Diagnosis Cutaneous Larva Migrans
Diagnosis cutaneous larva migrans perlu dicurigai pada pasien yang mengeluhkan erupsi kulit eritematosa, serpiginosa, serta pruritik berat, terutama jika ada riwayat paparan kulit terhadap tanah atau pasir. Risiko mengalami cutaneous larva migrans meningkat jika pasien memiliki riwayat berjalan di pantai tanpa alas kaki, berjemur di pantai tanpa alas matras, atau pekerjaan pasien yang mengharuskan pasien sering berkontak dengan tanah.[3]
Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditemukan adanya keluhan bintik merah pada kulit yang membentuk benang berkelok-kelok di bawah kulit yang disertai rasa gatal. Pada pasien anak, dapat ditemukan adanya riwayat bermain pada tempat berpasir tanpa alas kaki atau memelihara binatang peliharaan seperti kucing.[3,6]
Pada pasien dewasa, dapat ditanyakan mengenai riwayat pekerjaan atau aktivitas yang berhubungan dengan tanah yang terkontaminasi, seperti berkebun atau bertani. Cutaneous larva migrans dapat terjadi jika aktivitas tersebut dilakukan tanpa menggunakan pelindung seperti sarung tangan atau alas kaki.[1,3]
Gejala lain yang ditemukan pada pasien adalah rasa gatal dan panas pada lesi sepanjang hari dan memberat pada malam hari. Larva penyebab cutaneous larva migrans dapat menembus lapisan epidermis kulit namun tidak dapat mencapai pembuluh darah. Oleh karena itu, setelah durasi tertentu, larva tidak dapat melanjutkan siklus hidup dan hanya bermigrasi pada kulit lapisan subkutan.[3]
Pemeriksaan Fisis
Dari pemeriksaan fisik, yang paling sering ditemukan pada awal infeksi adalah papul kecil kemerahan yang lama-kelamaan berkembang menjadi lesi terowongan serpiginosa selebar 1 sampai 2 mm dan agak sedikit meninggi. Lesi dapat sewarna kulit atau agak kemerahan serta terasa sangat gatal.
Lesi khas cutaneous larva migrans disertai pula dengan perkembangan yang lambat, sekitar 1-2 cm per hari membentuk alur melingkar atau tidak terorganisasi. Rasa gatal biasanya bertambah parah pada hari ke-10 hingga 15 setelah manifestasi lesi. Pruritus disebabkan oleh reaksi inflamasi terhadap hialuronidase dan enzim lain yang disekresikan larva untuk melakukan penetrasi ke dermis.
Gambaran klinis awal penyakit bisa saja berbeda untuk tiap etiologi cutaneous larva migrans. Bila penyakit disebabkan oleh Ancylostoma braziliense, lesi dapat segera bermanifestasi dalam 1 jam setelah kontak dengan larva. Di sisi lain, lesi papular baru muncul setelah beberapa hari pada infeksi U. stenocephala. Gambaran lesi yang berkembang menjadi vesikobulosa atau papulopustular juga pernah dilaporkan, walaupun sangat jarang.[3,6]
Diagnosis Banding
Diagnosis banding pada kasus cutaneous larva migrans adalah kelainan kulit yang memiliki efluoresensi lesi mirip seperti cutaneous larva migrans. Secara umum, diagnosis banding dapat dibedakan berdasarkan anamnesis terhadap faktor risiko dan riwayat perjalanan lesi.[3,6,7]
Granuloma Anulare
Pada granuloma anulare, efluoresensi lesi adalah terdapat lesi berkelompok berbentuk anular berwarna merah muda bersifat asimptomatik. Pada pasien terdapat beberapa faktor risiko seperti diabetes mellitus, keganasan hematologi, serta penyakit HIV.[3,6,7]
Herpes Zoster
Pada herpes zoster, terdapat riwayat infeksi varicella sebelumnya. Pasien juga mengalami gejala prodromal seperti demam, nyeri, hingga parestesi pada dermatom tertentu. Selanjutnya, pada pasien mulai muncul erupsi kulit yang disertai rasa gatal, terbakar, dan nyeri seperti ditusuk-tusuk. Efluoresensi lesi herpes zoster diawali dengan adanya lesi makulopapular kemerahan yang berubah menjadi vesikel berkelompok yang tersusun mengikuti dermatoma unilateral.[3,6,7]
Gnathostomiasis
Pada gnathostomiasis, pasien memiliki riwayat konsumsi daging ikan, belut, katak, reptil, atau daging unggas yang kurang matang.[3,6,7]
Dermatitis Kontak Alergi
Pada dermatitis kontak alergi, terdapat riwayat kontak dengan agen pencetus alergi. Pasien umumnya juga memiliki gejala alergi lain, seperti rhinitis alergi dan asma. Gambaran lesi kulit biasanya polimorfik tergantung stadium klinis.[3,6,7]
Larva Currens
Larva currens disebabkan oleh Strongyloides stercoralis. Lesi pada penyakit ini juga bermanifestasi serpiginosa, akan tetapi lesinya bersifat sangat progresif dengan kecepatan migrasi beberapa sentimeter per jam, jauh lebih cepat dibandingkan cutaneous larva migrans. Selain itu, daerah predileksi larva currens lebih sering pada kulit perianal, paha, atau di badan.[8]
Pemeriksaan Penunjang
Diagnosis cutaneous larva migrans umumnya dapat ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik, sehingga tidak memerlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang seperti tes darah dapat dilakukan untuk melihat peningkatan kadar eosinofil dan peningkatan kadar IgE serum, tetapi tidak dapat secara spesifik mendiagnosa penyakit cutaneous larva migrans. Selain itu, keadaan eosinofilia hanya ditemukan pada kurang dari 40% kasus saja.
Pemeriksaan penunjang lain seperti non-invasive optical coherence tomography dapat digunakan, tetapi jarang dilakukan. Bila dilakukan biopsi kulit, hasil yang didapatkan adalah gambaran nematoda di dalam kanal sirkular epidermis atau di bawahnya yang dikelilingi oleh infiltrat eosinofilik. Spongiotic dermatitis dengan vesikel yang mengandung neutrofil dan eosinofil juga dapat ditemukan. Biopsi tidak mutlak diperlukan karena tidak sensitif dan diagnosis dapat ditegakkan secara klinis.
Pada pasien cutaneous larva migrans dengan komplikasi sindrom Loeffler, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan CT scan yang memperlihatkan gambaran inflitrat retikulonodular pada kedua paru.[2,3]
Penulisan pertama oleh: dr. Reren Ramanda