Belum ada penelitian yang menilai kapan waktu yang tepat untuk menghentikan obat antihipertensi pada pasien pascastroke. Pasien stroke akut sering dijumpai dengan tekanan darah yang tinggi sehingga membutuhkan pemberian antihipertensi.
Sekitar 50% pasien yang datang dengan stroke akut sudah mengonsumsi antihipertensi oral sebelumnya, baik sebagai obat untuk mengontrol tekanan darah atau sebagai terapi penyakit lain, seperti penyakit jantung iskemik, gagal jantung, dan fibrilasi atrium.
Peningkatan tekanan darah yang signifikan umum dijumpai pada pasien stroke akut yakni stroke dengan onset <48 jam. Peningkatan tekanan darah dapat terjadi pada pasien yang memang menderita hipertensi atau yang sebelumnya memiliki tekanan darah yang normal.
Peningkatan tekanan darah pada stroke akut disebabkan karena peningkatan aktivitas saraf simpatis, respon terhadap iskemia serebral, peningkatan tekanan intrakranial, gangguan sensitivitas baroreseptor, serta gangguan regulasi autonom. Tekanan darah yang tinggi pada pasien stroke akut berhubungan dengan prognosis pasien yang lebih buruk.[1-4]
Pada fase akut stroke, tidak jarang kita jumpai penurunan tekanan darah secara spontan tanpa pemberian antihipertensi apapun dapat terjadi dalam 24 jam pertama. Penurunan tekanan darah secara spontan pada stroke akut umum ditemukan di hari ke-4 sampai hari ke-10 setelah serangan stroke. Oleh karena itu, tidak jarang timbul pertanyaan apakah antihipertensi oral pasien perlu dilanjutkan pada fase akut stroke sekalipun seiring perjalanan penyakit tekanan darah biasanya turun secara spontan.
Saat serangan stroke, pasien pun sering mengalami penurunan kesadaran dan disfagia yang mempersulit pemberian obat per oral, sehingga menimbulkan keraguan untuk melanjutkan terapi antihipertensi milik pasien.[1,5]
Dokter perlu mengetahui manfaat melanjutkan antihipertensi dan memberhentikan antihipertensi pada pasien stroke akut, serta bagaimana kondisi pasien dan waktu yang tepat untuk melakukannya.
Pengaturan Tekanan Darah pada Pasien Stroke Akut
Pengaturan tekanan darah pada pasien stroke akut bersifat dilematik sebab tekanan darah yang terlalu rendah dapat menurunkan tekanan perfusi ke jaringan otak sehingga memperluas infark jaringan atau iskemia perihematoma.
Di sisi lain, tekanan darah yang dibiarkan tinggi dapat menimbulkan edema serebral dan risiko perdarahan yang meningkat yang menyebabkan perluasan hematoma. Baik tekanan darah yang tinggi atau tekanan darah yang terlalu rendah, keduanya dapat memperburuk prognosis pasien stroke akut.[2,6]
Berdasarkan guideline AHA 2013 belum ada penentuan tekanan darah ideal dalam manajemen stroke iskemik akut. Guideline yang tersedia saat ini menyarankan manajemen aktif untuk menurunkan tekanan darah apabila tekanan darah pasien stroke akut melebihi 220 mmHg (sistol) atau 120 mmHg (diastol).
