Menjelaskan risiko terapi kepada pasien adalah salah satu kemampuan komunikasi efektif yang harus dimiliki oleh seorang dokter. Risiko terapi adalah kondisi yang mungkin terjadi dan memberikan dampak kepada pasien. Sering kali, risiko terapi ini sulit dijelaskan, terutama jika yang akan dilakukan adalah terapi yang sulit atau jika kondisi penyakit penyerta pada pasien dapat mempersulit keberhasilan terapi.
Meskipun sulit, risiko yang ada harus tetap dikomunikasikan kepada pasien dan keluarga. Hal ini karena akan menjadi elemen penting dalam informed consent dari pasien, serta penting saat pengambilan keputusan bersama (shared decision making).[1-5]
Survei pada 21.000 responden dokter menunjukkan bahwa hanya 13% dokter yang akan menjelaskan risiko terapi kepada pasien. Selain itu, 16% dokter yang mungkin menjelaskan risiko terapi kepada pasien jika prosedur atau terapi yang akan diberikan dapat menolong pasiennya.
Berdasarkan hasil survei di atas, mayoritas dokter memilih untuk mengesampingkan penjelasan risiko terapi untuk mencegah perdebatan atau kebingungan pasien. Namun, hal ini secara etika kedokteran akan mengurangi hak autonomi pasien. Dengan demikian, setiap dokter sebaiknya tetap menjelaskan risiko yang mungkin terjadi akibat pilihan terapi yang akan dilakukan, dan membiarkan pasien yang menentukan keputusan.[1]
Aspek yang Perlu Diperhatikan saat Menjelaskan Risiko Terapi kepada Pasien
Isi dari penjelasan risiko terapi kepada pasien sama pentingnya dengan pilihan kata, intonasi, dan bahasa nonverbal yang digunakan. Dalam berkomunikasi, studi yang ada menunjukkan bahwa pilihan kata hanya bernilai 7%, bahasa nonverbal bernilai sedangkan 55%, sedangkan intonasi bernilai 38%.[1]
Intonasi dan Bahasa Nonverbal
Seorang dokter harus memperhatikan bahasa nonverbal dan intonasi yang digunakan selama menyampaikan informasi. Sebaiknya dalam menjelaskan, gunakan intonasi yang lembut, menenangkan, dan disertai empati kepada pasien. Studi menunjukkan bahwa dokter yang menjelaskan dengan intonasi keras dan mendominasi memiliki laporan kasus malpraktik yang lebih tinggi dibandingkan dengan yang sebaliknya.[1]
Kontak Mata dan Respons saat Berdiskusi
Selain hal di atas, poin lain yang perlu diperhatikan adalah saat berdiskusi, sebaiknya dokter tetap menjaga kontak mata dengan pasien, dan merespons dengan empati setiap reaksi yang pasien berikan.
Beberapa kalimat yang menenangkan pasien seperti “Saya mengerti hal ini sulit” atau “Saya paham jika Anda takut” dapat membantu meningkatkan kepercayaan dan kenyamanan pasien selama diskusi dilakukan. Usahakan ketika pasien selesai berdiskusi dengan dokter, pasien dapat pulang dengan perasaan yang lebih ringan dan mengerti atas apa yang akan dihadapinya.
Aspek Lain saat Menjelaskan Risiko
Hal lain yang perlu dilakukan ketika menjelaskan risiko adalah:
- Libatkan pasien sepenuhnya
- Apabila pasien berkenan, minta pasien untuk didampingi oleh seseorang yang dipercaya
- Berikan informasi terbaru dan benar, serta sesuai dengan kondisi pasien
- Jelaskan dengan terbuka dan jujur
- Berbicara dengan kalimat yang jelas
- Berikan kesempatan pasien untuk bertanya
- Berikan waktu kepada pasien untuk memahami setiap penjelasan dan menentukan pilihan[1,4,5]
Menggali Pemahaman Pasien
Seorang dokter harus menggali pemahaman yang telah dimiliki pasien akan penyakit atau terapi/tindakan yang akan dilakukan. Proses menggali pemahaman ini harus dilakukan sebelum dan setelah menjelaskan risiko terapi kepada pasien.
Dengan mengetahui pemahaman pasien sebelum menjelaskan risiko terapi, dokter dapat menjelaskan dengan lebih baik dan meluruskan pemahaman yang salah. Hal ini bertujuan agar pasien dapat mengambil keputusan dengan pengertian yang benar dan menghindari miskomunikasi.
