Vaksin dengue merupakan salah satu upaya preventif infeksi dengue, tetapi pengembangannya masih terhalang berbagai kendala. Demam dengue merupakan penyakit infeksi virus vector-bourne terbanyak, baik di negara tropis maupun subtropis.[1]
Pada tahun 2019, Kementerian Kesehatan Indonesia menyatakan terdapat 137.760 kasus demam dengue, angka ini diperkirakan meningkat 2 kali lipat dibanding tahun 2018. Demam dengue merupakan penyakit endemik di lebih dari 100 negara. Pada Asia Tenggara, Indonesia, Myanmar, dan Thailand merupakan negara-negara dengan kasus dengue tertinggi. Lebih dari 50% kasus dengue berasal dari 3 negara ini.[2,3]
Mortalitas infeksi dengue diperkirakan 1 per 6.000 kasus. Selama ini, pencegahan infeksi dengue hanya dilakukan dengan pengendalian vektor, mengingat belum ditemukannya terapi spesifik untuk penyakit tersebut.[4–8]
Namun, pengendalian vektor nyamuk belum menunjukkan keberhasilan yang konsisten dalam mencegah infeksi virus dengue dan attack rate, sehingga kebutuhan akan vaksin dalam pencegahan infeksi dengue sangat diperlukan. Menurut World Health Organization (WHO), vaksin dengue yang ideal adalah vaksin yang dapat melindungi dari keempat serotipe virus dengue, diberikan dalam dosis tunggal, dan memberikan imunitas jangka panjang tanpa menimbulkan efek samping serius.[4-8]
Struktur Virus Dengue
Dengue merupakan penyakit infeksi virus yang disebarkan oleh vektor nyamuk dan memiliki 4 jenis serotype, yaitu DENV 1, 2, 3, 4. Genome dengue merupakan struktur RNA positive-sense yang mengkode tiga protein struktural dan tujuh protein nonstruktural.
Ketiga protein struktural tersebut adalah kapsid (C), membran (prM), serta envelope(E). NS-1 merupakan jenis protein nonstruktural yang cukup penting perannya dalam menentukan kemampuan proteksi vaksin dengue.[5,7]
Jenis Vaksin Dengue yang Tersedia
Terdapat 5 teknologi vaksin dengue yang saat ini telah digunakan, atau masih berada dalam uji klinis. Berbagai jenis vaksin dengue dan fase uji klinisnya dapat dilihat pada tabel 1.[9]
Tabel 1. Jenis Vaksin Dengue Yang Telah Digunakan Atau Masih Dalam Uji Klinis
Jenis Vaksin | Nama Vaksin | Fase Uji Klinis |
Live attenuated vaccine | CYD-TDV | Evaluasi post-marketing dan lisensi |
TV003/TV005 | Fase III | |
TAK003 (DENVax) | Fase III | |
Inactivated Virus | PIV | Fase I |
Subunit Vaccine | V180 | Fase I |
DNA Vaccine | D1ME100 | Fase I |
TVDV | Fase I | |
Heterolog prime/boost | TLAV Prime/PIV boost atau sebaliknya | Fase I |
Sumber: dr. Qorry Amanda, Alomedika. 2022
Satu-satunya jenis vaksin dengue yang telah merambah ke uji klinis fase 3 hanyalah jenis vaksin live attenuated vaccine. Terdapat tiga vaksin dengue yang sama-sama berasal dari live attenuated vaccine, tetapi memiliki perbedaan pada struktur backbone vaksin.