Mean arterial pressure (MAP) yang masih berada di antara 50-150 mmHg menandakan autoregulasi serebral yang memadai. Peningkatan tekanan darah >220/120 mmHg meningkatkan MAP >150 mmHg yang berkaitan dengan sindrom hiperperfusi atau transformasi hemoragik pada jaringan iskemik otak pasien stroke.[6,7]
Kriteria Pasien yang Memerlukan Pengaturan Tekanan Darah
Pasien yang tidak memenuhi kriteria terapi trombolitik dengan tissue Plasminogen Activator (tPA) dan memiliki tekanan darah <220 mmHg (sistol) dan <120 mmHg (diastol), serta tidak menunjukkan tanda kerusakan organ target (hipertensi ensefalopati, edema pulmo, atau diseksi aorta) tidak memerlukan manajemen aktif untuk menurunkan tekanan darah. Tekanan darah terus dipantau dan penatalaksanaan diutamakan pada komplikasi stroke seperti peningkatan tekanan intrakranial atau kejang.[6,7]
Bila pasien memenuhi indikasi dan direncanakan untuk tindakan trombolitik tPA intravena, tekanan darah pasien perlu diturunkan hingga <185 mmHg (sistol) dan <110 mmHg (diastol) sebelum tindakan. Tekanan darah di bawah 185/105 mmHg tersebut dipertahankan selama 24 jam pasca tindakan untuk mengurangi risiko perdarahan intraserebral. Pasien yang akan mendapatkan terapi rekanalisasi intra-arteri perlu diturunkan tekanan darahnya hingga <180/105 mmHg.[6,8]
Pada pasien stroke iskemik yang akan dilakukan tindakan trombektomi endovaskular, penurunan tekanan darah selama tindakan berlangsung berkaitan dengan hasil terapi yang lebih buruk. Oleh karena itu tekanan darah diturunkan sebaiknya pasca tindakan reperfusi berhasil, dengan batas penurunan hingga menjadi 120-140 mmHg (sistol).[7]
Pada kasus stroke hemoragik, penurunan tekanan darah secara agresif lebih dapat ditoleransi dengan risiko perburukan gejala neurologis yang lebih rendah. Beberapa studi menunjukkan bahwa penurunan tekanan darah sudah cukup jika sudah mencapai tekanan sistolik 140 mmHg. Penurunan tekanan darah di bawah itu tidak memberikan manfaat, melainkan dapat meningkatkan risiko komplikasi gangguan ginjal bila tekanan darah terlalu rendah.[7]
Tabel 1. Manajemen Tekanan Darah pada Stroke Akut
Jenis Stroke | Manajemen Tekanan Darah |
Stroke iskemik | Turunkan tekanan darah hingga sistol <185 mmHg dan diastol <110 mmHg sebelum tindakan terapi trombolitik tPA IV. Tekanan darah harus dipertahankan <180/105 mmHg selama 24 jam pertama pasca tindakan. |
Turunkan tekanan darah hingga sistol ≤185 mmHg dan diastol ≤110 mmHg sebelum terapi intra arterial | |
Jika pasien tidak direncanakan terapi trombolitik, pemberian antihipertensi untuk tujuan menurunkan tekanan darah dapat dilakukan apabila tekanan darah sistol >220 mmHg atau diastol >120 mmHg atau jika ada indikasi lain. Penurunan tekanan darah ±15% (sistol dan diastol) dalam 24 jam pertama serangan stroke. | |
Stroke hemoragik | Turunkan tekanan darah secara agresif apabila tekanan sistol >220 mmHg dengan antihipertensi intravena dan pengamatan tekanan darah berkala. |
Jika tekanan darah sistol 150–220 mmHg penurunan tekanan darah hingga 140 mmHg dinyatakan aman | |
Stroke akut dengan ancaman gangguan organ target | Target penurunan tekanan darah 15–35% hingga tekanan darah 160/90 mmHg dalam 6 jam pertama pasca serangan stroke. |
Sumber: dr. Saphira, 2020 [9,10]
Alasan Menghentikan Antihipertensi pada Fase Akut Stroke
Salah satu alasan menghentikan antihipertensi pada fase akut stroke adalah karena pasien mengalami penurunan kesadaran dan gangguan asupan oral akibat disfagia. Kondisi tersebut berkaitan dengan peningkatan kejadian pneumonia aspirasi apabila dilakukan pemberian obat antihipertensi per oral.
Penggunaan beberapa antihipertensi golongan tertentu seperti misalnya angiotensin receptor antagonist, calcium channel blocker, dan nitric oxide memiliki efek neuroprotektif pada stroke akut. Namun, beberapa jenis antihipertensi dalam fase akut dapat menyebabkan hipotensi dan penurunan cardiac output yang memperburuk keadaan hipoperfusi serebral karena disfungsi autoregulasi serebral.[11-13]
Hipertensi merupakan salah satu faktor risiko yang dapat dimodifikasi pada pasien stroke. Hipertensi pada pasien stroke berhubungan dengan prognosis jangka panjang yang lebih buruk yang ditandai dengan peningkatan kejadian stroke rekuren, disabilitas, dan kematian dini beberapa bulan setelah onset stroke. Berdasarkan hal ini secara teori melanjutkan pemberian antihipertensi seharusnya lebih menguntungkan untuk mencegah rebound peningkatan tekanan darah dan sebagai pencegahan sekunder stroke rekuren.[11]
Di sisi lain, penghentian antihipertensi sementara pada pasien stroke akut dapat memberikan manfaat, yakni meningkatkan aliran darah melalui pembuluh darah kolateral dan mengurangi risiko aspirasi karena pemberian obat oral. Pasien stroke akut juga sering mengalami kondisi hipovolemia akibat berkurangnya asupan per oral, sehingga pemberian antihipertensi pada kondisi tersebut akan memperburuk kondisi pasien.
