Teknik Spirometri
Teknik spirometri dilakukan untuk mengukur udara yang dapat diinspirasi dan diekspirasi untuk menilai fungsi paru. Beberapa aktivitas harus dihindari sebelum melakukan pemeriksaan fungsi paru ini, misalnya merokok, menggunakan vape atau shisha 1 jam sebelumnya, mengonsumsi alkohol 8 jam sebelumnya, serta berolahraga berat 1 jam sebelumnya.[1,9]
Persiapan Pasien
Sebelum melakukan spirometri, perlu dilakukan pendataan mengenai usia, berat badan, dan tinggi badan pasien. Usia yang dimaksud adalah usia saat melakukan spirometri dari tanggal lahir, dengan desimal 1 angka di belakang koma. Selain itu, tinggi badan dan berat badan ditulis dengan 1 angka di belakang koma dengan meminta pasien terlebih dahulu melepaskan sepatu dan aksesoris yang digunakan sebelum dilakukan pengukuran. Dari tinggi badan dan berat badan, dilakukan pengukuran body mass index (BMI) dengan satuan kg/m2.[1,2]
Jenis kelamin dan etnis perlu dilaporkan, karena hal ini juga menjadi faktor yang dapat mempengaruhi prediksi ukuran paru. Hal ini bertujuan untuk menjaga akurasi pemeriksaan.[1]
Terdapat beberapa aktivitas yang harus dihindari sebelum melakukan pemeriksaan fungsi paru dengan spirometri, yaitu:
- Merokok atau menggunakan vape atau shisha dalam 1 jam sebelum melakukan tes fungsi paru untuk menghindari bronkokonstriksi akut karena inhalasi asap
- Mengonsumsi intoksikan, misalnya alkohol, dalam 8 jam sebelum melakukan tes untuk menghindari gangguan koordinasi dan efek samping yang ditimbulkan dari intoksikan tersebut
- Melakukan olahraga berat dalam 1 jam sebelum melakukan tes untuk menghindari exercise-induced bronchoconstriction
- Menggunakan pakaian yang terlalu ketat atau yang dapat membatasi ekspansi dada dan abdomen yang maksimal untuk menghindari restriksi eksternal
- Pasien yang menggunakan gigi palsu dapat tetap menggunakannya pada saat pemeriksaan, karena melepaskan gigi palsu akan meningkatkan FVC sampai dengan 0,080 liter dan hal ini dapat menyebabkan bias hasil pemeriksaan
- Pasien yang menggunakan bronkodilator disarankan untuk menunda penggunaanya apabila tujuan tes adalah untuk mengetahui kondisi paru yang mendasari. Namun, apabila tujuannya untuk mengetahui keberhasilan terapi, maka bronkodilator tidak perlu ditunda
- Pada pasien dengan riwayat torakotomi, penyembuhan tendon dan otot pasca operasi sampai mencapai fungsi normalnya membutuhkan waktu sekitar 4-6 minggu, sehingga jangka waktu ini perlu diperhatikan pada mereka yang akan melakukan spirometri
- Pada pasien yang baru menjalankan operasi kraniotomi, pemeriksaan spirometri harus ditunda sampai 3-6 minggu pasca operasi
- Pasien dengan emboli paru boleh melakukan pemeriksaan spirometri apabila pasien sudah berada dalam terapi antikoagulan minimal 2 minggu, karena dengan terapi antikoagulan risiko kematian berkurang dari 30% menjadi 1-2%
- Pada pasien dengan efusi pleura, spirometri disarankan dilakukan dalam 24 jam setelah melakukan drainase cairan efusi. Pada pasien-pasien ini perlu diinformasikan pula bahwa pemeriksaan spirometri akan memberikan rasa tidak nyaman seperti sesak dan nyeri pleuritik.
