Melakukan pungsi lumbal memerlukan perhatian khusus pada populasi pasien yang menggunakan antiplatelet, seperti aspirin dan clopidogrel. Populasi pasien ini memiliki risiko perdarahan lebih tinggi, terutama pada area spinal, yang membuat penghentian obat perlu dipertimbangkan. Di lain pihak, penghentian terapi antiplatelet dapat meningkatkan risiko trombosis.
Pungsi lumbal merupakan prosedur invasif yang penting dalam menunjang diagnosis dan terapi pada kasus neurologi, seperti meningitis. Seiring dengan itu, meningkatnya angka kejadian stroke dan gangguan jantung turut meningkatkan penggunaan terapi pengencer darah, seperti antiplatelet dan antikoagulan.
Pada populasi yang menggunakan pengencer darah, berbagai tindakan prosedural termasuk pungsi lumbal berpotensi meningkatkan kemungkinan terjadinya perdarahan. Meskipun perdarahan merupakan komplikasi pungsi lumbal yang jarang, tetapi hematoma epidural spinal telah dilaporkan dan dapat menyebabkan paralisis, termasuk paraplegia dan quadriplegia. Untuk mengurangi risiko perdarahan, umumnya klinisi menghentikan terapi pengencer darah beberapa hari sebelum prosedur dilakukan. Namun, tindakan penghentian pengencer darah, khususnya antiplatelet masih menjadi perdebatan hingga saat ini karena meningkatkan risiko trombosis.[1-3]
Prosedur Pungsi Lumbal dan Risiko Perdarahan
Pungsi lumbal merupakan teknik pengambilan sampel cairan serebrospinal (CSF, Cerebrospinal fluid) yang dilakukan untuk mengetahui patologi yang terjadi di otak. Prosedur ini menggunakan jarum spinal yang dimasukkan ke ruang subaraknoid pada level yang aman di sumsum tulang belakang.
Hingga saat ini prosedur invasif pungsi lumbal masih dianggap penting dalam penegakkan diagnosis berbagai kasus neurologi, seperti meningitis. Pada populasi khusus, seperti pengguna antiplatelet, keamanan prosedur pungsi lumbal masih menjadi perdebatan. Kontroversi umumnya berfokus pada risiko perdarahan yang mungkin terjadi bila terapi antiplatelet tidak dihentikan sebelum prosedur dilakukan, terutama pada pasien yang sudah menggunakan stent arteri koroner atau arteri karotis, ataupun pasien dengan dementia vaskular.[1-3]
Meskipun penggunaan antiplatelet bukan menjadi kontraindikasi absolut dalam prosedur pungsi lumbal, efek samping serius berupa hematoma epidural spinal yang menyebabkan paralisis pernah dilaporkan.. Secara umum, antiplatelet berfungsi mengurangi agregasi platelet sehingga menghambat terbentuknya trombus di pembuluh darah. Mayoritas terapi antiplatelet digunakan dalam pencegahan penyakit koroner, stroke, dan penyakit vaskular perifer.[2,4]
Konsumsi Antiplatelet dan Risiko Perdarahan Akibat Pungsi Lumbal
Seperti telah disebutkan di atas, antiplatelet umum digunakan pada pasien dengan risiko trombosis, misalnya stroke. Contoh antiplatelet yang banyak digunakan adalah aspirin dan obat golongan thienopyridine seperti clopidogrel.
Aspirin
Aspirin atau dikenal dengan asam asetilsalisilat adalah obat antiplatelet yang paling banyak digunakan di seluruh dunia. Terapi ini bekerja secara langsung dengan menghambat jalur siklooksigenase (COX)-1 maupun COX-2. Penggunaan aspirin dosis rendah (75mg) relatif aman untuk tetap dilanjutkan saat melakukan prosedur dan dapat dilanjutkan setelah prosedur. Meskipun demikian, risiko dari hematoma spinal masih tetap perlu dipertimbangkan.[4-6]
Pada kebanyakan kasus, aspirin dosis rendah dipertimbangkan dihentikan hanya bila terdapat risiko perdarahan yang meningkatkan risiko mortalitas pada penderita.[1,3,7] Sementara itu, pada penggunaan aspirin dosis tinggi risiko perdarahan akan meningkat, tetapi keamanan dan lama penghentian obat pada kasus tersebut belum banyak didiskusikan.[5]
Thienopyridine
Antiplatelet lain yang sering digunakan adalah golongan thienopyridine atau antagonis reseptor ADP (Adenosine Diphosphate), seperti clopidogrel, prasugrel dan ticagrelor. Obat-obat ini paling banyak digunakan dalam mengatasi penyakit arteri koroner..[4]
Sehubungan dengan prosedur pungsi lumbal, dianjurkan untuk menghentikan penggunaan antiplatelet golongan thienopyridine setidaknya 7 hari untuk menunggu kembalinya fungsi platelet normal. Dosis pertama terapi thienopyridine dapat dimulai 6 jam pasca prosedur.[5] Secara lebih spesifik, efek pengobatan telah dilaporkan bertahan hingga 5-7 hari setelah menghentikan penggunaan clopidogrel; 10-14 hari setelah menghentikan ticlopidine; dan 7-10 hari untuk prasugrel.[3]
Menghentikan terapi antiplatelet, terutama untuk pasien-pasien yang memiliki riwayat pemasangan stent merupakan sebuah tindakan yang berisiko. Secara umum, penghentian terapi thienopyridine yang diikuti dengan tetap mempertahankan terapi aspirin, dianggap relatif aman. Waktu terjadinya trombosis lebih cepat pada pasien yang menghentikan kedua antiplatelet bersamaan dibandingkan yang menghentikan aspirin saja.[1]
Bukti Ilmiah
Sebuah studi retrospektif oleh Carabenciov et al (2018) mengevaluasi rekam medis dari 100 pasien yang menjalani pungsi lumbal dan menggunakan terapi dual antiplatelet berupa aspirin dan clopidogrel. Luaran yang dianalisis adalah adanya komplikasi serius yang didefinisikan sebagai keperluan pemeriksaan pencitraan atau rawat inap dalam 3 bulan setelah prosedur dilakukan.
