Penggunaan pada Kehamilan dan Ibu Menyusui Methadone
Penggunaan methadone atau metadon pada kehamilan masuk dalam kategori C, baik oleh FDA maupun TGA. Penggunaan obat ini pada ibu hamil masih lebih bermanfaat daripada tidak diberikan terapi dependensi opioid. Pada ibu menyusui, methadone diekskresikan melalui ASI sehingga perlu pengawasan bagi bayi.[8-11]
Penggunaan pada Kehamilan
Food and Drug Administration (FDA) dan Therapeutic Goods Administration (TGA) memasukan methadone ke dalam kategori C. Studi pada binatang percobaan memperlihatkan adanya efek samping terhadap janin, namun belum ada studi terkontrol pada wanita hamil. Obat hanya boleh digunakan jika besarnya manfaat yang diharapkan melebihi besarnya risiko terhadap janin.[8-10]
Penelitian methadone pada wanita hamil memberikan hasil yang tidak konsisten, di mana belum jelas ditemukan efek methadone pada janin. Methadone dapat meningkatkan risiko bayi prematur, intrauterine growth retardation (IUGR), dan intrauterine fetal death (IUFD).[9]
Observasi klinis in utero juga menunjukkan penurunan aktivitas janin, respirasi, dan denyut jantung janin pada ibu hamil yang mengonsumsi methadone oral setiap hari daripada wanita hamil normal.[9]
Akan tetapi, penggunaan methadone pada ibu hamil menghasilkan luaran yang lebih baik jika dibandingkan dengan ibu hamil yang adiksi heroin (opioid use disorder). Pada trimester ketiga konsumsi methadone dosis tinggi berhubungan dengan semakin baiknya pertumbuhan janin daripada ibu hamil adiksi heroin yang tidak diobati.[9]
Selain itu, sampai saat ini belum ditemukan bukti toksisitas akibat methadone pada fetal, walaupun dapat terjadi NAS (neonatal abstinence syndrome) dan efek postnatal methadone. NAS terjadi pada 60‒90% neonatal pada ibu hamil dependensi opioid yang mendapat methadone management therapy (MMT), disebabkan karena penarikan dari methadone pada hari-hari pertama kehidupan neonatus (48‒72 jam).[9]
Gejala NAS berupa tangisan melengking, hiperrefleks, tremor, hipertonik, konvulsi, regurgitasi, diare, dehidrasi, hidrosis, demam, takipnea, abrasi kulit, nafsu makan buruk, dan hidung tersumbat (Finnegan scale).[9]
Keluaran anak yang terekspos oleh methadone adalah penurunan lingkar kepala, tinggi, dan kenaikan berat badan yang dapat mempengaruhi pertumbuhan anak hingga usia 5,5 tahun. Selain itu, methadone juga meningkatkan risiko terjadinya mortalitas, mikrosefali, strabismus, dan gangguan perilaku (mood, kognitif, dan atensi).[9]
Penggunaan pada Ibu Menyusui
Methadone diekskresikan dalam ASI sehingga bayi dapat terekspos methadone. Rasio ASI:plasma methadone bervariasi antara 0,05‒1,89. Namun, rata-rata per hari infant hanya terekspos 0,01‒0,1 mg/hari.[9,11,12]
Eliminasi methadone pada bayi lebih lama, yaitu 32,5 jam (dewasa 24 jam), sehingga terdapat potensi toksisitas methadone. Ibu menyusui harus diberikan edukasi untuk mengenali tanda-tanda toksisitas methadone pada bayi, seperti peningkatan rasa kantuk, kesulitan menyusu, kesulitan bernapas, atau lemas.[9,11,12]
Laktasi merupakan salah satu cara untuk mengatasi NAS. Bayi terus mendapat methadone dalam dosis minimal yang berfungsi sebagai analgesik gejala withdrawal. Tidak hanya mengatasi NAS, menyusui juga akan membantu ibu untuk membangun ikatan emosional dengan anak, sehingga ibu menyusui yang mendapat MMT harus diedukasi untuk tetap menyusui.[9,11,12]
Direvisi oleh: dr. Hudiyati Agustini