Pemahaman pasien juga harus digali ulang setelah penjelasan risiko terapi, atau setelah memberikan penjelasan mengenai risiko dengan tingkat keparahan yang tinggi. Dokter dapat mengevaluasi ulang apakah penjelasan risiko terapi yang diberikan dapat dipahami pasien dengan baik. Jelaskan ulang bagian yang kurang dipahami oleh pasien sehingga informasi dapat diterima seluruhnya oleh pasien.[1,2,4,5]
Menggali Harapan atau Keinginan Pasien
Dokter juga sebaiknya menanyakan mengenai harapan atau keinginan pasien setelah terapi/tindakan yang akan dilakukan. Hal ini agar dokter dapat memahami keinginan pasien yang sebenarnya dan menjelaskan akan hasil yang lebih realistis, apabila harapan yang pasien miliki ternyata lebih tinggi. Tentu saja dalam menjelaskan risiko, seorang dokter harus mampu menciptakan kondisi yang membuat pasien merasa lebih tenang dan nyaman.[1,4,5]
Hak Otonomi Pasien
Dalam menjelaskan risiko suatu tindakan/terapi, seorang dokter bukan hanya terikat oleh kode etik kedokteran melainkan juga hak otonomi yang dimiliki pasien. Untuk memastikan hak otonomi pasien terjaga, penjelasan harus dilakukan secara lengkap terkait tindakan/terapi, yaitu keuntungan, risiko komplikasi, dan alternatif tindakan/terapi.
Sebaiknya, alternatif yang tidak tersedia di Indonesia juga tetap dijelaskan. Dengan penjelasan yang lengkap, ketika pasien menandatangani informed consent pada akhirnya, mereka mengerti atas apa yang mereka setujui.
Pada dasarnya, terapi/tindakan yang bersifat rutin, seperti pemberian obat injeksi atau pemberian obat antihipertensi pada pasien hipertensi, tidak memerlukan informed consent secara tertulis. Walau demikian, penjelasan mengenai tindakan dan risikonya tetap harus diberikan dengan lengkap secara verbal.[1,4,5]
Prioritas Risiko Berdasarkan Tingkat Keparahan dan Tingkat Frekuensi Risiko
Tidak semua risiko terapi harus dijelaskan secara mendalam. Dokter harus fokus kepada risiko terapi yang secara potensial dapat membahayakan atau berdampak berat terhadap pasien. Cara mempertimbangkan tingkat keparahan dan tingkat frekuensi risiko tindakan/terapi di antaranya:
- Berapa frekuensi kemungkinan terjadi risiko
- Bagaimana detection rate atau kemungkinan risiko terdeteksi dengan alat skrining
- Apakah keuntungan lebih tinggi daripada risiko terapi/tindakan/skrining
- Seberapa berat dampak yang ditimbulkan, apakah menimbulkan gangguan jangka pendek (temporer), jangka panjang (permanen), atau mengancam nyawa
- Seberapa yakin dokter dengan tindakan/terapi yang akan dilakukan
- Seberapa yakin dokter dengan tingkat pemahaman pasien yang diajak berdiskusi
- Bagaimana situasi dan kondisi yang sedang dihadapi[1,4]
Alat Bantu dan Cara untuk Menjelaskan Risiko Terapi kepada Pasien
Untuk menjelaskan risiko terapi kepada pasien, dokter sebaiknya menyiapkan alat bantu, seperti pamflet, video rekaman, hingga link atau website yang dapat pasien lihat. Di tengah era informasi digital, penting bagi dokter untuk bisa mengarahkan pasien ke situs kesehatan yang dapat dipercaya, untuk menghindari pasien mendapat informasi yang justru menyesatkan.[1,4,5]
Apabila kemudian pasien menolak atas terapi/tindakan yang akan dilakukan, maka dokter juga harus menjelaskan risiko dan kemungkinan yang mungkin terjadi apabila tindakan/terapi tersebut tidak dilakukan. Saat pasien setuju maupun menolak, harus ada dokumentasi yang tersimpan dalam rekam medis pasien beserta penjelasan yang telah dokter berikan.[1,4,5]
Berikut ini adalah 3 cara yang direkomendasikan dalam menjelaskan risiko terapi kepada pasiennya:
- Jelaskan dengan menggunakan bahasa awam
- Jelaskan informasi statistik menggunakan nilai risiko absolut (absolute risk)
- Sajikan informasi dalam bentuk grafik gambar bila ingin menjelaskan grafik[2,5]
Kesimpulan
Menjelaskan risiko dari tindakan/terapi akan memberikan keuntungan bagi pasien, yaitu mengerti akan risiko yang dihadapi. Selain itu, menjelaskan risiko juga akan menguntungkan dokter, yaitu terhindar dari jeratan tuntutan hukum. Kasus malpraktik biasanya terjadi akibat dokter tidak menjalankan pelayanan sesuai dengan standar, terutama dalam memberikan penjelasan.
Setiap penjelasan dan informed consent yang dilakukan sebaiknya tercatat dan tersimpan rapi dalam rekam medis pasien, sehingga dapat dipertanggungjawabkan di kemudian hari apabila terdapat kasus yang menjerat dokter.
Risiko yang akan dihadapi pasien bukanlah hal yang mudah untuk dijelaskan, terlebih jika pasien diharuskan untuk memilih akan alternatif terapi. Namun demikian, seorang dokter haruslah senantiasa belajar untuk menjalin komunikasi yang efektif terhadap pasien, dan menjamin hak otonomi pasien, serta memiliki empati dalam setiap pelayanan yang diberikan.
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini