Berbagai studi menunjukkan bahwa remaja dengan orientasi seksual minoritas mengalami tingkat depresi yang lebih tinggi dibandingkan remaja heteroseksual. Lebih spesifik, terdapat data yang menunjukkan bahwa remaja LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer) 2 kali lebih berisiko memiliki ide bunuh diri, dan 4 kali lebih mungkin melakukan percobaan bunuh diri. Terlepas dari kemajuan dalam hak-hak kaum minoritas di negara-negara maju, penelitian terbaru menunjukkan bahwa kesenjangan substansial tetap terjadi dalam domain kesehatan mental, sosial, dan kesehatan.[1,2]
Remaja, Orientasi Seksual Minoritas, dan Masalah Kesehatan Mental
Masa remaja merupakan tahap penting dari tumbuh kembang manusia. Di fase ini, perubahan biologis secara pesat terjadi seiring dengan meningkatnya tuntutan psikologis dan sosial. Hal tersebut bukanlah sesuatu yang mudah dilalui, terlebih bila tidak mendapat pendampingan dan dukungan adekuat dari lingkungan terdekat. Di antara seluruh populasi remaja, terdapat 2,3-12% yang memiliki orientasi dan identitas seksual minoritas. Kelompok tersebut dilaporkan lebih berisiko mengalami masalah kesehatan mental karena rentan mendapat perlakuan diskriminatif serta membutuhkan usaha yang tidak mudah untuk memahami identitas seksual mereka.[1,3]
Berdasarkan survei CDC pada tahun 2015, 60% remaja LGBTIQ dilaporkan sering merasa sangat sedih dan putus asa sehingga berhenti melakukan aktivitas yang biasa mereka lakukan. Angka tersebut bahkan lebih tinggi pada remaja yang biseksual karena konflik yang lebih besar. Menurut Teori Stres Minoritas, stigma, prasangka, dan diskriminasi menciptakan lingkungan sosial yang sarat konflik dan stres. Hal tersebut berkontribusi pada masalah kesehatan mental di antara populasi minoritas seksual.[2,4]
Faktor Risiko Depresi pada Remaja dengan Orientasi Seksual Minoritas
Berdasarkan literatur yang ada, remaja LGBTIQ melaporkan tiga kategori utama faktor penyebab depresi, yaitu penolakan keluarga terhadap orientasi seksual, viktimisasi terkait LGBTIQ di luar keluarga, dan peristiwa negatif dalam keluarga. Ketiga kategori ini diidentifikasi oleh setidaknya setengah dari seluruh sampel.[5]
Penolakan Keluarga
Penolakan keluarga terhadap orientasi seksual seksual disebutkan sebagai katalis gejala depresi atau bunuh diri pada sebagian besar kasus. Sebuah studi potong lintang bahkan menyatakan penolakan dan kekerasan yang dilakukan keluarga dekat merupakan faktor risiko utama untuk depresi dan ide bunuh diri di kalangan remaja dengan LGBTIQ. Penolakan tersebut dapat bersifat eksplisit maupun implisit. Contoh penolakan secara eksplisit adalah ketika orang tua melakukan kekerasan (fisik, verbal, emosional) atau memutuskan hubungan dengan remaja dengan tidak mengakui mereka sebagai anak. Dalam kasus lain, penolakan secara implisit atau halus dikomunikasikan dengan cara nonverbal, seperti ekspresi rasa sedih dan kecewa ketika orang tua sedang berinteraksi dengan anaknya. Walaupun hal tersebut wajar terjadi dan sering dilakukan tanpa disengaja, pengaruhnya secara klinis cukup signifikan terhadap kondisi mental remaja.