Vaksin dengue yang pertama dilegalkan untuk digunakan adalah CYD-TDV dan tidak mengandung protein non-struktural dari dengue. Vaksin TAK-003 mengandung backbone dari virus dengue tipe 2 (DENV-2), sementara vaksin Butantan/Merck mengandung tiga jenis genome penuh dari keempat serotipe virus dengue.[9,10]
Vaksin CYD-TDV (Dengvaxia)
Vaksin CYD-TDV memiliki struktur backbone dari virus yellow-fever dan diberi nama Dengvaxia. Vaksin CYD-TDV dilaporkan mampu menghasilkan antibodi terhadap dengue yang bertahan hingga 48 bulan setelah injeksi vaksin. Efek samping tersering CYD-TDV, antara lain nyeri lokal di lokasi penyuntikan, nyeri kepala, malaise, serta demam ringan.[10,11]
Data penelitian menunjukkan adanya manfaat serta proteksi nyata yang diberikan oleh CYD-TDV. Namun, surveilans di lapangan menunjukkan terdapat peningkatan risiko infeksi dengue derajat berat dalam 30 bulan sejak injeksi vaksin pada subjek yang seronegatif, atau belum pernah terpapar dengue, pada saat dilakukan vaksinasi.[10,11]
Pada individu seronegatif, CYD-TDV diperkirakan menyebabkan fenomena antibody dependent enhancement (ADE) pada proses imunopatologi. Tidak didapatinya protein non-struktural NS pada CYD-TDV juga mungkin menyebabkan menurunnya kemampuan proteksi vaksin terhadap infeksi dengue derajat berat.[7,10,11]
Penelitian lain melaporkan bahwa vaksin CYD-TDV memberikan proteksi imunitas selama 4 tahun, tetapi risiko rawat inap akibat dengue di tahun ke-3 justru lebih tinggi pada penerima vaksin, dibanding penerima plasebo. Hal ini mungkin disebabkan karena tidak adanya neutralizing antibodies dan respon sel T CD8 terhadap protein NS yang akhirnya menurunkan proteksi dan durabilitas vaksin.[7,10,11]
Proteksi vaksin CYD-TDV terhadap DENV-2 dilaporkan lebih rendah dibandingkan dengan serotipe lainnya. Penerima vaksin CYD-TDV yang seronegatif dan berusia <9 tahun mengalami peningkatan risiko rawat inap akibat infeksi dengue berat, dibandingkan mereka yang tidak menerima vaksin.[1,4,10,11]
Rekomendasi WHO bagi negara-negara yang menggunakan CYD-TDV adalah vaksinasi dilakukan setelah pemeriksaan skrining serologi menunjukkan calon penerima vaksin termasuk ke dalam seropositif dan berusia 9–45 tahun. Food and Drug Administration (FDA) juga menyarankan pemberian vaksin ini pada pasien seropositif, tetapi dengan rentang usia 9–16 tahun, serta tinggal di area endemik infeksi dengue.[1,4,10,11]
Vaksin TAK-003 (DENVax)
Vaksin TAK-003 merupakan salah satu vaksin yang dikembangkan oleh National Institute of Health (NIH) di Amerika Serikat sebagai respon dari kekhawatiran penggunaan CYD-TDV. Vaksin TAK-003 (DENVax) merupakan vaksin tetravalen yang mengandung struktur backbone berupa DENV-2 serta gen prM dan E dari DENV-1, DENV-3, dan DENV-4.[1,4]
TAK-003 diharapkan lebih efektif dalam proteksi infeksi dengue dibandingkan CYD-TDV, karena memiliki protein non struktural DENV-2 sebagai backbone. TAK-003 juga memiliki protein NS pada strukturnya. Vaksin ini sering memberikan efek samping utama berupa kemerahan ringan pada kulit.[1,4,10]
Uji klinis fase 2 memberikan hasil efikasi sebesar 76,1% individu yang seropositif, dan 66,2% individu yang seronegatif. Vaksin ini juga dapat mencegah rawat inap akibat infeksi virus dengue hingga 90,4%, dan rawat inap akibat demam berdarah dengue sebanyak 85,9%.[6,10]
Uji klinis fase 3 melaporkan efikasi terhadap DENV-1 sebesar 73,7%, DENV-2 sebesar 97,7%, DENV-3 sebesar 62,6%, dan DENV-4 sebesar 63,2%. Secara keseluruhan, efikasi vaksin TAK-003 terhadap individu seronegatif adalah sebesar 95,4% sementara pada individu dero positif sebesar 94,4%. Dibandingkan CYD-TDV, TAK-003 lebih tidak bergantung pada serostatus individu.[6,10]
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun uji klinis fase 2 TAK-003 menunjukkan proteksi menyeluruh terhadap keempat serotype virus dengue, proteksi terhadap DENV-3 dan 4 merupakan yang paling rendah dan masih membutuhkan follow up lebih lanjut.[10,11]
Vaksin TV003/TV005
Vaksin TV-003/TV-005 dikembangkan oleh Butantan, Brazil. Data dua penelitian RCT menunjukkan bahwa baik TV-003 dan TV-005 memberikan profil keamanan, imunogenesitas, dan toleransi yang baik.
