamanannya pada ibu hamil.[9,10]
Indikasi intervensi pada dasarnya sama seperti pada pasien yang tidak hamil, dengan tambahan mempertimbangkan risiko komplikasi kehamilan. ACOG merekomendasikan prosedur operasi nonobstetrik pada trimester kedua kehamilan, untuk menghindari risiko mengganggu perkembangan fetus dan risiko kontraksi prematur. Prosedur dilaksanakan dengan panduan USG dan dosis anestesi sekecil mungkin.
Ureteroskopi dilaporkan membutuhkan waktu pembiusan yang lebih singkat dan lebih sedikit menimbulkan risiko kontraksi prematur dan infeksi dibandingkan nefrostomi perkutan dan ureteric stent. PCNL tidak direkomendasikan karena membutuhkan posisi pasien pronasi dan dosis anestesi yang besar. SWL tidak direkomendasikan karena meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan janin, malformasi kongenital, dan kematian janin dalam rahim.[9,10]
Penulisan pertama oleh: dr. Nathania S. Sutisna