Patofisiologi Lymphedema
Patofisiologi lymphedema melibatkan beberapa proses, yaitu penumpukan jaringan adiposa, remodeling, fibrosis, perubahan struktur kulit, dan inflamasi.[2,3]
Deposisi Lemak
Pada patofisiologi lymphedema, adanya deposisi jaringan lemak pada kompartemen epifasial (antara kulit dan sel otot) dan subfasia (antara sel otot atau di dalam sel otot) serta akumulasi cairan menyebabkan kolaps kapiler limfatik serta gangguan pada drainase cairan limfatik dan lemak. Proses tersebut terjadi terus-menerus sehingga menyebabkan akumulasi lemak pada bagian perifer.[2]
Inflamasi
Inflamasi kronik pada dermis dan jaringan subkutan merupakan gambaran utama patofisiologi lymphedema. Inflamasi pada lymphedema melibatkan sel Th2 yang pada akhirnya menginduksi sitokin serta faktor pertumbuhan lain, seperti IL-4, IL-13, serta transforming growth factor beta – 1 (TGF-B1).[3]
Fibrosis Jaringan
Fibrosis pada jaringan subkutan, termasuk jaringan adiposa hipertrofik pada akhirnya menyebabkan terbentuknya matriks fibrosa tebal di antara lobulus – lobulus jaringan lemak. Selain itu, akumulasi kolagen menyebabkan jaringan limfadematosa mengeras dan menyebabkan edema non-pitting.[2]
Fase Lanjut
Mekanisme molekuler yang melibatkan ekspresi induced nitric oxide synthase (iNOS) juga berperan dalam meningkatkan progresivitas lymphedema dengan cara menurunkan kontraktilitas jaringan limfatik dan menyebabkan penurunan pada lymphatic pumping pressure. Pada fase selanjutnya dari lymphedema, terjadi perubahan struktur kulit yang meliputi hiperkeratosis serta fibrosis pada dermis, jaringan subkutan, dan fascia. Hal ini menyebabkan kulit yang terkena lebih rentan mengalami infeksi, selulitis, ulserasi, fisura, serta angiosarkoma kutaneus.[2,3]
Lymphedema Sekunder
Secara garis besar, lymphedema sekunder disebabkan oleh proses infeksi, keganasan, serta prosedur pembedahan. Pada kasus infeksi seperti filariasis, lymphedema disebabkan oleh kerusakan serta inflamasi pada pembuluh limfatik, limfangiektasia, respon granulomatosa, serta penurunan transportasi transendotelial yang menyebabkan perubahan anatomi dan fisiologi sistem limfatik.
Pada kasus keganasan, massa tumor yang besar dapat menekan pembuluh limfatik dan menyebabkan lymphedema. Pada tumor ganas yang disertai metastasis, peningkatan ekspresi faktor pertumbuhan limfangiogenik menyebabkan peningkatan aliran limfatik, peningkatan resistensi aliran karena pertumbuhan tumor pada nodus limfe, serta peningkatan tekanan interstisial karena jaringan tumor tidak memiliki pembuluh limfatik.
Beberapa kasus lain, seperti rheumatoid arthritis dan psoriasis, menyebabkan lymphedema terkait dengan produksi mediator inflamasi yang menurunkan kontraktilitas pembuluh limfatik. Beberapa sitokin seperti tumor necrosis factor A (TNF – A) dan interleukin 1 juga berperan dalam gangguan sistem limfatik.
Pada kasus obesitas, pertumbuhan jaringan lemak itu sendiri dapat menyebabkan kompresi eksternal pada jaringan adiposa. Selain itu, produksi sitokin proinflamasi dan penurunan aktivitas otot menyebabkan aliran limfatik cenderung stagnan. Pada obesitas juga terdapat lymphedema – associated fat deposition yang semakin memperberat kondisi lymphedema.[4]
Penulisan pertama oleh: dr. Rainey Ahmad Fajri Putranta