TV-003/TV-005 mengandung backbone lengkap dari tiga serotipe virus dengue, yakni DENV-1, DENV-3, dan DENV-4. Vaksin TV-003/TV-005 memberikan respon serokonversi diatas 78% terhadap keempat serotype virus dengue. Vaksin ini dilaporkan sering memberikan efek samping lokal dan sistemik yang ringan dan sementara.[1,10]
Kendala Pengembangan Vaksin Dengue
Pengembangan vaksin dengue terkendala akibat berbagai masalah. Beberapa masalah yang paling sering dijumpai, antara lain terjadinya antibody disease enhancement (AHE), subjek penelitian yang tidak ideal, belum tercapainya proteksi yang setara antara keempat serotipe virus dengue, serta pertimbangan untuk memasukkan komponen protein NS-1 ke dalam vaksin.
Antibody Disease Enhancement
Keempat serotipe dengue memang mirip, tetapi memiliki perbedaan yang khas pada genom. Hal ini membuat vaksin tetravalen, yaitu vaksin yang mengandung keempat serotipe dengue dalam satu produk, berisiko menyebabkan interaksi imunologi, disertai fenomena perburukan penyakit (disease enhancement).
Vaksin diharapkan dapat memberikan proteksi terhadap keempat serotipe virus dengue secara independen tanpa menyebabkan respon imun yang merugikan. Hal ini sangat sulit dicapai pada pengembangan vaksin dengue. ADE terjadi akibat antibodi yang telah ada sebelumnya terhadap salah satu dari keempat serotipe dengue berikatan dengan serotipe dengue yang lain, tanpa menetralisirnya.
Ikatan antibodi-antigen akan memfasilitasi masuknya virus melalui reseptor FC yang menyebabkan viremia. Ikatan kompleks DENV-immune tersebut juga menekan kapasitas antivirus alami yang dimiliki tubuh, seperti IL-12, TNF-a, IFN-γ, dan nitric oxide (NO), dan meningkatkan ekspresi sitokin proinflamasi, misalnya IL-6 dan IL-10. Akibatnya, produksi virus semakin meningkat.[10,12]
Subjek Penelitian Tidak Ideal
Kendala penelitian vaksin dengue juga disebabkan oleh subjek penelitian yang tidak sepenuhnya ideal, karena tidak menunjukkan respon imun yang sama ketika diberi paparan virus dengue. Model hewan coba yang digunakan pada penelitian vaksin dengue lebih sering berupa tikus dan mencit.
Kedua jenis hewan tersebut memiliki defisiensi reseptor IFN- α/β dan IFN- γ, sehingga resisten terhadap infeksi DENV secara natural. Kendala ini dapat diatasi dengan memasukkan sel progenitor hematopoietik manusia pada tikus, seperti pada tikus strain NOD/scid/IL2Rγnull (NSG) atau BALB/c-Rag2nullIL2rγnull(BRG).