Walaupun antihipertensi dibutuhkan dalam terapi jangka panjang pasca stroke sebagai profilaksis stroke rekuren, efektivitas melanjutkan antihipertensi pada fase akut stroke belum menunjukkan manfaat yang jelas. Studi-studi mengenai pemberian antihipertensi untuk mengendalikan tekanan darah pada pasien stroke akut menunjukkan hasil yang netral.[11,14]
Efek Menghentikan atau Melanjutkan Antihipertensi pada Pasien Stroke Akut
Ada dua studi acak terkontrol yang meneliti efek menghentikan atau melanjutkan antihipertensi sementara (>7 hari) pada pasien stroke akut.
The Continue or Stop Post-Stroke Antihypertensives Collaborative Study (COSSACS)
COSSACS merupakan studi yang mencakup 763 pasien stroke akut yang dibagi menjadi 2 kelompok, kelompok pertama dilanjutkan pengobatan antihipertensi milik pasien, sedangkan kelompok kedua antihipertensi pasien dihentikan selama 2 minggu.
Pada pengamatan setelah 2 minggu, tidak ada perbedaan signifikan pada outcome primer berupa angka kematian dan dependensi pasien (berdasarkan modified Rankin Scale) pada kedua kelompok tersebut.
Pada kelompok yang mendapatkan antihipertensi ditemukan tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang tidak mendapatkan antihipertensi (mean difference sistol 13 dan diastol 8 mmHg).
Pengamatan setelah 6 bulan pun menunjukkan tidak adanya perbedaan bermakna pada angka mortalitas, gangguan kardiovaskular dan komplikasi berat antara 2 kelompok tersebut.[1]
Studi Efficacy of Nitric Oxide in Stroke (ENOS)
Studi ini dilakukan terhadap 4011 pasien pasien dengan riwayat stroke akut dalam 48 jam terakhir dan tekanan darah sistol antara 140-220 mmHg, secara acak membagi menjadi 2 kelompok yang diberikan glyceryl trinitrate patch dan tidak diberikan.
Dari total pasien tersebut, ditemukan 2097 pasien yang sebelumnya sudah mengonsumsi obat antihipertensi, yang kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, sebagian diminta melanjutkan obat antihipertensi dan sebagian lagi diminta untuk menghentikan penggunaannya selama 7 hari.
Tidak ada perbedaan signifikan pada outcome primer yakni disabilitas (dependensi) pasien (dinilai dengan modified Rankin Scale) pada pengamatan hari ke-90 setelah randomisasi (melanjutkan vs menghentikan antihipertensi). Penurunan tekanan darah ditemukan pada kedua kelompok tersebut, baik yang dilanjutkan atau dihentikan obat antihipertensinya.[15]
Outcome sekunder studi ENOS menunjukkan bahwa pada kelompok pasien yang dilanjutkan obat antihipertensinya, ditemukan peningkatan gangguan kognitif, disabilitas yang lebih buruk dan peningkatan risiko pneumonia pada pengamatan hari ke-90. Namun, penemuan tersebut tidak dapat dipastikan akibat efek antihipertensi yang diberikan atau akibat faktor lainnya.[15]
Studi Analisis Subgroup Efficacy of Nitric Oxide in Stroke (ENOS)
Sebuah studi mempelajari sebagian kelompok pasien dari studi ENOS sebelumnya. Dari antara 629 pasien sampel dengan stroke hemoragik dan tekanan darah sistol antara 140-220 mmHg, 246 pasien yang sudah mengonsumsi antihipertensi sebelumnya dibagi menjadi 2 kelompok.
Pada kelompok pertama pemberian antihipertensi dilanjutkan, pada kelompok kedua antihipertensi dihentikan sementara selama 7 hari. Outcome primer yang diamati adalah dependensi pasien berdasarkan modified Rankin Scale pada hari ke-90. Outcome sekunder adalah angka kematian, lama perawatan di rumah sakit, aktivitas sehari-hari, mood, kognitif, kualitas hidup pasien, dan komplikasi berat.[11]
Dari 246 pasien tersebut, kedua kelompok mengalami penurunan tekanan darah. Tekanan darah pada kelompok yang diberikan antihipertensi secara signifikan lebih rendah dibandingkan kelompok yang tidak diberikan antihipertensi (selisih 9,4/3,5 mmHg, P<0,01).
Perbedaan tekanan darah yang signifikan antara kedua kelompok tersebut mulai dapat diamati pada hari ke-5. Pada hari ke-90 tidak ada perbedaan signifikan dependensi pasien berdasarkan skor modified Rankin Scale maupun outcome sekunder pada kedua kelompok perlakuan.