- Pada pasien dengan riwayat infark miokard disarankan untuk melakukan tes fungsi paru 1 bulan setelah serangan infark miokard[1,9]
Operator harus mencatat tipe dan dosis obat yang sedang digunakan, baik obat inhalasi, oral, atau injeksi yang dapat merubah fungsi paru dan kapan terakhir penggunaan obat tersebut. Operator juga harus mencatat apabila pasien batuk, bersin, sesak, atau terlihat sianosis pada saat dilakukan pemeriksaan.[1]
Peralatan
Spirometri membutuhkan spirometer yang telah dikalibrasi dengan baik sebelum melakukan tes atau setiap hari. Apabila menggunakan in-line filter pada spirometri, maka harus dilakukan rekalibrasi. Apabila terdapat perubahan faktor kalibrasi ≥6% atau bervariasi lebih dari +/-2SD dari mean, bersihkan spirometri sesuai ketentuan pabrik dan kalibrasi ulang.[1,2]
Sebelum melakukan pemeriksaan, spirometri harus dipastikan berada pada zero level. Alat-alat yang dibutuhkan adalah:
- Spirometer dan PFT (Pulmonary Function Test) kit
- Face mask
-
Syringe untuk kalibrasi, terbentuk dari 3 liter metal silinder dengan piston dengan rubber seal
- Monitor suhu atau barometrik
- Selang spirometri dari bahan plastik yang selalu diganti dan dibersihkan
- Stadiometer dan timbangan untuk mengukur tinggi badan dan berat badan
- Bangku dengan pegangan
- Tempat sampah infeksius
- Tempat untuk PFT kit
- Tempat untuk selang bersih
- Sarung tangan non latex untuk alat pelindung diri pemeriksa
- Tissue
- Baterai 9 volt (untuk weather station)[8]
PFT (Pulmonary Function Test) kit terdiri dari:
- Mouthpiece
- Klip hidung dengan padding, penggunaan klip hidung pada beberapa pasien akan memberikan rasa tidak nyaman dan mempengaruhi hasil spirometri, sehingga penggunaan klip hidung lebih direkomendasikan pada mereka yang diperkirakan dapat mengalami nasal leakage pada saat pemeriksaan
- Filter [8]
Kontrol Infeksi
Setiap selesai melakukan pemeriksaan, operator harus mencuci tangan. Selain itu, seluruh filter bakteri-virus harus dibuang sendiri oleh pasien pada akhir test. Untuk pasien yang infeksius, spirometri dilakukan pada urutan akhir dan alat-alat yang digunakan harus dilepaskan dan disterilisasi atau diganti sebelum digunakan kembali.[2]
Posisi Pasien
Posisi pasien pada pemeriksaan spirometri adalah duduk tegak. Tidak ada perbedaan udara yang dapat dikeluarkan pada posisi duduk dibandingkan dengan posisi berdiri selama pasien duduk dengan tegak. Saat duduk tegak, telapak kaki flat pada lantai dengan tungkai tidak disilangkan.[2,8]
Gunakan kursi dengan pegangan, untuk mencegah pasien jatuh karena pusing, goyang/oleh, atau pingsan akibat melakukan ekspirasi maksimal. Pasien tidak boleh memfleksikan leher pada saat pemeriksaan karena dapat meningkatkan resistensi jalan napas.[2,8]
Prosedural
Sebelum memulai prosedur, pemeriksa perlu memastikan bahwa pasien memahami manuver yang harus dilakukan selama pemeriksaan spirometri. Prosedur pemeriksaan spirometri adalah sebagai berikut:
- Pemeriksan mencuci tangan
- Persiapkan pasien dan minta pasien cuci tangan atau menggunakan hand sanitizer
- Konfirmasi identitas pasien, seperti nama, usia, jenis kelamin, dan etnis
- Ukur berat dan tinggi badan
- Tanyakan aktivitas yang pasien lakukan sebelum pemeriksaan yang bisa mempengaruhi hasil
- Tanyakan obat-obatan yang digunakan dan apakah ada kontraindikasi melakukan spirometri
- Catat gejala pada sistem respirasi
- Instruksikan dan demonstrasikan prosedur pemeriksaan
- Pastikan pasien memahami instruksi dan bersedia melakukan pemeriksaan
- Lakukan manuver
- Ulangi instruksi jika diperlukan, sambil menyemangati pasien
- Ulangi manuver setidaknya 3 kali, biasanya tidak melebihi 8 kali pada pasien dewasa[1]
Instruksi Prosedur Spirometri
Pasien harus diberikan instruksi sejelas-jelasnya, yang harus disertai demonstrasi, terkait prosedur pemeriksaan, yaitu:
- Tunjukkan cara memakai mouthpiece dan noseclip
- Tunjukkan postur yang baik pada pasien dengan kepala sedikit dielevasi
