Pendahuluan Facelift
Facelift atau rhytidectomy merupakan prosedur medis yang bertujuan melawan efek penuaan wajah. Facelift menempati urutan ketujuh prosedur bedah kosmetik tersering dilakukan pada pasien di atas 65 tahun. Menurut data statistik Aesthetic Society’s National Data Bank tahun 2019, terdapat peningkatan prosedur facelift sebanyak lebih dari 6% dibandingkan tahun 2015.[1-3]
Telah banyak pilihan modalitas terapi untuk mengatasi tanda penuaan kulit, seperti terapi oksigen hiperbarik dan penggunaan filler asam hyaluronat. Dalam melakukan rejuvenasi, banyak faktor yang mempengaruhi pemilihan teknik terbaik bagi pasien. Ini mencakup anatomi kerangka wajah, tingkat keparahan perubahan terkait penuaan, status sosial ekonomi pasien, dan struktur kulit.
Secara garis besar, facelift merupakan prosedur rejuvenasi wajah yang umumnya dilakukan dengan pembedahan lapisan subkutan dan penjahitan yang mampu meregangkan kulit dan membuat pasien terlihat lebih muda.[2,3]
Dokter yang melakukan prosedur facelift, harus mengetahui mengenai anatomi facelift. Ini mencakup kulit, pleksus dermal yang bertanggung jawab atas suplai darah flap kulit, lapisan subkutan, superficial musculoaponeurotic system (SMAS), serta ligamen dan persarafan. Pengetahuan yang baik mengenai anatomi dapat mencegah komplikasi, seperti diseksi pada nervus aurikularis atau vena jugular eksternal.[1-3]
Sebelum melakukan tindakan facelift, dokter perlu mengevaluasi kondisi mental pasien dan menyamakan persepsi. Pasien dengan gangguan kepribadian atau ekspektasi berlebihan, cenderung sulit puas dengan hasil prosedur dan akan mempermasalahkan defek-defek minor atau meminta tindakan berulang yang tidak diperlukan secara medis. Oleh karena itu, seleksi dan edukasi pasien sangat penting dalam prosedur facelift.[2]