Sehingga peneliti pada studi tersebut menyimpulkan bahwa pada pasien stroke hemoragik, melanjutkan antihipertensi pada fase akut stroke (selama 7 hari pertama) tidak menurunkan angka kematian atau mengurangi tingkat disabilitas pasien secara signifikan dibandingkan dengan menghentikan sementara pengobatan antihipertensi pasien.[11]
Studi Metaanalisis American Heart Association (AHA) terhadap Hasil Studi COSSACS dan ENOS
American Heart Association (AHA) melakukan studi meta analisis terhadap hasil studi COSSACS dan ENOS di atas dan didapatkan hasil tidak adanya hubungan yang signifikan antara pemberian antihipertensi yang dilanjutkan dengan risiko kematian atau dependensi saat follow-up dibandingkan dengan penghentian antihipertensi pada fase akut stroke.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa melanjutkan pengobatan antihipertensi tidak memberikan manfaat yang signifikan pada perawatan stroke akut. Antihipertensi tidak perlu diberikan segera atau terburu-buru, terutama beberapa jam atau hari setelah serangan stroke kecuali memang ada indikasi pemberian antihipertensi untuk penyakit komorbid pasien.[14]
Studi yang sama juga melaporkan adanya penurunan tekanan darah yang signifikan pada pasien yang melanjutkan antihipertensi dibandingkan pasien yang obat antihipertensinya dihentikan selama 1 minggu.
Di hari pengamatan ke-7 perbedaan tekanan sistol 9,4 mmHg dan diastol 5,1 mmHg lebih rendah pada kelompok yang mendapatkan obat antihipertensi. Namun, analisis terhadap efek jangka pendek dan panjang dari tindakan melanjutkan dibandingkan menghentikan obat antihipertensi tidak menunjukkan perbedaan yang bermakna terhadap dependensi pasien atau angka kematian.
Analisis statistik dilakukan pada pasien dengan onset stroke <12 jam (baik stroke iskemik maupun hemoragik), pemberian antihipertensi pada periode tersebut berhubungan dengan peningkatan risiko hasil terapi yang lebih buruk secara signifikan (skor modified Rankin Scale lebih buruk) dibandingkan jika pemberian antihipertensi dihentikan.[14]
Peneliti dari studi meta analisis AHA tersebut mengungkapkan bahwa masih dibutuhkan studi serupa dengan sampel yang lebih besar, yakni >10.000 pasien untuk dapat meyakinkan perbedaan efek antara melanjutkan dan menghentikan obat antihipertensi pada pasien stroke akut.
Dua studi yang ada baik COSSACS dan ENOS terbatas pada penggunaan antihipertensi yang sudah pasien konsumsi sebelumnya dan tidak mempelajari efek pemberian antihipertensi baru.[14]
Kesimpulan
Manajemen aktif tekanan darah dengan antihipertensi pada stroke akut perlu dilakukan secara hati-hati, sebab tekanan darah yang terlalu rendah akan meningkatkan risiko perburukan pasien akibat gangguan perfusi ke otak.
Antihipertensi jangka panjang bermanfaat sebagai pencegahan risiko stroke rekuren. Namun, keputusan untuk melanjutkan antihipertensi atau memberhentikannya pada fase akut stroke masih belum jelas manfaatnya.
Berdasarkan berbagai studi, melanjutkan pemberian antihipertensi pada fase akut stroke memberikan hasil yang netral terhadap angka kematian dan dependensi pasien stroke dibandingkan dengan menghentikan pemberian antihipertensi untuk sementara waktu.
Jika tekanan darah pasien <220/120 mmHg dan tidak ada tanda gangguan organ target, tidak ada alasan dan manfaat untuk terburu-buru memulai terapi antihipertensi oral, terutama pada pasien dengan penurunan kesadaran atau disfagia. Jika dipaksakan untuk diberikan dapat meningkatkan risiko pneumonia aspirasi.
Antihipertensi oral dapat diberikan ketika kondisi pasien lebih stabil dan pemberian obat secara oral memungkinkan. Namun, jika serangan stroke bersifat ringan, pasien sadar penuh, tidak ada disfagia, antihipertensi oral milik pasien dapat dilanjutkan paling tidak 24 jam setelah serangan stroke.
Perlu diingat juga untuk memberikan antihipertensi di kemudian hari pada pasien pasca stroke sebagai pencegahan sekunder, sebab terkadang penghentian antihipertensi di fase akut stroke membuat obat ini kemudian tidak dilanjutkan sama sekali dan lupa diberikan saat kontrol, karena kebanyakan tekanan darah pasien akan menurun tanpa pengobatan apapun pada fase akut.[11,13,16]
Direvisi oleh: dr. Dizi Bellari Putri