Tikus strain tersebut membawa sel imun manusia dalam tubuhnya, dan dapat menjadi target infeksi virus dengue, sehingga timbul respon infeksi yang hampir sama dengan manusia. Namun, tikus yang telah dimodifikasi mungkin memiliki sistem imun yang kurang sempurna dibandingkan manusia, sehingga perlu kehati-hatian dalam menerjemahkan hasil penelitian.[4,5,10]
Belum Tercapai Proteksi Setara Terhadap Keempat Serotipe Virus Dengue
Proteksi yang diberikan oleh vaksin tetravalen yang telah memasuki uji klinis III belum dapat mencapai kadar antibodi yang setara terhadap keempat serotype virus dengue. Untuk menanggulanginya, disarankan untuk menggunakan booster vaksin heterolog guna mendapatkan kemanfaatan dari vaksin yang berbeda.
Namun, vaksin heterolog memiliki keterbatasan terkait harga yang lebih mahal, dan dibutuhkannya logistik yang lebih mutakhir dalam pengemasan vaksin. Hal-hal tersebut mungkin mempersulit distribusi vaksin ke berbagai tempat di dunia. Saat ini sedang dilakukan uji klinis fase I pemberian vaksin dengue heterolog, yakni berupa vaksin tetravalen yang dikombinasikan dengan vaksin berteknologi purified formalin-inactivated virus (PIV).[4,10]
Pertimbangan Memasukkan Komponen Protein NS-1 dalam Vaksin
Meskipun protein NS-1 berpotensi menawarkan proteksi imun yang lebih baik, vaksin yang menggunakan komponen NS-1 juga berpotensi menimbulkan patologi, karena sifatnya yang mudah mengalami reaksi silang dengan protein permukaan sel platelet dan endotel. Hal tersebut menyebabkan fenomena perdarahan dan apoptosis sel yang terjadi pada demam berdarah dengue. Surveilans lengkap post-marketing perlu dilakukan pada vaksin dengan komponen tersebut.[5]
Teknologi Lain untuk Vaksin Dengue
Beberapa teknologi vaksin yang belum diaplikasikan pada vaksin dengue, di antaranya adalah nanopartikel, bacterial ghost (BG), gram-positive enhancer matrix (GEM), serta mRNA yang telah terbukti berhasil pada vaksinasi COVID-19.
Berdasarkan penelitian preklinik terbaru, vaksin DENV berbasis mRNA dapat mengekspresikan epitope sel T CD8+ dari protein NS yang dilaporkan memberi proteksi imunitas pada mencit HLA-transgenik. Diperkirakan, vaksin Dengue berbasis mRNA akan bermanfaat dan mengatasi berbagai kendala pengembangan dan implementasi vaksin dengue di masa mendatang.[6,13]
Kesimpulan
Masing-masing vaksin dengue yang telah tersedia saat ini memiliki berbagai kekurangan dan kelebihan. Vaksin CYD-TDV telah digunakan di banyak negara, tetapi efikasinya terhadap DENV-2 lebih rendah dibandingkan serotipe virus dengue lainnya. Selain itu, CYD-TDV efikasinya lebih rendah pada individu seronegatif dan anak di bawah 9 tahun.
Vaksin TAK-003 terlihat menjanjikan pada uji klinis fase 2 di daerah endemis, tetapi kadar antibodinya didapatkan lebih rendah pada DENV- 3 dan DENV-4 dibandingkan DENV-1 dan DENV-2. Vaksin TV003/TV005 terbukti memiliki imunogenisitas yang tinggi, tetapi efektivitasnya pada daerah endemik masih terus diteliti dalam uji klinis.
Kendala dalam pengembangan vaksin dengue terutama berkaitan dengan tidak adanya model hewan yang sesuai, serta status imun individu yang berbeda-beda, terutama di daerah endemik. Selain itu, adanya antibody disease enhancement (ADE), serta belum tercapainya proteksi yang setara antara keempat serotipe dengue juga menjadi penyulit dalam penelitian vaksin dengue.
Meskipun masih terdapat banyak kendala, penelitian mengenai vaksin dengue yang sedang dilakukan saat ini tampak cukup menjanjikan. Penemuan vaksin yang aman, efektif, dan dapat diakses di berbagai tempat di dunia dibutuhkan sebagai upaya pengendalian infeksi dengue.
Penulisan pertama oleh: dr. Eduward Jansen Thendiono, Sp.PD