Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Lithium
Lithium masuk dalam kategori D penggunaan pada kehamilan. Lithium juga dapat terekskresi ke dalam ASI sehingga tidak direkomendasikan penggunaannya pada ibu menyusui.[7]
Penggunaan pada Kehamilan
Menurut FDA, lithium masuk dalam kategori D. Artinya, ada bukti positif mengenai risiko terhadap janin manusia, tetapi besarnya manfaat yang diperoleh mungkin lebih besar dari risikonya, misalnya untuk mengatasi situasi yang mengancam jiwa.
Penggunaan lithium selama kehamilan dihubungkan dengan adanya malformasi kardiak, aritmia kardiak fetus dan neonatal, hipoglikemia, kelahiran prematur, dan sekuele neurokognitif dan perilaku. Adanya risiko defek mayor pada fetus dan risiko keguguran dilaporkan cukup tinggi, yaitu sekitar 2-4% dan 15-20%.[3,7]
Berdasarkan sebuah studi, didapatkan peningkatan risiko malformasi kardiak pada bayi dari ibu yang terpajan lithium sejak kehamilan trimester 1. Didapatkan prevalensi malformasi kardiak sebesar 2,41 per 100 kelahiran hidup. Semakin besar dosis yang dikonsumsi oleh ibu, semakin tinggi pula risiko kejadian malformasi kardiak pada bayi yang dilahirkan. Risiko kejadian malformasi kardiak meningkat hingga 3,22 kali lipat jika mengonsumsi obat lithium dengan dosis >900 mg per hari.[7]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Kadar lithium dapat ditemukan dalam ASI sekitar 40-45% dari kadar plasma maternal. Bayi yang terpajan lithium selama menyusui dapat memiliki kadar plasma sebesar 30-40% dari konsentrasi plasma maternal. Tanda dan gejala toksisitas lithium pada bayi dapat berupa hipertonia, hipotermia, dan sianosis. Pada ibu yang mengkonsumsi lithium, tidak direkomendasikan memberikan ASI kepada bayinya.[3,7]
Direvisi oleh: dr. Gabriela Widjaja