Etiologi Kandidiasis Vulvovaginal
Etiologi kandidiasis vulvovaginal adalah jamur spesies Candida yang menyebabkan inflamasi pada mukosa vulva dan vagina. Candida albicans dianggap sebagai komensal alami pada sekitar 20% wanita, tetapi juga menjadi organisme penyebab utama kandidiasis vulvovaginal (85−90%).[1,8]
Etiologi
Kandidiasis vulvovaginal diperkirakan menjadi penyebab terbanyak kedua dari vaginitis, setelah vaginosis bakterialis. Spesies Candida non-albicans lainnya yang telah diidentifikasi antara lain C. glabrata sebagai etiologi kedua tersering (8%), sedangkan sisanya C. krusei, C. parapsilosis, dan C. tropicalis. Spesies C. glabrata dan C. parapsilosis dikaitkan dengan faktor risiko lansia dan komorbid diabetes mellitus.[2,3,5,8]
Faktor Risiko
Sekitar 75% wanita akan mengalami setidaknya satu episode kandidiasis vulvovaginal dalam hidupnya, 40−45% mengalami dua atau lebih episode, dan 10−20% mengalami kandidiasis vulvovaginal kompleks.[7,9]
Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan kejadian kandidiasis vulvovaginal adalah kadar estrogen yang meningkat, diabetes mellitus, imunosupresi, terapi antibiotik spektrum luas, kontrasepsi intravaginal, faktor genetik, dan perilaku individu.
Peningkatan Kadar Estrogen
Risiko kandidiasis vulvovaginal meningkat pada wanita dengan kadar hormon estrogen tinggi, misalnya pada kehamilan, obesitas, konsumsi kontrasepsi oral, serta terapi pengganti hormon.[1,5,6]
Kehamilan menjadi salah satu faktor predisposisi yang paling umum. Penelitian menunjukkan bahwa sepertiga ibu hamil di seluruh dunia dapat mengalami kandidiasis vulvovaginal. Hormon estrogen yang tinggi menyebabkan penumpukan glikogen pada mukosa vulva dan vagina sehingga menciptakan lingkungan yang menguntungkan bagi pertumbuhan Candida.[3,5]
Penelitian terdahulu, pada wanita yang menggunakan kontrasepsi oral dengan estrogen dosis tinggi, ditemukan meningkatkan kolonisasi Candida pada vagina. Akan tetapi, kontrasepsi oral terbaru dengan dosis estrogen lebih rendah tampaknya tidak mempengaruhi terjadinya kandidiasis vulvovaginal.[5]
Diabetes Mellitus
Studi menunjukkan bahwa kandidiasis vulvovaginal 2 kali lebih sering terjadi pada wanita dengan diabetes mellitus, bahkan terkadang sebagai gejala pertama. Selain itu, diketahui ada hubungan langsung antara kontrol glikemik yang buruk terhadap perkembangan kandidiasis vulvovaginal. Wanita dengan diabetes mellitus tipe 2 rentan terhadap spesies Candida non-albicans.[1,3,5,6]
Imunosupresi
Kelompok yang juga rentan terhadap kandidiasis vulvovaginal adalah pasien imunosupresi, yaitu penderita HIV/AIDS, pengguna terapi imunosupresan seperti kortikosteroid, pasien kemoterapi dan obat golongan antimetabolit, serta pasien transplantasi organ.[1,3]
Terapi Antibiotik
Konsumsi antibiotik spektrum luas juga dikaitkan dengan kandidiasis vulvovaginal. Sekitar sepertiga wanita yang menggunakan antibiotik spektrum luas dapat mengalami gejala. Antibiotik dapat menghambat flora normal sehingga menyebabkan penurunan keasaman vagina, dan menyebabkan perkembangan Candida.[1,3,7]
Kontrasepsi Intravagina
Alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam vagina, seperti vaginal sponges atau diaphragma, serta alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR) telah dikaitkan dengan peningkatan risiko kandidiasis vulvovaginal, tetapi tidak secara konsisten. Sebaliknya, penggunaan spermisida dilaporkan tidak terkait dengan infeksi Candida.[6]
Faktor Genetik
Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan antara variasi genetik dan peningkatan risiko infeksi Candida, baik kandidiasis mukosa maupun sistemik. Dalam penelitian tersebut, diketahui adanya peran polimorfisme Dectin-1 terkait kerentanan terhadap kandidiasis mukosa pada individu dengan riwayat kandidiasis vulvovaginal berulang.[5,8,13]
Selain itu, adanya variasi genetik pada gen MBL2 yang mengkode PRR MBL, IL-4, dan NLPR3 berhubungan dengan peningkatan risiko terjadinya kandidiasis vulvovaginal berulang.[5,8,13]
Perilaku Individu
Faktor perilaku yang dapat meningkatkan risiko kandidiasis vulvovaginal antara lain aktivitas seksual, penggunaan celana ketat, serta reaksi terhadap penggunaan celana dalam berbahan lateks, sabun, tampon, serta pembalut saat periode tidak menstruasi.[1,7,10,11]
Risiko kandidiasis vulvovaginal meningkat pada wanita yang aktif secara seksual. Akan tetapi, tidak terdapat bukti infeksi Candida ditularkan secara seksual. Hubungan kandidiasis vulvovaginal dengan berbagai jenis kontrasepsi tidak jelas, serta jumlah episode kandidiasis vulvovaginal tidak terkait dengan jumlah pasangan seksual atau frekuensi koitus.[1,6–8]
Selain itu, penggunaan douching vagina dapat mematikan bakteri komensal vagina sehingga dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan Candida sp.[12]
Direvisi oleh: dr. Felicia Sutarli