Pendahuluan Lupus Eritematosus Sistemik
Lupus eritematosus sistemik atau systemic lupus eritematosus merupakan penyakit autoimun kronis yang menyebabkan peradangan multisistemik. Perempuan usia reproduktif memiliki prevalensi yang paling tinggi untuk mengidap lupus. Faktor genetik, imunologi, hormonal, serta lingkungan berperan penting dalam patofisiologi lupus eritematosus sistemik.[1-3]
Diagnosis lupus eritematosus sistemik ditegakkan berdasarkan manifestasi klinis dan kriteria imunologi. Pedoman diagnosis yang digunakan adalah kriteria berdasarkan European League Against Rheumatism (EULAR) and the American College of Rheumatology (ACR) 2019.[3]
Pasien dengan lupus eritematosus sistemik memiliki kadar antibodi antinuklear (ANA) dengan titer ≥1:80 pada sel HEp-2 atau tes positif setara setidaknya pada 1 kali pemeriksaan. Manifestasi lainnya mencakup demam, leukopenia, trombositopenia, hemolisis autoimun, alopesia, kejang, delirium, ulkus oral, ataupun gambaran lupus diskoid.
Gambaran lupus diskoid tampak sebagai lesi kulit eritematosa-keunguan dengan perubahan sekunder jaringan parut atrofi, dispigmentasi, hiperkeratosis, penyumbatan folikel kulit kepala, yang menyebabkan jaringan parut alopesia pada kulit kepala. Selain itu, juga bisa tampak gambaran kutaneus subakut lupus, yakni erupsi kulit anular atau papuloskuamosa (psoriasiform), biasanya bersifat photo-distributed.[1,4,5]
Penatalaksanaan lupus eritematosus sistemik bertujuan untuk mencapai remisi atau aktivitas penyakit yang rendah, serta pencegahan dari flare. Hydroxychloroquine dan kortikosteroid seperti prednison merupakan contoh obat yang sering digunakan. Selain itu, terdapat bukti yang mendukung efikasi agen yang menargetkan sel B, misalnya belimumab, untuk pasien dengan kontrol penyakit yang kurang memadai.[1,6]
Penulisan pertama oleh: dr. Della Puspita Sari