Burnout menjadi masalah penting bagi dokter karena akan berdampak pada penurunan kualitas hidup dan produktivitas dalam bekerja. Hal-hal yang dapat menyebabkan burnout di antaranya adalah beban kerja yang meningkat, gagal dalam menyelamatkan nyawa pasien, merasa gagal ketika penyakit pasien tidak kunjung sembuh, dan keharusan melakukan pekerjaan yang tidak dilatih sebelumnya seperti memenuhi tugas administrasi. Selain itu, dunia kedokteran yang semakin maju dan berkembang pesat dapat membuat dokter kewalahan untuk menjaga agar tidak ketinggalan. [1,2]
Sebuah studi di British Columbia melaporkan sebagian besar dokter mengalami burnout. Studi ini melaporkan bahwa 80% dokter mengalami kelelahan derajat sedang sampai berat, 61% mengalami depersonalisasi derajat sedang sampai berat, dan 44% mengalami rendah diri atau pesimis terhadap pencapaian pribadi yang diraih. [3]
Studi lainnya di Amerika Serikat, melaporkan menurunnya keseimbangan antara kehidupan dengan pekerjaan para dokter. Studi ini mengidentifikasi spesialisasi dengan tingkat prevalensi burnout tertinggi, antara lain urologi (63,6%), fisik dan rehabilitasi medik (63,3%), dokter keluarga (63,0%), radiologi (61,4%), bedah ortopedi (59,6%), dermatologi (56,5%), subspesialisasi bedah umum (52,7%), patologi (52,5%) dan pediatri (46,3%). [3,4]
Burnout dapat menyebabkan seorang dokter membuat keputusan medis yang salah, membuat kesalahan dalam tindakan medis, dan memiliki hubungan yang buruk dengan pasien dan tenaga kesehatan lain. [1,2]
(Konten ini khusus untuk dokter. Registrasi untuk baca selengkapnya)