Ketika orang tua menolak memberikan validasi atau mengungkapkan ketidaknyamanan terhadap orientasi seksual remaja mereka, kebencian remaja terhadap diri akan memburuk dan menimbulkan keputusasaan yang semuanya berkorelasi dengan bunuh diri. Selain itu, tanggapan negatif orang tua dapat membuat remaja berpikir bahwa mereka tidak memiliki siapa pun untuk berkeluh kesah ketika menjadi korban di luar rumah karena orientasi seksual mereka.[5]
Viktimisasi Terkait LGBTIQ di Luar Keluarga
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, remaja LBTIQ mengalami viktimisasi yang lebih sering dan lebih kejam dibandingkan remaja heteroseksual. Remaja tersebut juga cenderung mengalami berbagai bentuk viktimisasi secara bersamaan yang disebut juga poliviktimisasi. Terdapat berbagai penelitian yang membuktikan bahwa diskriminasi dan viktimisasi memainkan peran penting dalam timbulnya gejala depresi dan bunuh diri. Pengalaman diskriminasi dan viktimisasi yang dilaporkan remaja meliputi perundungan, penghinaan di tempat publik, serta aksi teror yang dilakukan secara personal.[1,5]
Peristiwa Negatif Dalam Keluarga.
Peristiwa kehidupan yang negatif dalam keluarga, bahkan yang tidak terkait dengan LGBTIQ, juga tetap berpengaruh pada kesehatan mental remaja. Termasuk di antaranya adalah kemiskinan, adanya keluarga yang dipenjara, hingga kematian anggota keluarga.
Peristiwa kehidupan negatif juga akan berdampak pada rendahnya self esteem (penilaian seseorang terhadap diri) dan kemampuan menyelesaikan masalah, serta lebih lanjut lagi akan dihubungkan dengan depresi dan ide bunuh diri di kalangan remaja.
Walaupun sekilas dampak dari variabel peristiwa negatif yang disebutkan tidak terkait dengan orientasi seksual minoritas, terdapat bukti ilmiah yang menemukan adanya keterkaitan. Sebagai contoh, seorang responden remaja laki-laki mengakui bahwa penyebab utama perilaku bunuh dirinya adalah kematian ibu kandungnya. Dalam wawancara berikutnya, pemuda ini mengatakan bahwa jika ibunya masih hidup, tentu ibunya akan menerima dirinya secara utuh, termasuk orientasi seksualnya.[5]
Strategi Pencegahan dan Proteksi
Salah satu faktor protektif paling kuat terkait dengan depresi dan bunuh diri pada remaja adalah kualitas hubungan remaja dengan orang tua dan seluruh anggota keluarganya. Dalam sebuah penelitian ditemukan bahwa remaja LGBTIQ dengan keluarga yang menerima dan mendukung mereka akan memiliki self esteem tinggi serta kesehatan fisik dan mental yang lebih baik. Studi lain juga menyatakan bahwa remaja transgender yang diberikan afirmasi terkait identitas seksual oleh keluarganya sama sehatnya secara psikologis dengan teman sebayanya yang bukan transgender.[2,6,7]
Sekolah juga dinilai perlu menyediakan infrastruktur yang ideal untuk menerapkan perubahan kesehatan masyarakat dan kebijakan sosial yang efektif. Sehubungan dengan hal ini, kurikulum pendidikan di negara Inggris mengajarkan para siswa tentang gender dan keberagaman hubungan. Maka, pada tingkat kebijakan diperlukan pedoman pendidikan universal yang lebih jelas dan terarah.[1]
Kesimpulan
Remaja dengan orientasi seksual minoritas dilaporkan lebih rentan menderita depresi dan perilaku bunuh diri. Survei oleh CDC di Amerika Serikat menunjukkan bahwa 60% kelompok remaja LGBTIQ (Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer) sering merasa sangat sedih dan putus asa berkepanjangan, yang berkorelasi dengan gejala klinis depresi.
Terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan depresi pada remaja dengan orientasi seksual minoritas, yaitu penolakan keluarga terhadap orientasi seksual, viktimisasi terkait LGBTIQ di luar keluarga, serta peristiwa negatif dalam keluarga. Sebagai langkah pencegahan dan perlindungan terhadap remaja dengan orientasi dan identitas seksual minoritas, diperlukan dukungan terutama di tingkat keluarga dan sekolah. Ikatan keluarga yang kuat, lingkungan sekolah yang aman, dan dukungan dari orang dewasa yang peduli dapat melindungi remaja LGBTIQ dari depresi dan bunuh diri