- Lakukan inspirasi hingga terasa sangat penuh
- Ekspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat kosong
- Inspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat penuh[1]
Manuver Prosedur Spirometri
Manuver pemeriksaan spirometri meliputi:
- Pasien memposisikan diri dengan postur yang tepat
- Pasang nose clip dan mouthpiece, dan tutup bibir dengan rapat di sekitar mouthpiece
- Bernapas secara normal
- Lakukan inspirasi secara komplit dan cepat dengan perhentian <2 detik pada total lung capacity (TLC)
- Ekspirasi dengan usaha maksimal hingga tidak ada lagi udara bisa dikeluarkan sambil tetap berada di postur yang tegap
- Inspirasi dengan usaha maksimal hingga terasa sangat penuh[1]
Inspirasi Maksimal
Pasien harus diberitahu bahwa inspirasi maksimal akan menyebabkan rasa tidak nyaman. Cara mengetahui bahwa pasien telah melakukan inspirasi maksimal adalah respon mengangkat alis atau jarak kedua mata seperti “melebar” dan terkadang kepala dapat sedikit bergetar. Apabila pasien terlihat nyaman, maka kemungkinan besar pasien tersebut belum melakukan inspirasi maksimal. Dalam hal ini, operator berperan memberikan dorongan kepada pasien.[1]
Ekspirasi Maksimal
Pada saat inflasi maksimal, pasien harus diminta untuk membuang udara inspirasi dengan kencang, bukan hanya dengan “ditiup”. Untuk memastikan bahwa pasien sudah melakukan usaha maksimal, operator harus mengobservasi pasien dan display pada komputer. Sistem pada spirometri harus memberikan signal apabila pasien sudah mencapai plateau atau forced expiratory time (FET) sudah mencapai 15 detik.[1,10]
Inspirasi Maksimal Setelah Paksaan Ekspirasi
Saat menyelesaikan ekspirasi paksa, pasien harus tetap mempertahankan mouthpiece, dan operator harus mendorong untuk mulai melakukan inspirasi total sampai paru terasa penuh dengan udara. Hal ini dilakukan untuk mengukur inspiratory vital capacity (IVC).[1,2,16]
Vital Capacity (VC)
Untuk mengukur vital capacity (VC), pasien menarik napas dalam sebanyak mungkin secara perlahan, dan kemudian dihembuskan dengan tenang selama mungkin sampai dirasakan tidak ada udara yang tertinggal. Nose clip dibutuhkan untuk VC, karena udara dapat “bocor” keluar karena aliran yang rendah.[2]
Pada pengukuran VC, udara inspirasi dapat diinhalasi secara perlahan (Slow Inspiratory Vital Capacity/SIVC). Metode ini lebih dianjurkan untuk mengukur VC, terutama pada penyakit paru obstruktif.[16]
Spirometri Pada Pasien Yang Menggunakan Bronkodilator
Pertama, dilakukan spirometri prebronkodilator untuk mengetahui FEV1 dan FVC yang dapat dicapai tanpa pemberian bronkodilator. Kemudian bronkodilator diberikan sesuai dengan jenis dan dosis yang telah dianjurkan. Post bronkodilator dilakukan ≥3 kali tes dengan nilai FEV1 dan FVC yang memenuhi kriteria.[1]
Dari seluruh nilai FEV1 dan FVC yang didapatkan, diambil nilai yang terbesar pada pre dan post bronkodilator. Kemudian rasio FEV1/FVC dihitung dengan angka tersebut.
Tes Reversibilitas
Tes reversibilitas biasanya dilakukan pada saat melakukan diagnosis asthma. Spirometri dilakukan setelah bronkodilator diberikan (15-30 menit sebelum dilakukan tes). Perbaikan fungsi paru didefinisikan dengan minimal perbaikan FEV1 12% dari baseline dan 200 ml. Apabila terdapat peningkatan ≥ 400 ml pada FEV1 post bronkodilator, sangat sugestif asthma. Tapi apabila peningkatan FEV1 tidak mencapai angka ini, maka belum tentu diagnosis asthma dapat dieksklusi.[2]
Follow Up
Follow up pada pemeriksaan spirometri dilakukan tergantung dari interpretasi hasil spirometri. Apabila hasil spirometri normal, maka follow up dilakukan berdasarkan faktor risiko pasien. Apabila diperlukan, pasien dapat dirujuk ke dokter spesialis berdasarkan dugaan diagnosis yang didapatkan.
Pasien harus diinformasikan mengenai interpretasi hasil spirometri dan apakah hal tersebut normal atau tidak. Apabila tidak, maka pasien harus dijelaskan dan diberikan terapi awal sesuai dengan kompetensi dokter.[1]