Berdasarkan studi ini, komplikasi yang paling umum ditemukan adalah nyeri punggung yang dilaporkan oleh 2 pasien, dimana hanya 1 di antaranya yang akhirnya ditemukan terkait dengan prosedur pungsi lumbal. Tidak ada komplikasi serius yang terjadi.
Temuan pungsi lumbal traumatis, didefinisikan sebagai setidaknya 100 sel darah merah/mcl, ditemukan pada 8% kasus. Pungsi lumbal bloody, didefinisikan sebagai 1000 sel darah merah/mcl, ditemukan pada 4% kasus. Temuan komplikasi ini berada dalam rentang yang sama dengan pasien yang menjalani pungsi lumbal tanpa menggunakan antiplatelet. Meski demikian, perlu dicatat bahwa studi ini underpowered untuk mendeteksi komplikasi hematoma epidural, yang merupakan komplikasi serius dari pungsi lumbal. Kejadian hematoma epidural diperkirakan muncul pada 2 per 100.000 tindakan pungsi lumbal.[7]
Rekomendasi Pelaksanaan Pungsi Lumbal pada Pengguna Antiplatelet
Penelitian mengenai risiko perdarahan dengan penggunaan antiplatelet atau antikoagulan saat melakukan pungsi lumbal masih kurang untuk dapat memberikan konsensus yang definitif. Walau demikian, terdapat rekomendasi pelaksanaan pungsi lumbal pada pasien yang menggunakan aspirin, clopidogrel, atau kombinasi antiplatelet.[3]
Pasien yang menggunakan aspirin dosis rendah tidak perlu menghentikan obat saat akan melaksanakan pungsi lumbal. Pasien yang menggunakan clopidogrel atau kombinasi antiplatelet juga tidak perlu menghentikan terapi jika akan melakukan pungsi lumbal emergensi. Namun, pada kasus elektif risiko thrombosis perlu dipertimbangkan. Alternatif yang dapat dilakukan adalah mengganti clopidogrel dengan aspirin dan melakukan pungsi lumbal seminggu setelah penggantian obat.[1,5,7]
Selanjutnya, pasien dengan risiko trombosis tinggi yang mendapat kombinasi antiplatelet, dianjurkan tidak menghentikan pengobatan. Dokter perlu mempertimbangkan untuk menunda pungsi lumbal sampai saat pasien bisa menghentikan antiplatelet kombinasi dan cukup menggunakan aspirin saja. Pada pasien dengan risiko trombosis rendah yang mendapatkan clopidogrel saja, pertimbangkan untuk menghentikan obat dan melakukan pungsi lumbal seminggu setelah penghentian obat. Pada pasien dengan risiko trombosis rendah yang mendapatkan antiplatelet kombinasi, hentikan clopidogrel dan lakukan pungsi lumbal seminggu setelah clopidogrel dihentikan.[3]
Kesimpulan
Saat ini, bukti ilmiah yang adekuat belum tersedia untuk memandu perlakuan yang perlu diperhatikan pada pasien pengguna antiplatelet yang akan menjalani prosedur pungsi lumbal. Dalam sebuah studi retrospektif skala kecil, terapi antiplatelet berupa aspirin dan clopidogrel tampaknya tidak meningkatkan risiko perdarahan pasien. Meski begitu, studi lebih lanjut dalam skala lebih besar masih diperlukan untuk mendeteksi risiko komplikasi langka namun serius dari pungsi lumbal, yakni hematoma epidural spinal, pada pasien yang mengonsumsi antiplatelet.
Pada pasien dengan risiko perdarahan rendah, aspirin mungkin tidak perlu dihentikan. Pasien yang menggunakan clopidogrel atau ticagrelor saja dan memiliki risiko trombosis rendah dapat mengganti terapi menjadi aspirin terlebih dulu sebelum menjalani pungsi lumbal. Sementara itu, pada pasien dengan risiko trombosis tinggi, prosedur pungsi lumbal elektif sebaiknya ditunda.
Penulisan pertama oleh: dr. Graciella N T Wahjoepramono